Saturday, December 14, 2013

AXIOLOGI (FILSAFAT NILAI)

BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Perilaku manusia sangat behubungan dengan nilai. Semua yang dikerjakan dapat menghasilkan suatu yang bernilai. Pada pembahasan Aksiologi ini, maka manusia akan berfikir “apakah yang saya lakukan ini pantas atau tidak?” atau muncul pertanyaan “apakah benda itu bernilai karena kita menilainya, ataukah kita menilainya karena benda itu bernilai?”. Untuk lebih jelasnya, maka kami akan berusaha membahas dalam makalah ini.

  1. Rumusan masalah
  1. Apa pengertian Aksiologi?
  2. Bagaimanakah konsepnya tentang nilai?

BAB II
PEMBAHASAN

  1. Pengertian Aksiologi
Kata aksiologi barasal dari bahasa Inggris “axiology”; dari kata Yunani “axios” yang artinya layak; pantas; nilai, dan “logos” artinya ilmu; studi mengenai. Dari pengertian menurut bahasa tersebut, ada beberapa pengertian secara istilah sperti yang disebutkan di bawah ini:
  1. Aksiologi merupakan analisis nilai-nilai. Maksud dari analisis ini ialah membatasi arti, ciri-ciri, asal, tipe, kriteria dan status epistimologis dari nilai-nilai itu.
  2. Aksiologi merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang nilai atau suatu studi yang menyangkut segala yang bernilai.
  3. Aksiologi adalah studi filosofis tentang hakikat nilai-nilai. Pertanyaan mengenai hakikat nilai ini dapat dijawab dengan tiga macam cara:
a.       Orang dapat mengatakan bahwa a) nilai sepenuhnya berhakikat subyektif. Ditinjau dari sudut pandangan ini, nilai-nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku. Pengikut teori idealisme subyektif (positivisme logis, emotivisme, analisis linguistik dalam etika) menganggap nilai sebagai sebuah fenomen kasadaran dan memandang nilai sebagai pengungkapan perasaan psikologis, sikap subyektif manusia kepada obyek yang dinilainya.
b.      Dapat pula orang mengatakan b) nilai-nilai merupakan kenyataan, namun tidak terdapat dalam ruang waktu. Nilai-nilai merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui melalui akal.
c.       Akhirnya orang dapat mengatakan bahwa c) nilai-nilai merupakan unsur-unsur obyektif yang menyusun kenyataan.[1]
Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, social dan agama. Sistem mempunyai rancangan bagaimana tatanan, rancangan dan aturan sebagai satu bentuk pengendalian terhadap satu institusi dapat terwujud.
Nilai merupakan tema baru dalam filsafat: aksiologi, cabang filsafat yang mempelajarinya, muncul pertama kalinya pada paroh kedua abad ke-19. Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Di dunia ini terdapat banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang khusus seperti epistimologis, etika dan estetika. Epistimologi bersangkutan dengan masalah kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan estetika bersangkutan dengan masalah keindahan.[2]

  1. Konsep Tentang Nilai
Konsep nilai merupakan komplemen dan sekaligus lawan konsep fakta. Kita memang hanya mengetahui fakta, tetapi mesti mencari nilai. Karena apapun, sikap apapun, ideal mana saja, maksud apa saja, maksud manapun, atau tujuan mana saja pasti mempunyai nilai, maka nilai mesti merupakan objek preferensi atau penilaian kepentingan. Dalam sejarah filsafat telah muncul sejumlah nilai.
Teori umum tentang nilai bermula dari perdebatan antara Alexius Meinong dengan Cristian von Ehrenfels pada tahun 1890-an berkaitan dengan sumber nilai. Meinong memandang bahwa sumber nilai adalah perasaan (feeling), atau perkiraan atau kemungkinan adanya kesenangan terhadap suatu obyek. Ehrenfels (juga Spinoza) melihat bahwa sumber nilai adalah hasrat/keinginan (disire). Suatu obyek menyatu dengan nilai melalui keinginan aktual atau yang memungkinkan, artinya suatu obyek memiliki nilai karena ia menarik. Menurut kedua pendapat tersebut, nilai adalah milik obyek itu sendiri-obyektivisme aksiologis.[3]
1.      Persoalan Aksiologis Dalam Kehidupan Sehari-hari
Diskusi pada umumnya menunjukkan sikap aksiologi yang ekstrim. Bila dua orang tidak sependapat mengenai makanan atau minuman yang menyenangkan atau tidak, dan mereka gagal untuk saling meyakinkan, diskusi pada umumnya berakhir dengan pernyataan dari salah satu di antara kedua belah pihak bahwa dia menyenangi atau tidak menyenangi hal itu, dan tidak seorang pun yang dapat meyakinkan lawan bicaranya. Jika terdapat persoalan dalam sebuah diskusi di antara dua orang terpelajar, maka akan teringat peribahasa latin yang sering diucapakan: “selera tidak dapat diperdebatkan” (de gustibus non disputandum). Orang yang mendukung tesis de gustibus non disputandum ingin menunjukkan satu ciri khas nilai, yaitu sifat yang mendalam dan langsung dari penilaian.
Konflik ini merupakan yang sangat menggelitik bagi aksiologi kontemporer. Sebenarnya, hal itu lahir bersama aksiologi itu sendiri dan sejarah teori nilai dapat ditulis, dengan memandang persoalan ini sebagai sumber dan dengan mensketsakan berbagai penyelesaian yang telah dikemukakan dalam rangka menyelesaikannya. Meskipun maknanya mungkin berbeda, persoalan tersebut telah muncul pada Plato; shakespeare yang menempatkannya dalam Troilus and Cresida (II,2) dan Spinoza memilih salah satu alternatif di dalam Etika-nya (III, prop.IX).[4]
2.      Nilai itu Obyektif atau Subyektif?
Inti persoalan tersebut dapat dinyatakan dengan pertanyaan berikut: apakah obyek itu memiliki nilai karena kita mendambakannya, atau apakah kita mendambakannya karena obyek tersebut memiliki nilai? Apakah hasrat, kenikmatan atau perhatian yang memberikan nilai kepada suatu obyek, ataukah sebaliknya, kita mengalami preferensi ini karena kenyataan bahwa obyek tersebut memiliki nilai yang mendahului dan asing bagi reaksi psikologis badan organis kita? Atau, jika orang lebih menyukai terminologi yang lebih teknis dan tradisional: apakah nilai itu obyektif atau subyektif?
Dengan pengajuan pertanyaan seperti itu, sebelumnya diperlukan penjelasan istilah untuk menghindarkan diri agar tidak terjebak ke dalam disputatio de nominem. Nilai itu “obyektif” jika ia tidak tergantung pada subyek atau kesadaran yang menilai; sebaliknya nilai itu “subyektif”  jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada reaksi subyek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun fisis.[5]
a)      Obyektivisme atau Realisme Aksiologi
Nilai, norma, ideal dan sebagainya merupakan unsur atau berada dalam obyek atau berada pada realitas obyektif (kata Alexander); atau ia dianggap berasal dari suatu obyek melalui ketertarikan (kata Spinoza). Penetapan sebuah nilai memiliki makna, yakni benar atau salah, meskipun nilai itu tidak dapat diverifikasi, yakni tidak dapat dijelaskan melalui suatu istilah tertentu. Nilai berada dalam suatu obyek seperti halnya warna atau suhu. Nilai terletak dalam realitas. Bahwa nilai-nilai – seperti kebaikan, kebenaran, keindahan  - ada dalam dunia nyata dan dapat ditemukan sebagai entitas-entitas, kualitas-kualitas, atau hubungan-hubungan seperti meja, merah.
Juga pandangan bahwa niali-nilai adalah obyektif, dalam arti bahwa nilai-nilai itu dapat didukung oleh argumentasi cermat dan rasional konsisten sebagai yang terbaik dalam situasi itu. Pendukung obyektivisme aksiologis mencakup Plato, Aristoteles, St. Thomas Aquinas, Maritain, Rotce, Urban, Bosanquet, Whitehead, Joad, Spauling, Alexander, dan lain-lain.[6]
b)      Subyektivisme Aksiologis
Teori-teori berkaitan dengan pandangan ini mereduksi penentuan nilai-nilai, seperti kebaikan, kebenaran, keindahan ke dalam statmen yang berkaitan dengan sikap mental terhadap suatu obyek atau situasi. Penentuan nilai sejalan dengan pernyataan setuju atau tidak. Nilai memiliki realitas hanya sebagai suatu keadaan pikiran terhadap suatu obyek.
Subyektivisme aksiologis cenderung mengabsahkan teori etika yang disebut hedonisme, sebuah teori yang menyatakan kebahagiaan sebagai kriteria nilai, dan naturalisme yang meyakini bahwa suatu nilai dapat direduksi ke dalam suatu pernyataan psikologis. Nilai tergantung dengan pengalaman manusia tentangnya; nilai tidak memiliki realitas yang independen (relativisme aksiologis). Yang termasuk pendukung subyektivisme aksiologis adalah Hume, Perry, Prall, Parker, Santayana, Sartre, dan lain-lain.[7] Suatu nilai dikatakan absolute atau abadi, apabila nilai yang berlaku sekarang sudah berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku serta abasah sepanjang masa, serta akan berlaku bagi siapapun tanpa memperhatikan ras, maupun kelas social. Dipihak lain ada yang beranggapan bahwa semua nilai relative sesuai dengan keinginan atau harapan manusia.[8]
3.      Relasionisme Aksiologis
Nilai tidak bersifat privat (subyektif), tetapi bersifat publik, meskipun tidak bersifat obyektif dalam arti tidak terlepas dari berbagai kepentingan. Penganjur relasionisme aksiologis di antaranya Dewey, Pepper, Ducasse, Lepley, dan lain-lain.[9]
4.      Nominalisme atau Skeptisisme (Emotivisme Aksiologis)
Teori-teori yang didasarkan pada pandangan ini mengatakan bahwa penentuan nilai adalah ekspresi emosi atau usaha untuk membujuk. Yang semuanya tidak faktual. Ilmu tentang nilai – aksiologi – adalah mustahil. Ajaran G. E. Moore tentang kebahagiaan yang tidak dapat dijelaskan. Tetapi kebaikan mungkin saja secara faktual diletakkan pada suatu tindakan atau suatu obyek, walaupun bersifat intuitif dan tidak dapat diverifikasi.
I. A. Richard membedakan antara makna faktual dan makna emotif. Catatan sejarah menyebutkan asal mula emotivisme, yaitu berasal dari logika positivisme: bahwa nilai adalah sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dan bersifat emotif, meski memiliki makna secara faktual. Nilai sama sekali tidak dapat digambarkan sebagai keadaan suatu subyek, obyek ataupun sebagai hubungan. Pendukung emotivisme antara lain: Nietzsche, Ayer, Russel, Stevenson, Schlick, Carnap, dan lain-lain.[10]
5.      Nilai dan Kebaikan
Sebelum masa Rudolf H. Lotze (1817-1881) para filsuf hanya kadang-kadang saja membicarakan tentang nilai. Sehubungan dengan nilai, sesungguhnya filsafat selalu bergelut dengannya, tetapi di bawah aspek baik dan kebaikannya (bonum et bonitas). Filsafat nilai pada zaman modern (Max Scheler) yang bermula dari Lotze membuat pembedaan tajam antara nilai dan kebaikan. Karena nilai-nilai dalam arti ini dipikirkan sebagai ide-ide dari dunia lain yang dapat diperkenalkan kepada dunia nyata dengan peralatan manusia, pandangan ini pantas dinamakan teori “idealisme nilai”. Lawan idealisme nilai adalah realisme nilai atau lebih baik, metafisika nilai, yang mengatasi pemisahan nilai dari yang ada (al-mawjud).[11]
6.      Nilai dan Persepsi
Ciri khusus dari persepsi-nilai kita tergantung pada sifat hakiki nilai itu sendiri. Kalau nilai terpisah dari eksistensi, nilai sama sekali tidak dapat dimasuki oleh akal manusiawi yang tertuju pada eksistensi. Karena nilai itu menampakkan dirinya hanya kepada perasaan emosional, akibatnya terdapat sejenis irasionalisme-nilai. Lawan irasionalisme-nilai adalah rasionalisme-nilai yang mereduksikan ciri khusus nilai pada eksistensinya saja. Di antara kedua ekstrim ini terdapat hal seperti persepsi intelektual terhadap nilai. Karena persepsi-nilai intelektual selalu dikondisikan oleh emosi dan hasrat.[12]
Terdapat beberapa pandangan yang berkaitan dengan tingkatan/hierarki nilai :
1. Kaum Idealis
Mereka berpandangan secara pasti terhadap tingkatan nilai, dimana nilai spiritual lebih tinggi daripada nilai non spiritual (nilai material).
2. Kaum Realis
Mereka menempatkan nilai rasional dan empiris pada tingkatan atas, sebab membantu manusia menemukan realitas objektif, hukum-hukum alam dan aturan berfikir logis.
3. Kaum Pragmatis
Menurut mereka, suatu aktifitas dikatakan baik seperti yang lainnya, apabila memuaskan kebutuhan yang penting, dan memiliki nilai instrumental. Mereka sangat sensitive terhadap nilai-nilai yang menghargai masyarakat.[13]
Macam-macam nilai:
1.      Nilai Instrumental, mempunyai beberapa pengertian:
a.       Nilai yang dimiliki suatu hal dalam menghasilkan akibat-akibat atau hasil-hasil yang diinginkan.
b.      Suatu nilai yang dikenakan pada sesuatu yang digunakan sebagai alat memperoleh sesuatu yang diinginkan atau dapat diinginkan.[14]
2.      Nilai Utilitarian, beberapa pengertian:
a.       Nilai yang dipunyai oleh suatu hal yang berguna bagi pemenuhan sebuah tujuan.
b.      Nilai yang dimiliki suatu hal dalam memajukan kebaikan terbesar dari jumlah besar.[15]


BAB III
KESIMPULAN

Filsafat nilai atau aksiologi merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang nilai atau suatu studi yang menyangkut segala yang bernilai. Di samping itu aksiologi berhubungan dengan etika dan estetika, baik nilai itu sesuatu yang bersifat subyektif maupun obyektif. Tujuan nilai adalah untuk mengetahui apakah sesuatu itu baik atau buruk, suka atau tidak suka, senang atau tidak senang dan lain sebagainya. Sehingga dengan mengetahui nilai maka tercapailah apa yang menjadi tujuan manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Faruk, Filsafat Umum, Ponorogo: STAIN PO Press, 2009.

Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2002.

Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Alih Bahasa Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996.

Risieri Frondizi, Filsafat Nilai, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Uyoh Sadulloh, op cit.




       [1] Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2002), 33-34.
       [2] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Alih Bahasa Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), 327.
       [3] Ahmad Faruk, Filsafat Umum (Ponorogo: STAIN PO Press, 2009), 104.
        [4] Risieri Frondizi, Filsafat Nilai (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 16-19.
       [5] Risieri Frondizi, Filsafat Nilai, 19-20.
       [6] Ahmad Faruk, Filsafat Umum, 105.
       [7] Ahmad Faruk, Filsafat Umum, 105-106.
       [8] Uyoh Sadulloh, op cit. 36.
       [9] Ibid, 106.
       [10] Ibid, 107.
       [11] Ahmad Faruq, Filsafat Umum,107-108.
       [12] Ibid, 109.
       [13] Uyoh Sadulloh, op cit. 39-40.
       [14] Ahmad Faruq, Filsafat Umum, 110.
       [15] Ibid, 110-111.


EmoticonEmoticon