Saturday, December 14, 2013

Macam-macam hadits ditinjau dari kualitas sanadnya

  1. Pendahuluan
Hadits terbagi sesuai dengan qath’i wurudnya[1] disebut hadits mutawatir dan dhanni wurudnya [2] disebut dengan hadits ahad. Sedangkan yang dhanni terbagi menjadi tiga bagian: shahih, hasan dan dha’if. Maka dari itu Ulama menyusun ilmu-ilmu hadits.[3]Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah mengenai:
1.      Apa pengertian hadits shahih, hasan dan dha’if?
2.      Apa ciri-ciri hadits shahih, hasan dan dha’if?
3.      Sebutkan contoh hadits shahih, hasan dan dha’if!
4.      Bagaimanakah martabat hadits shahih, hasan dan dha’if?

  1. Pembahasan
  1. Hadits Shahih
a.       Pengertian hadits shahih
Hadits shahih menurut muhaditsin:
ماَ نَقُلَهُ عَدْلٌ تَامُ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلاَ شَاذٍّ.
Artinya: “Hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak janggal.”[4]

Hadits shahih adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang kepercayaan, kuat ingatannya dengan sempurna, bersambung-sambung sanadnya, bersambung-sambung mulai dari awal sampai Nabi (musnad), tiada bercacad dan tiada syadz atau tiada bertentangan dengan hadits yang sudah dipandang kuat.[5]

b.      Ciri-ciri hadits shahih
Dari definisi atau pengertian hadits shahih yang disepakati oleh mayoritas ulama hadits di atas dapat dinyatakan, unsur-unsur kaedah mayor dan minor keshahihan sanad hadits:[6]
Berdasarkan pendapat jumhur ulama hadits
Unsur kaedah mayor
Unsur kaedah minor
1)      Sanad bersambung.
1)  Muttasil (mawshul)
2)  Marfu’
2)      Periwayat dalam sanad bersifat adil.
(pendapat ulama beragam dan dapat dikompromikan menjadi):
1)      beragama Islam
2)      mukallaf
3)      melaksanakan ketentuan agama Islam
4)      memelihara muru’ah
3)      Periwayat dalam sanad bersifat dhabith.
1)      Hafal dengan baik hadits yang diriwayatkannya
2)      Mampu dengan baik menyampaikan hadits yang dihafalnya kepada orang lain tanpa kesalahan
4)      Sanad hadits itu terhindar dari syudzudz.
Riwayat seorang periwayat yang siqat tidak bertentangan dengan riwayat para periwayat yang siqat lainnya.
5)      Sanad hadits itu terhindar dari ‘illat.
Tidak terjadi:
1)      Periwayat yang tidak siqat dinilai siqat
2)      Sanad terputus dinilai bersambung
Dengan demikian, suatu sanad hadits yang tidak memenuhi kelima unsur tersebut adalah hadits yang kualitas sanadnya tidak shahih.
c.       Contoh hadits shahih
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ ح و حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ص قَالَ إِذَا كَانُوا ثَلاَثَةٌ فَلاَ يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُونَ الثَّالِثِ[7]
Artinya: “(Kata Bukhari): Telah menceritakan kepada kami, ‘Abdullah bin Yusuf, (ia berkata) telah mengkhabarkan kepada kami, Malik dari Nafi’, dari Abdullah bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Apabila mereka itu bertiga orang, janganlah dua orang (dari antaranya) berbisik-bisikan dengan tidak bersama yang ketiganya.”

Hadits di atas dikatakan shahih karena dari susunan sanad Riwayatnya seperti ini:
1        Bukhari
2        Abdullah bin Yusuf
3        Malik
4        Nafi’
5        Abdullah (yaitu Ibnu Umar)
6        Rasulullah SAW.

Sanad Riwayat ini bersambung dari No. 1 sampai No. 6, dan rawi-rawinya orang-orang kepercayaan dan dhabith dengan sempurna. Hadits ini tidak terdapat syu-dzudz-nya, yaknitidak menyalahi hadits yang derajatnya lebih kuat dan tidak ada illatnya, yaitu kekeliruan, kesalahan dan lain-lain yang menyebabkan hadits itu tercela. Maka hadits tersebut mempunyai syarat-syarat sebagai-mana tertera dalam makna (ta’rif) shahih yang saya cantumkan di atas.[8]

  1. Hadits Hasan
a.       Pengertian hadits hasan
Para ulama muhaditsin tidak sependapat dalam menta’rifkan hadits hasan, sehingga meyebabkan efek yang berlainan. At-Thurmudzy menta’rifkan hadits hasan dengan:
ماَلاَ يَكُوْنُ فِىْ اِسْناَدِهِ مَنْ يُتَّهَمُ بِالْكَذِبِ وَلاَ يَكُوْنُ شَاذًّا وَيُرْوَى مِنْ غَيْرِ نَجْهٍ نَحْوِهِ فِى الْمَعْنَى.
Artinya: “Ialah hadits yang pada sanadnya tiada terdapat orang yang tertuduh dusta, tiada terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya.”
Definisi tersebut tidak mani’ dan tidak jami’. Sedangkan definisi yang dikemukakan oleh jumhurul muhaditsin ini jami’ serta mani’nya melengkapi segala unsur-unsurnya:
ماَنَقَلَهُ عَدْلٌ قَلِيْلُ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلاَ شَاذٍّ.
Artinya: “Hadits yang dinukilkan oleh seorang adil, (tapi) tak begitu kokoh ingatannya, bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan pada matannya.”
Dengan mengambil definisi ini, maka tampaklah perbedaan yang tegas antara hadits shahih dan dha’if dengan hadits hasan. Demikian juga segala macam hadits ahad (masyhur, ‘aziz dan gharib) dapat bernilai hasan.[9]
            Hadits hasan terbagi menjadi dua macam:
1)      Hasan li dzatihi.
Hasan menurut bahasa artinya: yang baik, yang bagus. Li dzatihi artinya: karena dzatnya atau dirinya. ”Hasan li dzatihi” menurut istilah ialah: satu hadits yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, diceritakan oleh orang-orang adil tetapi ada yang kurang dhabith, serta tidak ada syu-dzudz dan illah.[10]
2)      Hasan li ghairihi.
Li ghairihi artinya: karena yang lainnya, yakni satu hadits menjadi hasan karena dibantu dari jalan lain. Hasan li ghairihi menurut istilah ialah: satu hadits yang dalam sanadnya ada: Rawi mastur[11] atau rawi yang kurang kuat hafalannya, atau rawi yang tercampur hafalannya karena tuanya, atau rawi mudallis[12] atau rawi yang pernah keliru dalam meriwayatkan, atau rawi yang pernah salah dalam meriwayatkan, lalu dikuatkan dengan jalan lain yang sebanding dengannya.[13]

b.      Ciri-ciri hadits hasan
Ada kalanya dalam kitab-kitab, terdapat ucapan-ucapan:
a)      Isnaduhu Hasanun)  اسناده حسن), artinya: sanadnya hasan.
b)      Isnadun Hasanun  ( اسناد حسن ) , artinya: sanad yang hasan.
c)      Hasanul-Isnad ( حسن الا سناد ), artinya: yang hasan sanadnya.
Hadits atau riwayat yang terdapat salah satu kata di atas atau dengan yang seumpamanya, tidak selalu menunjukkan bahwa ma’nanya juga Hasan, bahkan di antaranya ada yang tidak betul.[14]

c.       Contoh hadits hasan
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحَسَنِ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو يَحْيَى إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي زِيَادٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقٌّ عَلَى الْمُسْلِمِينَ أَنْ يَغْتَسِلُوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلْيَمَسَّ أَحَدُهُمْ مِنْ طِيبِ أَهْلِهِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَالْمَاءُ لَهُ طِيبٌ[15]
Artinya: “Berkata Ali ibn Hasan Al Kufiy, berkata Abu Yahya Isma’il ibn Ibrahim At Taimiy, dari Yazid ibn Abi Ziyad, dari Abdurrahim ibn Abi Laila, dari Al Bara’i ibn Ngazib berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Adalah hak bagi orang-orang Muslim mandi di hari Jum’at. Hendaklah mengusap salah seorang mereka dari wangi-wangian keluarganya. Jika ia tidak memperoleh, airpun cukup menjadi wangi-wangian.[16]
Gambaran sanad dari hadits di atas:
1.      Turmudzi
2.      Ahmad bin Mani’
3.      Husyaim
4.      Yazid bn Abi Ziyad
5.      Abdurrahman bin Abi Laila
6.      Bara’ bin Azib
7.      Rasulullah
Rawi-rawi yang ada dalam sanad ini semua orang kepercayaan, melainkan Husyaim terkenal sebagai mudallis. Karena ini, maka sanadnya teranggap lemah yang tidak sangat, karena orangnya kepercayaan. Oleh karena sanad yang pertama itu dibantu dengan sanad yang kedua, maka hadits sanad pertama itu dinamakan ”Hasan li Ghairihi”.[17]

  1. Hadits Dha’if
a.       Pengertian hadits dha’if
Hadits dha’if ialah:
ماَ فَقِدَ شَرْطًا أَوْ اَكْثَرَ مِنْ شُرُوْطِ الصَّحِيْحِ أَوِ الْحَسَنِ.
Artinya: “Ialah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan.”[18]
Ta’rifnya dapat disusun: “Hadits Dha’if itu ialah satu hadits yang terputus sanadnya, atau di antara rawi-rawinya ada yang bercacat.”[19]Hadits dha’if banyak ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shahih atau hasan yang tidak dipenuhinya. Al ‘Iraqi membagi hadits dha’if menjadi 42 bagian dan sebagian ulama lain membaginya menjadi 129 bagian.[20]

b.      Ciri-ciri hadits dha’if
a)      Putus sanadnya. Hadits yang teranggap lemah karena putus (gugur, tidak tersebut) sanadnya ada 9 macam, dan masing-masing mempunyai nama tersendiri.
b)      Tercacat seorang rawi atau beberapa rawinya. Sebagaimana hadits yang putus sanadnya, begitu juga hadits lemah karena rawi-rawinya itu, ada beberapa macam bagian yang masing-masing juga mempunyai nama tersendiri.[21]

c.       Contoh hadits dha’if
قَالَ أَبُو عِيسَى وَقَدْ رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ صَلَّى بَعْدَ الْمَغْرِبِ عِشْرِينَ رَكْعَةً بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّة[22]
Artinya: “Berkata Abu ‘Isa: Dan sesungguhnya telah diriwayatkan dari ‘Aisyah, dari Nabi SAW. Beliau bersabda: “Barangsiapa shalat sesudah Maghrib, dua puluh raka’at, Allah akan mendirikan baginya sebuah rumah di syurga.”[23]
Gambaran sanad hadits di atas:
1        Abu Isa (=Turmudzi)
2        ’Aisyah
3        Rasulullah SAW
Turmudzi tidak bertemu dan tidak sezaman dengan ’Aisyah. Jadi tentu antara kedua-duanya itu ada beberapa orang rawi lagi. Karena disebut rawi-rawinya ini, maka dinamakan gugur, seolah-olah hadits itu tergantung. Karena itulah dinamakan Mu’allaq. Setiap hadits Mu’allaq hukumnya lemah, tidak boleh dipakai. Oleh sebab itu, hadits tersebut tidak boleh dipakai.[24]

  1. Peringkat kualitas kitab hadits
Berdasarkan persyaratan-persyaratan yang ditentukan untuk sebuah hadits shahih, kitab hadits memiliki tingkat keshahihan yang berbeda-beda.

a.       Peringkat pertama
Jumhur ulama mendudukkan kitab Shahih Al Bukhari dan Shahih Al Muslim pada peringkat pertama, dengan menempatkan Shahih Al Muslim di bawah Shahih Al Bukhari. Akan tetapi ada pula yang menempatkan Shahih Al Muslim di tempat pertama dengan alasan bahwa Shahih Al Muslim memiliki sistem yang memudahkan suatu istimbat. Kendati demikian hipotesis ini tidak harus mengantarkan pada kesimpulan bahwa Shahih Al Muslim memiliki derajat keshahihan yang lebih tinggi ketimbang Shahih Al Bukhari. Alasan penerapan urutan seperti itu, lebih didasarkan pada nilai-nilai praktis yang dimiliki oleh kedua kitab Shahih tersebut. Dengan demikian, kedua kitab ini secara bersama-sama menempati posisi paling puncak dalam deretan kitab-kitab hadits. Sebagian ulama menambahkan bahawa Al Muwatta’ karya Imam Malik ibn Anas menempati jajaran kedua dalam peringkat ini, dengan urutan Al Bukhari, Muslim dan Al Muwatta’.

b.      Peringkat kedua
Peringkat kedua ditempati oleh kitab-kitab yang sekalipun tidak mencapai standar keshahihan kitab-kitab shahih terdahulu, ditulis oleh orang-orang yang tidak meringankan persyaratan-persyaratan bagi diri mereka dalam menyeleksi hadits-hadits yang mereka himpun dalam kitab-kitab mereka, dan lebih dari itu, bersama-sama kitab Bukhari dan Muslim, karya-karya mereka dijadikan rujukan oleh para ulama sesudahnya dalam beristimbat, baik untuk prinsip-prinsip akidah maupun syari’ah, misalnya Jami’at Tirmidzi, Sunan Abu Dawud, Mujtaba An Nasa’i dan Sunan ibn Majah. Meskipun sebagian ulama juga mengakui bahwa kumpulan hadits Ibn Majah tidak sekritis lima kumpulan lainnya dalam Kutub As Sittah. Karena itu, sebagian ulama menggantinya dengan Al Muwatta’ karya Imam Malik dan Al Musnad karya Ahmad ibn Hambal.

c.       Peringkat ketiga
Peringkat ketiga ditempati oleh kitab-kitab hadits yang memuat banyak hadits dha’if, baik yang syaz, munkar maupun mudtarib, di samping kurang jelasnya ihwal para rijalnya, misalnya: Musnad ibn Abi Syaiban, Musnad At Tayalisi, Musnad Abd ibn Hamid, Musannaf Abd Razzaq, kitab-kitab hadits Al Baihaqi, At Tabrani dan At Tahawi. Kitab-kitab jenis ini sulit dijadikan rujukan, kecuali oleh orang-orang yang telah betul-betul mendalami ‘Ulum Al Hadits.

d.      Peringkat keempat
Pada peringkat ini ditemukan kitab-kitab hadits yang amat rendah kualitasnya bila dibandingkan dengan kitab-kitab sebelumnya. Umumnya, kitab-kitab yang masuk peringkat ini disusun oleh ulama-ulama yang menerima hadits dari para tukang cerita (qassas), para sufi (mutasawwifah), para penulis buku (mu’arrikhin) yang tidak memenuhi persyaratan sebagai perawi-perawi yang adil, para pelaku bid’ah dan orang-orang yang berbicara atas dorongan nafsunya, di antaranya: kitab-kitab hadits susunan Ibn Mardawaih, Ibn Syahin dan Abu Asy Syaikh.[25]

  1. Penutup
  1. Kesimpulan
Hadits adalah sebagai rujukan dan pegangan kedua setelah Al Qur’an bagi umat Islam. Mempelajari ‘Ulumul Hadits juga sangat penting, sehingga pelajar dapat mengerti hadits mana yang dapat digunakan pegangan hidup sehari-hari seperti yang dianjurkan oleh Nabi dalam haditsnya.
Maka dari itu, untuk mengetahui tentang kejelasan tentang suatu hadits maka ulama melakukan suatu tindakan. Tindakan ulama shahabat untuk menjamin kebenaran riwayat seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar, beliau pernah tidak menerima hadits yang disampaikan kepadanya, apabila tidak disaksikan oleh seorang lagi. Juga Umar berbuat demikian. Ali bin Abi Thalib pernah menyuruh bersumpah orang yang membawa riwayat.

  1. Saran
a.       Semoga ilmu yang terdapat dalam makalah sederhana ini bermanfaat bagi kita semua terutama bagi mahasiswa.
b.      Harapan kami kepada para pembaca khusus bagi dosen pembimbing agar  kiranya memperbaiki setiap kesalahan atau kesimpulan baik disengaja maupun tidak disengaja, dalam uraian isi makalah ini khususnya, dan para mahasiswa umumnya.

  1. Daftar Pustaka
Al Bukhari. Shahih Bukhari. Al Maktabah Asy Syamilah: Al Isti’dzan.

Asy Shiddieqy, Hasby. Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Bulan Bintang. 1987.

At Turmudzi. Sunan At Turmudzi. Al Maktabah Asy Syamilah: Al Jama’atu ‘an Rasulillah.

At Turmudzi. Sunan At Turmudzi. Al Maktabah Asy Syamilah: As Sholat.

Hassan, A. Qadir. Ilmu Musthalah Hadits. Bandung: Diponegoro. 1994.

Ismail, Syuhudi. Kaedah Keshahihan Sanad Hadits. Jakarta: Bulan Bintang. 1995.

Rahman, Fatchur. Ikhtisar Musthalahul Hadits. Bandung: Al Ma’arif, 1974.

Taufiq Hidayat, Rahmat. Almanak Alam Islami. Jakarta: Pustaka Jaya. 2000.




       [1] Qath’i wurudnya artinya hadits pasti benar datangnya dari Nabi.
       [2] Dhanni wurudnya artinya keyakinan akan kebenaran datangnya hadits dari Nabi, hanya dengan sangkaan yang kuat saja.
       [3] M. Hasby Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), 47.
       [4] Fathur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits (Bandung: Al Ma’arif, 1974),117.
       [5] M. Hasby Ash Shiddieqy, 47
       [6] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadits (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), 151.
       [7] Al Bukhari, Shahih Bukhari (Al Maktabah Asy Syamilah: Al Isti’dzan), 5814.
       [8] A. Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits (Bandung: Diponegoro, 1994), 31.
       [9] Fathur Rahman, 134-135.
       [10] A. Qadir Hassan, 71.
       [11] Mastur: Rawi yang tidak diketahui keadaannya.
       [12] Mudallis: Rawi yang menyamarkan.
       [13] A. Qadir Hassan, 73.
       [14] Ibid, 86.
       [15] At Turmudzi, Sunan At Turmudzi (Al Maktabah Asy Syamilah: Al Jama’atu ‘an Rasulillah), 486.
       [16] Fathur Rahman, 136.
       [17] A. Qadir Hassan, 73-75.
       [18] A. Qadir Hassan, 166.
       [19] Ibid, 91.
       [20] Fathur Rahman, 166.
       [21] A. Qadir Hassan, 120.
       [22] At Turmudzi, Sunan At Turmudzi (Al Maktabah Asy Syamilah: As Sholat), 399.
       [23] A. Qadir Hassan, 92.
       [24] Ibid, 92-93.
       [25] Rahmat Taufiq Hidayat, dkk., Almanak Alam Islami (Jakarta: Pustaka Jaya, 2000), 35.


EmoticonEmoticon