Saturday, December 14, 2013

Aliran Mu'tazilah

BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang.
Pada perkembangan agama Islam setelah masa Khulafa Arrashidin muncullah berbagai macam aliran Madzhab Kalamiyah, yang salah satu di antaranya adalah aliran Mu’tazilah.
Kaum Mu’tazilah adalah kaum yang membuat heboh dunia Islam selama 300 tahun pada abad-abad permulaan Islam. Dalam sejarah tercatat bahwa kaum Mu’tazilah pernah membunuh ribuan ulama Islam, di antaranya adalah ulama Islam yang terkenal Syeh Buaithi, imam pengganti Imam Syafi’i, dalam peristiwa yang dinamai “Peristiwa Qur’an Makhluk”
Imam Ahmad bin Hanbal, pembangun Madzhab Hanbali, juga mengalami siksaan dalam penjara selama 15 tahun akibat peristiwa itu.
Maka dengan kejadian di atas kita perlu mengetahui dan mengenal sejarah asal-usul aliran Mu’tazilah.

  1. Rumusan Masalah.
1.      Apa pengertian Mu’tazilah?
2.      Bagaimanakah sejarah lahirnya aliran Mu’tazilah?
3.      Apa sajakah pokok-pokok ajaran dalam aliran Mu’tazilah?

BAB II
PEMBAHASAN

  1. Pengertian Mu’tazilah.
Kata “Mu’tazilah” berasal dari kata “اِعْتَزَلَ yang artinya menyisihkan diri. Yaitu kaum yang menyisihkan diri.[1] Kata-kata ini diulang dalam Al-quran sebanyak  sepuluh kali yang kesemuanya mempunyai arti sama yaitu al ibti’âd ‘ani al syai-i : menjauhi sesuatu. Seperti dalam satu redaksi ayat :
فَاِنِ اعْتَزَلُوْكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ وَأَ لْقُوْا اِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ الله ُلَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيْلاً  (النساء 90)
Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk melawan dan membunuh) mereka.” (QS. 4:90)[2]
Aliran Mu’tazilah dalam menetapkan prinsip-prinsipnya selalu berpegang kepada akal (ratio). Sebab itu mereka sangat mengutamakan ratio dan menempatkannya pada tingkat yang tinggi. Pada masa berikutnya mereka bersandar kepada filsafat, terutama setelah timbul kebangkitan dan kemajuan dalam bidang ilmiyah dalam Alam Islami juga sesudah filsafat diterjemahkan dari berbagai bangsa ke dalam bahasa Arab. Pada masa itu filsafat merupakan senjata ampuh bagi musuh-musuh Islam untuk menyerangnya. Maka kaum Mu’tazilah pun memekai filsafat sebagai senjata mereka untuk mempertahankan Islam terhadap orang yang menyerang dan menantangnya.[3]
  1. Sejarah Lahirnya Aliran Mu’tazilah.
 Ada beberapa sebab yang menerangkan kaum ini dinamakan kaum Mu’tazilah, yaitu:
a)          Ada seorang guru besar di Baghdad yang bernama syeh Hasan Bashri (wafat 110 H). Di antara muridnya ada yang bernama Wasil bin Atha’ (wafat 131 H). Pada suatu hari Imam Hasan Bashri menerangkan bahwa orang Islam yang telah iman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi ia kebetulan mengerjakan dosa besar, maka orang itu tetap muslim tetapi muslim yang durhaka. Di akhirat nanti, kalau ia wafat sebelum taubat dari dosanya, ia dimasukkan ke dalam neraka buat sementara untuk menerima hukuman atas perbuatan dosanya, tetapi sesudah menjalankan hukuman ia dikeluarkan dari dalam neraka dan dimasukkan ke dalam surga sebagaimana seorang Mu’min dan Muslim.
حُكْمُ اْلمُؤْمِنِ اْلعَاصِى بَعْدَ اْلحِسَابِ اِنْ غَفَرَاللهُ لَهُ اَنْ يَدْخُلَ اْلجَنَّةَ مِنْ
 اَوَّلِ اْلاَمْرِ خَالِدًا فِيْهَا اَبَدًا وَاِنْ لَمْ يَغْفِرْ لَهُ اَنْ يُعَذَّبَ فِى النَارِ مُدَّةً
عَلَى مِقْدَارِ ذَنْبِهِ ثُمَّ يَخْرُجُ مِنْهَا وَ يَدْخُلُ اْلجَنَّةَ خَالِدًا فِيْهَا اَبَدًا.[4]
        Wasil bin Atha’ tidak sependapat dengan gurunya, lantas ia membentak, lalu keluar dari halaqah gurunya dan kemudian mengadakan majlis lain di suatu pojok dari masjid Basrah itu.
        Oleh karena itu, maka Wasil bin Atha’ dinamai kaum Mu’tazilah, karena ia mengasingkan diri dari gurunya. Dan diikuti oleh temannya Umar bin Ubaid (wafat 145 H).
        Sejarah tidak mencatat tanggal, hari dan bulan perceraian, tetapi ketika itu usia Wasil 40 tahun, yaitu usia seseorang yang sudah bertanggung jawab, maka gerakan ini dimulai tahun 120 H, karena lahirnya Wasil bin Atha’ adalah pada tahun 80 H.
        Jadi dapat dikatakan bahwa permulaan munculnya faham Mu’tazilah adalah pada permulaan abad ke II Hijriyah, dengan guru besarnya Wasil bin Atha’ dan Umar bin Ubaid. Dan yang berkuasa saat itu Khalifah Hisyam bin Abdul Muluk dari Bani Umayyah (100-125 H).
b)          Ada pula yang mengatakan sebab dinamakan Mu’tazilah karena mengasingkan diri dari masyarakat. Orang-orang Mu’tazilah pada mulanya adalah orang-orang Syi’ah yang patah hati akibat menyerahnya Khalifah Hasan bin Ali bin Abi Thalib kepada Khalifah Mu’awiyah dari Bani Umaiyah.
        Mereka menyisihkan diri dari siasah (politik) dan hanya mengadakan kegiatan dalam bidang ilmu pengetahuan. Demikian dikatakan oleh Abdul Hasan Thara’ifi, pengarang buku “Ahlul Hawa wal Bida”, yang dikutip oleh Muhammad Abu Zaharah dalam bukunya “Asy Syafi’i” , page 117.
        Kalau ucapan Tharaifi ini benar, maka tanggal permulaan gerakan Mu’tazilah ini adalah sekitar tahun 40 H, karena penyerahan pemerintahan Sayidina Hasan kepada Sayidina Mu’awiyah adalah pada tahun 40 H.
        Baik dari Tharaifi maupun Muhammad Abu Zaharah tidak menerangkan nama orang-orang yang patah hati itu dan juga tidak menerangkan tahun-tahunnya. Karena itu dalil Tharaifi ini tidak begitu kuat, apalagi dilihat dalam kenyataannya, bahwa orang-orang  Mu’tazilah dalam prakteknya bukan patah hati tetapi banyak sekali mencampuri soal-soal politik dan bahkan sampai mendominasi Khalifah Al Ma’mun, Khalifah al Mu’tashim dan Khalifah Al Watsiq. Dan bahkan di antara mereka ada yang duduk mendampingi Kepala Negara sebagai penasehatnya.
c)          Ada penulis-penulis lain yang mengatakan bahwa kaum Mu’tazilah itu adalah kaum yang mengasingkan diri dari keduniaan. Mereka memakai pakaian yang jelek-jelek, memakai kain yang kasar-kasar, tidak mewah dan dalam hidupnya sampai kederajat kaum minta-minta (Darawisy).
        Keterangan ini pun sangat lemah, karena dalam kenyataannya kemudian, banyak kaum Mu’tazilah yang gagah-gagah, pakai rumah mewah-mewah, pakai kendaraan mewah-mewah, sesuai dengan kedudukan mereka di samping Khalifah-khalifah.
d)         Pengarang buku “Fajarul Islam” Ahmad Amin, tidak begitu menerima semuanya itu. Persoalan kaun Mu’tazilah bukan sekedar menyisihkan diri dari majlis guru, bukan sekedar menyisihkan diri dari masyarakat atau sekedar tidak suka memakai pakaian mewah, tetapi lebih mendalam dari itu. Mereka menyisihkan fahamnya dan I’tiqadnya dari paham dan I’tiqad umat Islam yang banyak.
        Pendapat ini dikuatkan oleh pengarang kitab “al Farqu bainal Firaq”, yang menyatakan bahwa Syeh Hasan Basri mengatakan ketika kedua orang itu menyisihkan diri bahwa mereka telah menjauhkan diri dari pendapat umum.
        Pendapat ini memang dekat pada kebenaran, karena dari dulu sampai sekarang fatwa-fatwa kaum Mu’tazilah banyak yang ganjil-ganjil, banyak yang di luar dari faham Nabi dan sahabat-sahabat beliau. Jadi mereka itu benar-benar Mu’tazilah (tergelincir) dalam arti kata sebenarnya.[5]

  1. Pokok-Pokok Ajaran Mu’tazilah.
Dasar-dasar pokok ajaran Mu’tazilah berkisar pada 5 soal:
1)      Tauhid
Tauhid kaum Mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat-sifat Tuhan, tetapi Tuhan adalah Zat yang tunggal tanpa sifat. Mereka menganut pendapat yang meniadakan sifat-sifat yang Qadim itu sama sekali. Sebab, kalau seandainya memang ada sifat-sifat yang Qadim, tentulah akan ada beberapa “Yang Qadim”. Dan ini adalah kepercayaan syirik. Mereka berkata bahwa Allah adalah ‘Alim (Mengetahui) dengan dzat-Nya, Qadir (Kuasa) dengan dzat-Nya, Haiyun (Hidup) dengan dzat-Nya, Mutakallim (Berbicara) dengan dzat-Nya. Bardasarkan keterangan tersebut maka mereka berkata, bahwa Al Qur’an adalah “makhluk”, karena tak ada Yang Qadim kecuali Allah.
Karena adanya prinsip-prinsip ini, maka musuh-musuh Mu’tazilah menggelari mereka dengan “Mu’attilah”, sebab mereka telah meniadakan sifat-sifat Tuhan dan menghapuskannya. Dan karena prinsip ini pula maka kepada orang-orang yang menetapkan adanya sifat-sifat Tuhan lalu diberikan gelar “Shifatiyah”. Dan karena prinsip pertama dan kedua tersebut di atas, maka kaum Mu’tazilah sendiri menyebut diri mereka dengan “Ahlul ‘adli wat tauhid” (pengemban keadilan dan ketauhidan).[6]
2)      Keadilan.
Kaum Mu’tazilah menggunakan istilah keadilan yaitu karena manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya sendiri, yang baik ataupun yang jelek. Dan karenanya ia berhak mendapatkan pahala dan siksa. Dan Tuhan sama sekali bersih dari hal-hal yang jelek, aniaya dan perbuatan yang dipandang kekafiran dan kemaksiatan. Sebab, kalau seandainya Tuhan memang menciptakan kezaliman, berarti Ia adalah zalim. Mereka sepakat bahwa Allah Ta’ala hanyalah berbuat yang patut dan baik.
Berdasarkan kepada prinsip tersebut, maka kaum Mu’tazilah ini juga disebut “Al’adliyah”, yaitu orang-orang yang menganut pendapat tentang keadilan. Dan karenanya mereka juga disebut kaum “Qadariyah” yaitu orang-orang yang menentang adanya Qadha dan Qadar.
Kaum Mu’tazilah sendiri tidak pernah menyebut-nyebut kedua istilah itu. Mereka bahkan membenci akan gelar-gelar tersebut. Dan mereka tidak senang kalau kedua perkataan itu dipakai sebagai nama mereka. Bahkan mereka berpendapat bahwa gelar-gelar tersebut sepantasnya dipakaikan kepada orang yang menganut pendapat tentang adanya Qadar, dan bukan kepada orang-orang yang mengingkari pendapat itu.
Yang menyebabkan kaum Mu’tazilah benci kepada gelar tersebut ialah sabda Rasulullah SAW:
“Kaum Qadariyah adalah kaum Majusi Ummat ini”, dan sabda: “Kaum Qadariyah adalah musuh-musuh Allah mengenai Qadar”.
Itulah sebabnya kita dapati orang-orang yang menganut pendapat tentang adanya Qadar melekatkan gelar tersebut kepada kaum Mu’tazilah dan sebaliknya kaum Mu’tazilahpun melekatkan gelar tersebut kepada orang-orang yang menganut pendapat tentang adanya Qadar.[7]
3)      Janji baik dan janji buruk.
Tuhan telah berjanji – kata Mu’tazilah, bahwa siapa yang durhaka akan dihukum-Nya dan siapa yang mengerjakan pekerjaan baik akan diberi-Nya upah. Oleh karena itu, sekalian orang yang berbuat dosa tidak akan diampuni-Nya lagi kalau ia wafat sebelum taubat, dan akan terus masuk neraka tak keluar lagi. Ini sesuai dengan Janji-Nya.
4)      Tempat di antara dua tempat
Apabila orang Mu’min berbuat dosa maka ia dihukum dalam neraka disuatu tempat, lain dari tempatnya orang kafir. Nerakanya agak dingin, mereka tinggal di antara dua tempat, yakni antara surga dan neraka.[8]
5)      Amar ma’ruf nahi munkar
Adapun “amar ma’ruf” dan “nahi munkar” adalah wajib bagi setiap orang Islam, sama dengan kepercayaan kaum Ahlussunnah, akan tetapi yang ma’ruf bagi kaum Mu’tazilah ialah hanya pendapat mereka, bukan ma’ruf yang sesuai dengan Al Qur’an dan Hadits.[9]
Kaum Mu’tazilah sepakat mengatakan bahwa akal manusia sanggup membedakan yang baik dari yang buruk, sebab sifat-sifat dari yang baik dan yang buruk itu dapat dikenal. Dan manusia berkewajiban memilih yang baik dan menjauhi yang buruk. Untuk ini, Tuhan tidak perlu mengutus Rasul-Nya. Apabila orang tidak mau berusaha untuk mengetahui yang baik dan yang buruk itu ia akan mendapat siksaan dari Tuhan. Begitu pula apabila ia tahu akan yang baik tetapi tidak diikutinya, atau ia tahu mana yang buruk tetapi tidak dihindarinya.
Adapun mengutus Rasul, adalah merupakan pertolongan tambahan dari Tuhan[10], “Agar orang-orang yang binasa itu, binasanya adalah dengan alasan, dan orang yang hidup itu, hidupnya adalah dengan alasan pula”.
NçFRr&ŒÎ) Íourôãèø9$$Î/ $u÷R9$# Nèdur Íourôãèø9$$Î/ 3uqóÁà)ø9$# Ü=ò2§9$#ur Ÿ@xÿór& öNà6ZÏB 4 öqs9ur óO?tã#uqs? óOçGøÿn=tG÷z]w Îû Ï»yèŠÏJø9$#   `Å3»s9ur zÓÅÓø)uÏj9 ª!$# #XöDr& šc%Ÿ2 ZwqãèøÿtB šÎ=ôguŠÏj9 ô`tB šn=yd .`tã 7poYÍht/ 4Ózóstƒur ô`tB  yr .`tã 7poYÍht/ 3 žcÎ)ur ©!$# ììÏJ|¡s9 íOŠÎ=tæ ÇÍËÈ  
Maksudnya:
“agar orang-orang yang tetap di dalam kekafirannya tidak mempunyai alasan lagi untuk tetap dalam kekafiran itu, dan orang-orang yang benar keimanannya adalah berdasarkan kepada bukti-bukti yang nyata.”[11]
Berdasarkan pangkal yang ini banyaklah fatwa-fatwa kaum Mu’tazilah yang bertentangan dengan fatwa dunia Islam. Di dalam kitab-kitab Usuluddin terdapat banyak sekali perkataan “Khilafan lil Mu’tazilah” yang artinya “berbeda dengan faham Mu’tazilah”. Oleh karena itu, kemudian umat Islam telah sepakat menetapkan bahwa faham dan I’tiqad kaum Mu’tazilah adalah salah, tidak sesuai dengan I’tiqad Nabi dan sahabat-sahabatnya, tidak sesuai dengan Al Qur’an dan Hadits.
Imam mereka dinamai “Qadli Qudlat” (Qadli dari sekalian Qadli) bernama Abdul Jabbar bin Ahmad (wafat: 415 H) mengarang sebuah buku bernama “Syarah Ushulil Khamsah” (Penjelasan tentang pokok yang lima) dimana diterangkan panjang lebar pokok-pokok Keimanan Kaum Mu’tazilah yang lima.
Di antara aliran-aliran yang terbesar dari kaum Mu’tazilah adalah:
1.      Aliran Washiliyah, yaitu aliran Washil bin ‘Atha’.
2.      Aliran Huzailiyah, yaitu aliran Huzel al ‘Allaf.
3.      Aliran Nazamiyah, yaitu aliran Sayyar bin Nazham.
4.      Aliran Haitiyah, yaitu aliran Ahmad bin Haith.
5.      Aliran Basyariyah, yaitu aliran Basyar bin Mu’atmar.
6.      Aliran Ma’mariyah, yaitu aliran Ma’mar bin Ubeid as Salami
7.      Aliran Mizdariyah, yaitu aliran Abu Musa al Mizdar.
8.      Aliran Tsamariyah, aliran Thamamah bin Ar rasy.
9.      Aliran Hisyamiyah, yaitu aliran Hisyam bin Umar al Fathi.
10.  Aliran Jahizhiyah, yaitu aliran Utsman al Jahizh.
11.  Aliran Khayathiyah, yaitu aliran Abu Hasan al Khayath.
12.  Aliran Jubaiyah, yaitu aliran Abu Ali al Jubai.
13.  Aliran-aliran lain yang banyak lagi.[12]
Beberapa kesalahan dan kekeliruan yang diperbuat kaum Mu’tazilah, yaitu:
Pertama. Kaum Mu’tazilah amat berlebih-lebihan dalam menghormati dan mengagungkan akal, sedang akal sering keliru dan salah.
Kedua. Agama Islam terkenal dengan sifat yang mudah dan gampang, akan tetapi Mu’tazilah telah menyebabkan aqidah Islam menjadi ruwet dan berbelit-belit, yaitu dengan memasukkan filsafat-filsafat dan pelajaran-pelajaran mengenai ketuhanan dan alam, yang tidak dapat memperjelas ajaran-ajaran Islam, bahkan membuatnya jadi kabur.
Ketiga. Kaum Mu’tazilah menyelami lautan filsafat untuk mempertahankan agama Islam, akan tetapi banyak di antara mereka itu memakai senjata tersebut untuk menikam diri sendiri.
Keempat. Ketika kaum Mu’tazilah membahas masalah kekacauan-kekacauan yang terjadi pada permulaan Islam, maka kebanyakan mereka membolehkan untuk mencela para sahabat Nabi.[13]
            Ustadz Ahmad Amin berkata: “Pada hakekatnya, kaum Mu’tazilah-lah yang menciptakan Ilmu Kalam dalam Islam. Dan merekalah yang mula-mula dalam kalangan Muslimin memakai senjata seperti yang dipakai oleh musuh-musuh mereka, dalam mempertahankan agama. Pada permulaan abad kedua Hijriyah, tampaklah pengaruh orang-orang bekas penganut agama Yahudi, Nasrani, Majusi dan Dahriyah yang telah memeluk Islam. Banyak di antara mereka memeluk Islam tetapi pikiran mereka masih dipenuhi oleh ajaran-ajaran agama mereka yang lama. Dan agama tersebut sebelumnya telah bersenjatakan filsafat dan logika Yunani, dan telah menyusun sistem pembahasannya, dan menyelaminya sampai sedalam-dalamnya. Kemudian mereka menyerang Islam, yaitu agama yang terkenal dengan kesederhanaan akidahnya, sehingga mereka berhasil memasukkan keragu-raguan ke dalam agama Islam.”[14]

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan.
Faham Mu’tazilah memang selayaknya dianalisa dengan sebaik-baiknya, agar umat Islam yang telah berada di jalur yang lurus – I’tiqad umat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabatnya - tidak berbelok kepada I’tiqad faham Mu’tazilah sesat lagi menyesatkan.

DAFTAR PUSTAKA

……., Agustus 2004. http://www.alquran-digital.com, diakses 12 Desember 2010.
Abbas, Sirajuddin, I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1999.
Al Jaza’iri, Thohir Bin Sholih, Al Jawahir Al Kalamiyah, Surabaya: Al Hidayah, t.t.
Syalabi, A. Sejarah Dan Kebudayaan Islam 2, Jakarta: Al Husna Zikra, 1997.




       [1] KH. Sirajudin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1999), hlm 174.
      [2] ……., Agustus 2004. http://www.alquran-digital.com, diakses 15 Januari 2011.
       [3] Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam 2 (Jakarta: Al Husna Dzikra, 1997), hlm. 389.
       [4] Syeh Thohir ibn Sholih al Jazairi, Al Jawahir Al Kalamiyah (Surabaya: Al Hidayah), hlm. 44.
       [5] KH. Sirajudin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1999), hlm 174-176.
       [6] Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam 2 (Jakarta: Al Husna Dzikra, 1997), hlm. 393-394.
       [7] Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam 2 (Jakarta: Al Husna Dzikra, 1997), hlm. 391-392.
       [8] KH. Sirajudin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1999), hlm 181.
       [9] Ibid, hlm. 181.
       [10] Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam 2 (Jakarta: Al Husna Dzikra, 1997), hlm. 394-395.
       [11] ……., Agustus 2004. http://www.alquran-digital.com, diakses 12 Desember 2010.
       [12] KH. Sirajudin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1999), hlm 182-183.
[13] Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam 2 (Jakarta: Al Husna Dzikra, 1997), hlm. 396-397.
       [14] Ibid, hlm. 390-391.


EmoticonEmoticon