Wednesday, November 27, 2013

Analisis kebutuhan kurikulum


             I.      PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Pada suatu kegiatan pendidikan tidak lepas dari kurikulum. Adapun kurikulum digunakan sebagai pedoman oleh pelaku pendidikan guna meningkatkan kualitas pengajaran di sekolah. Dengan adanya kurikulum maka diharapkan dunia pendidikan di Indonesia semakin bermutu dan berkarakter.
Adapun kurikulum pengajaran bahasa Arab mempunyai keterkaian erat dengan kebutuhan beribadah kepada Tuhan khususnya untuk menjalankan rukun Islam yang kedua ialah sholat di mana doa dan ucapannya adalah dengan bahasa Arab.[1] Namun tidak hanya berkaitan dengan ibadah saja, akan tetapi dalam hal pengembangan skill, moral serta sosial juga. Sehingga diharapkan para penuntut ilmu menjadi manusia yang memanusiakan manusia dikemudian hari.
Ketika suatu kurikulum dibuat kemudian dilaksanakan, baik kurikulum itu bersifat sentralisasi maupun desentralisasi, keduanya mempunyai kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Adakalanya kurikulum yang bersifat sentralisasi sesuai untuk suatu daerah tertentu, namun tidak sesuai untuk daerah yang lain. Seperti di daerah pedesaan atau pedalaman yang sulit menyesuaikan kemajuan pendidikan di daerah perkotaan.  
Ada suatu pendapat yang mengatakan bahwa kurikulum berarti kendaraan (currere/Latin). Seandal apapun kendaraan dibuat, keandalan itu baru bisa digapai jika pengendaranya cukup kompeten. Keberhasilan, profesionalisme dan kompetensi itu ada ditangan guru. Karena pada dasarnya kurikulum itu di buat sebaik mungkin oleh para penyususunnya.
Namun seiring dengan perkembangannya, kurikulum masih saja mengalami perubahan sehingga tidak jarang terdapat kesenjangan di dalam pelaksanaannya. Untuk itu dengan adanya analisis kebutuhan kurikulum, maka akan dapat diketahui mengenai jarak atau kesenjangan, solusi dan penilaian kurikulum pendidikan di Indonesia.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian dari pengertian analisis kebutuhan kurikulum?
2.      Apa tujuan analisis kebutuhan kurikulum?
3.      Apa saja yang terdapat pada kesenjangan kurikulum antara fakta dan idealnya?
4.      Bagaimanakah solusi dari masalah kurikulum dan pendidikan?

          II.      PEMBAHASAN

A.    Pengertian Analisis Kebutuhan Kurikulum
Analisis kebutuhan merupakan aktivitas ilmiah untuk mengidentifikasi faktor-faktor pendukung dan penghambat (kesenjangan) proses pembelajaran guna mencapai tujuan pembelajaran (goals and objectives) yang mengarah pada peningkatan mutu pendidikan.[2]Roger Kaufman dan Fenwick W. English berpendapat bahwa analisis kebutuhan tidak dapat melepaskan diri dari pembicaraan sistem pendidikan secara keseluruhan. Dalam sistem pendidikan terdapat dua tema pokok yaitu manajemen dan kurikulum.[3] 
Kata kurikulum berasal dari bahasa Latin, yakni curriculae yang berarti jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari. Adapun definisi kurikulum versi Indonesia dalam UUSPN No. 20 tahun 2003 BAB I Pasal I, pengertian kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.[4] Definisi kurikulum ada dua pengertian:
1.    Mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari siswa baik di sekolah atau perguruan tinggi untuk memperoleh ijasah tertentu.
2.    Mata pelajaran yang ditawarkan oleh suatu lembaga pendidikan atau suatu departemen.[5]
Adapun kurikulum bahasa Arab dikeluarkan oleh Departemen Agama sebagai kurikulum formal yang terkandung berbagai materi yang harus disampaikan kepada murid. Kurikulum formal meliputi:
1.    Tujuan pengajaran baik tujuan umum maupun khusus.
2.    Bahan pelajaran yang tersusun secara sistematis, yang akan disampaikan kepada siswa yang harus terselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan sesuai dengan alokasi waktu dalam kurikulum bahasa Arab.
3.    Strategi belajar mengajar dengan berbagai macam kegiatannya yang dalam kurikulum bahasa Arab telah ditentukan berbagai metode, sumber atau sarana maupun waktu sebagai petunjuk kepada guru dalam mengajar.
4.    Sistem evaluasi untuk mengetahui sampai mana tujuan pengajaran telah tercapai.[6]
Dengan adanya kurikulum maka kegiatan pembelajaran menjadi terencana dan berjalan sesuai dengan tujuan dan harapan. Dan perlu diadakan evaluasi agar dapat diketahui sejauh mana kurikulum yang dilaksanakan sesuai dengan cita-cita bangsa.

B.     Tujuan Analisis Kebutuhan Kurikulum
Salah satu pembagian kebutuhan manusia yang terkenal dikemukakan oleh Abraham Maslow, yang melihat adanya hierarkhi dalam kebutuhan, yaitu kebutuhan akan:
1.    Survival (fisiologis).
2.    Security (emosional).
3.    Love and belonging (sosial).
4.    Self esteem (personal).
5.    Self actualization (personality).
Menurut Maslow suatu kebutuhan hanya dapat dipuaskan bila kebutuhan pada tingkat yang lebih rendah telah terpenuhi.[7]
Definisi analisis kebutuhan menurut Roger Kaufman dan Fenwick W. English yang menyatakan bahwa analisis kebutuhan adalah suatu proses formal untuk menentukan jarak atau kesenjangan antara keluaran dan dampak yang nyata dengan keluaran dan dampak yang diinginkan, kemudian menempatkan deretan kesenjangan ini dalam skala prioritas, lalu memilih hal yang paling penting untuk diselesaikan masalahnya. Dalam hal ini kebutuhan yang diinginkan adalah untuk memperoleh keluaran dan dampak yang ditentukan. Pada suatu sistem pendidikan, prestasi belajar siswa merupakan tujuan, sedangkan pendidikan merupakan sebuah alat, seperangkat proses dan cara-cara bagaimana membantu siswa untuk memiliki kemampuan agar dapat mempertahankan kehidupan sendiri serta mempunyai peran terhadap masyarakat sekitar bahkan jika mungkin umat sedunia, setelah mereka menyelesaikan sekolahnya.[8]
Sebelum membahas tentang jarak dan kesenjangan antara keluaran dan dampak yang nyata dengan keluaran dan dampak yang diinginkan, maka perlu diketahui mengenai tujuan kurikulum terlebih dahulu. Tujuan-tujuan kurikulum sebagai berikut:
1.    Sebagai bahan pengajaran (pengetahuan, ketrampilan dan sikap serta nilai) untuk diajarkan kepada dan dipelajari, dikuasai oleh peserta didik untuk kenaikan tingkat atau mendapatkan ijazah.
2.    Untuk mendapatkan pengalaman pendidikan.
3.    Untuk mempengaruhi peserta didik dalam pertumbuhan dan perkembangannya.
4.    Agar peserta didik memperoleh hasil belajar yang dikehendaki.
5.    Untuk mencapai tujuan pendidikan.
Tujuan kurikulum di atas dapat diartikan juga untuk mencapai tujuan pendidikan. Kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Karena kurikulum adalah bagian dari pendidikan, maka tujuan kurikulum hanya untuk kepentingan tujuan pendidikan.[9]

C.     Kesenjangan Kurikulum Antara Fakta Dan Idealnya
Kurikulum di Indonesia telah mengalami pergantian sebanyak 7 kali. Jika diamati, perubahan kurikulum dari tahun 1947 hingga 2006 yang menjadi faktor atas perubahan itu diantaranya:
1.    Menyesuaikan dengan perkembangan jaman, hal ini dapat dilihat pada awal perubahan kurikulum dari Rentjana Pelajaran 1947 menjadi Renjtana Pelajaran Terurai 1952. Awalnya hanya mengikuti atau meneruskan kurikulum yang ada kemudian dikembangkan lagi dengan lebih menfokuskan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari.
2.    Kepentingan politis semata, hal ini sangat jelas terekam dalam perubahan kurikulum 2004 (KBK) menjadi kurikulum 2006 (KTSP). Secara matematis masa aktif kurikulum 2004 sebelum diubah menjadi kurikulum 2006 hanya bertahan selama 2 tahun. Hal ini tidak sesuai dengan perkembangan sebelum-sebelumnya. Dalam kurun waktu yang singkat ini, tidak bisa dibuktikan baik tidaknya sebuah kerikulum. Hal senada juga diungkapkan bahwa lahirnya kurikulum 1968 hanya bersifat politis saja, yaitu mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama.[10]
Kurikulum yang selama ini mengalami pergantian tidak lain adalah untuk dikembangkan dan diperbaiki. Sedangkan pengembangan kurikulum dilakukan karena adanya empat faktor, yaitu:
1.      Falsafah bangsa, masyarakat, sekolah dan guru-guru.
2.      Harapan dan kebutuhan masyarakat.
3.      Hakekat anak yang masing-masing mempunyai perkembangan fisik, mental, psikologi, emosional, sosial dan cara belajar yang berbeda.
4.      Hakekat pengetahuan atau disiplin ilmu yang disajikan adalah sebagai bahan pelajaran.[11]
Adanya kurikulum pendidikan di Indonesia tidak selalu berjalan sesuai dengan tujuan dan harapan. Seiring dengan perubahan kurikulum dari tahun ketahun masih terdapat kesenjangan antara fakta dan idealnya. Identifikasi kesenjangan kurikulum[12] seperti pada tabel di berikut ini:

Kondisi Saat Ini
Konsep Ideal
  1. Kompetensi Lulusan
  1. Kompetensi Lulusan
a)   Belum sepenuhnya menekankan pendidikan berkarakter
a)    Berkarakter mulia
b)   Belum menghasilkan ketrampilan sesuai kebutuhan
b)   Ketrampilan yang relevan
c)    Pengetahuan-pengetahuan lepas
c)    Pengetahuan-pengetahuan yang terkait
  1. Materi pembelajaran
  1. Materi pembelajaran
a)   Belum relevan dengan kompetensi yang dibutuhkan
a)    Relevan dengan kompetensi yang dibutuhkan
b)   Beban belajar terlalu berat
b)   Materi yang esensial
c)    Terlalu luas, kurang mendalam
c)    Sesuai dengan tingkat perkembangan anak
  1. Proses pembelajaran
  1. Proses pembelajaran
a)   Berpusat pada guru (teacher centerd learning)
a)    Berpusat pada peserta didik (student centered active learning)
b)   Sifat pembelajaran berorientasi pada buku teks
b)   Sifat pembelajaran yang kontekstual
c)    Buku teks hanya memuat materi bahasan
c)    Buku teks memuat materi dan proses pembelajaran, sistem penilaian serta kompetensi yang diharapkan

Pada masa sekarang siswa tidak hanya diharapkan unggul diranah kognitif saja, akan tetapi juga diranah afektif dan psikomotorik. Selain dari identifikasi di atas, apabila kembali menyimak naskah akademik Komite Reformasi Pendidikan Nasional, maka dapat diketahui tentang alasan yang mendasari amandemen UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjadi RUU Sistem Pendidikan yang baru. Ada beberapa argumen yang memaparkan kelemahan mendasar dalam UU No. 2 Tahun 1989 apabila ditinjau dari pengamatan saat ini, yaitu adanya politisasi pendidikan. Pendidikan menjadi alat pemerintah yang berkuasa dan merupakan bagian dari birokrasi, sehingga program-programnya harus direstui pemerintah. Hal ini mengakibatkan matinya berbagai kreativitas dan inovasi dalam bidang pendidikan. Serta adanya sistem pendidikan sentralistik, sehingga UU disusun sedemikian rupa sebagai acuan besar yang mengatur segala bentuk kegiatan dalam sistem pendidikan.[13] Idealnya kurikulum tidak ditetapkan secara kaku, maksudnya sekolah diberi keleluasaan untuk mengembangkan kurikulum di sekolah, sehingga kepala sekolah dan guru memiliki kebebasan dalam menerapkannya di kelas.[14]
Setidaknya ada empat pendekatan untuk mengeksplorasi isi kurikulum, yaitu dengan:
1.      Pendekatan kultural.
2.      Pendekatan multi dimensional.
3.      Pendekatan managerial.
4.      Pendekatan profesional.[15]

D.    Solusi dari Masalah Kurikulum Dan Pendidikan
Kurikulum memang bukanlah satu-satunya faktor penentu kualitas atau keberhasilan sekolah. Akan tetapi ada beberapa faktor lain di antaranya:
1.      Masalah sarana dan prasarana.
2.      Situasi dan kondisi lingkungan.
3.      Kualitas guru sebagai pelaksana pendidikan, dan lain sebagainya.
Sehingga diperlukan adanya manajemen kurikulum yang terbagi atas tiga kegiatan pokok:
1.      Perencanaan (planning) kurikulum. Berfungsi untuk:
a.       Pedoman atau alat manajemen
b.      Penggerak roda organisasi dan tata laksana untuk menciptakan perubahan dalam masyarakat yang sesuai dengan tujuan organisasi.
c.       Motivasi untuk melaksanakan sistem pendidikan agar mencapai hasil optimal
2.      Pelaksanaan (actiating) kurikulum. Mencakup tiga pokok bahasan:
a.       Pengembangan program
b.      Pelaksanaan pembelajaran
c.       Evaluasi
3.      Evaluasi (evaluation) kurikulum. Setiap program, kegiatan-kegiatan dan sesuatu yang direncanakan selalu diakhiri dengan evaluasi. Bertujuan untuk melihat kembali apakah suatu program atau kegiatan yang telah dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan. Penilaian kurikulum dilakukan untuk mencari jawaban atas permasalahan seperti berikut:
a.       Sejauh mana pelaku atau pelaksana di lapangan telah memahami dan menguasai kurikulum lengkap dengan semua komponennya.
b.      Sejauh mana efektivitas pelaksanaannya di sekolah.
c.       Sejauh mana efektivitas penggunaan sarana penunjang seperti buku, alat pelajaran atau peraga dan fasilitas lainnya serta biaya dalam menunjang pelaksanaan kurikulum tersebut.
d.      Sejauh mana siswa telah berhasil mencapai tujuan yang dirumuskan, atau sejauh mana siswa telah menguasai pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang diharapkan.
e.       Apakah ada dampak pelaksanaan kurikulum, baik yang sifatnya positif maupun negatif yang merupakan akibat yang ditimbulkan oleh kurikulum yang belum diperkirakan sebelumnya.[16]
Karena kurikulum diatur dalam Undang-Undang, jika sungguh-sungguh ingin melakukan pemikiran ulang terhadap pendidikan nasional, maka salah satu langkah yang dapat dapat dilakukan adalah dengan kembali ke UU No. 4 tahun 1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah. Ada beberapa alasan yang mendasari pernyataan tersebut, seperti berikut:
1.      Sudah terbukti bahwa nafas Undang-Undang tersebut, secara filosofis, budaya dan politik lebih bermutu, demokratis, universal dan memiliki rasa kebangsaan yang tinggi bila dibandingkan dengan UUSPN tahun 1989 atau Draf Amandemen terhadap UUSPN tahun 1989. Hal itu karena Undang-Undang No. 4 tahun 1950 dibuat dalam suasana politik demokratis dan oleh founding fathers yang termasuk orang-orang terdidik secara baik, sehingga produk yang dihasilkannya juga demokratis dan baik. Sedangkan UUSPN dibuat oleh rezim yang totaliter.
2.      Praktik pendidikan yang didasarkan pada UU No. 4 tahun 1950, terutama ketika masih zaman Soekarno, jauh lebih bermutu, demokratis, egaliter, mandiri dan mampu menghasilkan orang-orang yang cakap, susila dan beradab.
3.      Rumusan draf UU Pendidikan yang diajukan oleh Komite Reformasi Pendidikan Nasional adalah sebagai revisi terhadap UUSPN yang dinilai terlalu sentralistis dan tidak lebih baik bila dibandingkan dengan UU No. 4 tahun 1950.[17]
Ada suatu statemen yang menyatakan bahwa yang lama belum tentu jelek. Hal ini mengingatkan tentang UU No. 4 tahun 1950 Pasal 3 yang berbunyi: “Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.” Dalam rumusan dasar dan tujuan pendidikan jelas sekali bahwa rumusan UU No. 4 Tahun 1950 dilakukan oleh orang yang memiliki watak kuat, susila, demokratis, memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat dan rasa kebangsaan yang tinggi sebagai warga negara.[18]

       III.      PENUTUP

Simpulan
1.      Analisis kebutuhan kurikulum merupakan suatu proses formal untuk menentukan jarak atau kesenjangan antara seperti apa yang ada dan bagaimana seharusnya dari suatu kurikulum, diambil prioritas masalah utamanya lalu diselesaikan masalahnya. Analisis kebutuhan adalah alat yang konstruktif dan positif untuk melakukan perubahan yang didasarkan atas logika yang bersifat rasional, perubahan yang bersifat fungsional yang dapat memenuhi kebutuhan warga negara, kelompok dan individu.
2.      Karena kurikulum adalah bagian dari pendidikan, maka tujuan kurikulum hanya untuk kepentingan tujuan pendidikan. Adapun tujuan dari analisis kebutuhan kurikulum adalah untuk mencari solusi yang tepat untuk memecahkan masalah kurikulum.
3.      Kesenjangan yang terdapat pada pelaksanaan kurikulum saat ini adalah pada bidang kompetensi lulusan, materi pembelajaran dan proses pembelajaran.
4.      Solusi sementara dari permasalahan kurikulum dan pendidikan adalah perbaikan manajemen pelaksanaan kurikulum dan kembali pada UU No. 4 tahun 1950 Pasal 3 yang dianggap tidak terlalu bersifat sentralistis.

DAFTAR PUSTAKA


.......http://www.scribd.com/doc/68177374/UUSPN-20-2003, diakses pada tanggal 5 Maret 2013.


……http://www.mediapendidikan.net/index.php?option=com_content&view=category&id=31&Itemid=28, diakses pada tanggal 1 Maret 2013.

Arikunto, Suharsimi. dan Cepi Safruddin Abdul Jabar. Evaluasi Program Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. 2009.

Darmaningtyas. Pendidikan Rusak-Rusakan. Yogyakarta: LkiS Group. 2011.

Fachrudin. Teknik Pengembangan Kurikulum Pengajaran Bahasa Arab. Yogyakarta: Global Pustaka Utama. 2006.

Hamalik, Oemar. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta: Bumi Aksara. 2003.

J. Mandalika. Dasar-Dasar Kurikulum (Buku I). Surabaya: SIC Surabaya. 1995.

Khasanah, Nur. Efektivitas Kurikulum Pendidikan Agama Islam Dalam Peningkatan Mutu Di SMA “Terpadu” YPP Nurul Huda Surabaya (Skripsi). Surabaya: Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya 2010.

S. Nasution. Pengembangan Kurikulum. Bandung: Bumi Aksara. 1991.




      [1] Fachrudin, Teknik Pengembangan Kurikulum Pengajaran Bahasa Arab (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2006), 6.
[2]……http://www.mediapendidikan.net/index.php?option=com_content&view=category&id=31&Itemid=28, diakses pada tanggal 1 Maret 2013.
[3] Suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul Jabar, Evaluasi Program Pendidikan (Jakarta:Bumi Aksara, 2009), 71.
[4] ....... http://www.scribd.com/doc/68177374/UUSPN-20-2003, diakses pada tanggal 5 Maret 2013.
[5] Fachrudin, Teknik Pengembangan Kurikulum Pengajaran Bahasa Arab, 54.
[6] Ibid, 53-55.
[7] S. Nasution, Pengembangan Kurikulum (Bandung: Bumi Aksara, 1991), 86.
[8] Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul Jabar, Evaluasi Program Pendidikan, 72.
[9] J. Mandalika, Dasar-Dasar Kurikulum (Buku I) (Surabaya: SIC Surabaya, 1995), 18.
[11] Fachrudin, Teknik Pengembangan Kurikulum Pengajaran Bahasa Arab, 57.
[13] Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan (Yogyakarta: LkiS Group, 2011), 305.
[14] Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan, 308.
[15] Oemar Hamalik, Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), 133.
[16] Nur Khasanah, Efektivitas Kurikulum Pendidikan Agama Islam Dalam Peningkatan Mutu Di SMA “Terpadu” YPP Nurul Huda Surabaya (Skripsi), (Surabaya: Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2010), 3-15.
[17] Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan, 304.
[18] Ibid, 296.


EmoticonEmoticon