Thursday, December 5, 2013

Metode Pendidikan

                Menyampaikan Pendidikan dengan Cara Berdakwah
                     A.  Pengertian Metode dan Tarbiyah
Dalam Bahasa Arab, kata metode diungkapkan dalam berbagai kata. Terkadang digunakan kata (الطريقة), (منهج), dan الوصيلة)). ((الطريقةberarti jalan, (المنهج) berarti system dan (الوصيلة) berarti mediator. Dengan demikian kata arab yang dekat dengan arti metode adalah (الطريقة). Kata serupa dengan kata (الطريقة) ini banyak dijumpai dalam al-Qur’an. Kata (طريقة) diulang sebanyak 11 kali.[1]
Dalam bahasa Arab para pakar pendidikan pada umumnya menggunakan kata tarbiyah untuk arti pendidikan, di antaranya adalah Ahamad Fuad al-Ahwani, Ali Khalil Abu al-Imam, Muhammad Athiyah al-Abrosyi dan Muhammad Munir Mursyi. Sementara itu menurut Muhammad Athiyah al-Abrosyi, istilah at tarbiyah lebih tepat digunakan dalam konteks pendidikan Islam dari pada ta’lim. Tarbiyah artinya mendidik, mendidik berarti mempersiapkan peserta didik dengan berbagai cara, agar dapat mempergunakan tenaga dan bakatnya dengan baik sehingga mencapai kehidupan sempurna di masyarakat. Tarbiyah meliputi upaya:
1.      Menumbuhkan jasmani dan menyediakan sesuatu yang dibutuhkannya seperti: makanan sehat bergizi, serta udara segar, latihan-latihan jasmani dan menjaga diri dari penyakit yang akan melelahkan dan menghambat pertumbuhannya.
2.      Menumbuhkan kemampuan berfikir dan kecerdasan baik secara indrawi maupun kekuatan pemikirannya dengan petunjuk, argumentasi, cara menarik kesimpulan, daya khayal, dan lain sebagainya.
3.      Pembinaan akhlaq yang mulia dan pembentukan kebiasaan baik seperti taat jujur dalam perkataan dan perbuatan, dapat dipercaya serta menumbuhkan perasaan yang benar, menanamkan kecintaan terhadap sopan santun, kesemuanya itu dapat terwujud dengan nasehat-nasehat, pengajaran dan teladan yang baik.[2]

     B.  Pembahasan
 Telah diletakkan dasar-dasar Al Qur’an berkenaan dengan tujuan pendidikan Islam dan materi yang harus diajarkan dalam Pendidikan Islam. Penggunaan metode dalam pendidikan Islam bertujuan agar tercapai secara tepat guna manakala jalan yang ditempuh menuju cita-cita tersebut betul-betul tepat.
Peranan metode pendidikan berasal dari kenyataan yang menunjukkan bahwa materi kurikulum pendidikan Islam tidak mungkin akan tepat diajarkan, melainkan diberikan dengan cara khusus.[3] Al Qur’an telah menjelasakan di dalamnya tentang berbagai macam metode pendidikan. Dengan mengambil beberapa ayat di dalamnya maka dapat diambil beberapa metode pendidikan. Di antara ayat-ayat Al Qur’an yang menjelaskan tentang metode pendidikan:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (125) وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ (126) وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِاللَّهِ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِي ضَيْقٍ مِمَّا يَمْكُرُونَ (127) إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ (128)
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan berhikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang yang mendapat petunjuk (125) Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi, jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang bersabar (126) Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah. Janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersimpati dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan (127) Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa dan berbuat kebaikan” (128) (QS. An Nahl : 125-128)

          C.    Asbabun Nuzul Surat An Nahl 126-128
Pada suatu riwayat dikemukakan bahwa ketika Rasulullah SAW berdiri di hadapan mayat Hamzah yang syahid dan dirusak anggota badannya, bersabdalah Rasulullah SAW: “Aku akan bunuh tujuh puluh orang dari mereka sebagaimana mereka lakukan terhadap dirimu”. Maka turunlah Jibril menyampaikan wahyu akhir surat An Nahl (S. 16: 126-128) di saat Nabi masih berdiri sebagai teguran kepada Nabi SAW. Kemudian Rasulullah mengurungkan rencana itu.[4]
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa pada waktu perang Uhud telah gugur enam puluh empat orang dari kaum Anshar dan enam orang dari kaum Muhajirin di antaranya Hamzah. Kesemuanya dirusak anggota badannya dengan kejam. Berkatalah kaum Anshar: “Jika kami memperoleh kemenangan, kami akan berbuat lebih dari apa yang mereka lakukan”. Ketika terjadi pembebasan kota Mekah, turunlah ayat ini (S. 16: 126) yang melarang Kaum Muslimin mengadakan pembalasan yang lebih kejam dan hendaknya bersabar.[5]
Dari penjelasan asbabun nuzul di atas terdapat suatu keterangan bahwa, menurut lahirnya dikatakan, turunnya 3 ayat akhir ini ditangguhkan sampaia Fathu Makkah, tapi dari hadits-hadits sebelumnya dikatakan turunnya di perang Uhud. Menurut kesimpulan Ibnul Hisyar, ayat-ayat ini turun tiga kali, mula-mula di Mekkah, kedua kali di Uhud dan ketiga pada waktu Fathu Makkah, untuk menjadi peringatan bagi hamba-hamba-Nya.[6]

          D.  Kandungan Surat An Nahl 125-128
Pada ayat 125 ini berisikan  anjuran kepada Nabi Muhammad SAW yang diperintahkan untuk mengikuti Nabi Ibrahim as. Sebagaimana ayat di atas untuk mengajak siapapun agar mengikuti pula prinsip-prinsip ajaran Bapak para nabi dan Pengumandang Tauhid itu. Ayat ini menyatakan: Wahai Nabi Muhammad, serulah yakni lanjutkan usahamu untuk menyeru semua yang engkau sanggup seru kepada jalan yang ditunjukkan Tuhanmu yakni ajaran Islam dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan bantahlah mereka yakni siapapun yang menolak atau meragukan ajaran Islam dengan cara yang terbaik. Itulah tiga cara berdakwah yang hendaknya engkau tempuh, menghadapi manusia yang beraneka ragam peringkat dan kecenderungannya; jangan hiraukan cemoohan, atau tuduhan-tuduhan tidak berdasar kaum musrikin dan serahkan urusanmu dan urusan mereka kepada Allah, karena sesungguhnya Tuhanmu yang selalu membimbing dan berbuat baik kepadamu Dialah sendiri yang lebih mengetahui dari siapapun yang menduga tahu tentang bejat jiwanya sehingga tersest dari jalan-Nya dan Dialah saja yang lebih mengetahui orang-orang yang sehat jiwanya sehingga mendapat petunjuk.
Ayat ini dipahami sementara ulama menjelaskan tiga macam metode dakwah yang harus disesuaikan dengan sasaran dakwah, adalah dengan:
1.      Hikmah yakni berdialog dengan kata-kata bijak sesuai dengan tingkat kepandaian mereka. Cara ini untuk berdakwah terhadap cendekiawan yang memiliki pengetahuan tinggi. Hikmah berarti yang paling utama dari segala sesuatu, baik pengetahuan maupun perbuatan”
2.      Mau’idhoh yakni memberikan nasehat dan perumpamaan yang menyentuh jiwa sesuai dengan taraf pengetahuan mereka yang sederhana. Cara ini untuk berdakwah terhadap kaum awam. Mau’idhoh dari kata (وعظ   ) wa’adho yang berarti nasehat. Mau’idhoh adalah uraian yang menyentuh hati yang mengantar kepada kebaikan.
3.      Jadal atau perdebatan dengan cara yang baik yaitu dengan logika dan retorika yang halus, lepas dari kekerasan dan umpatan. Jadal adalah cara untuk berdakwah kepada ahli kitab dan penganut agama lain. Sedangkan kata (جادلهم) jaadilhum diambil dari kata (جدال ) jidaal yang bermakna diskusi atau bukti-bukti yang mematahkan alasan atau dalih mitra diskusi dan menjadikannya tidak dapat bertahan, baik yang dipaparkan itu diterima oleh semua orang maupun hanya oleh mitra bicara.[7] Jidal terdiri dari 3 macam: (1) yang buruk adalah yang disampaikan dengan kasar, yang mengundang kemarahan lawan serta yang menggunakan dalih-dalih yang tidak benar. (2) yang baik adalah yang disampaikan dengan sopan, serta menggunakan dalil-dalil atau dalih walau hanya yang diakui oleh lawan, tetapi (3) yang terbaik adalah yang disampaikan dengan baik dan dengan argument yang benar, lagi membungkam lawan.[8]
            Menurut pandangan umum, dakwah merupakan bagian dari metode pendidikan. Jadi metode             pendidikan lebih luas cakupannya dari pada metode dakwah. Menurut Abd al-Rahman Al-Nahwali              mengemukakan metode pendidikan yang berdasarkan Metode Qur’an dan Hadits yang dapat                      menyentuh perasaan yaitu:
1.      Metode Hiwar (percakapan) Qur’ani dan Nabawi, adalah percakapan silih berganti antara dua pihak atau lebih mengenai suatu topik, dan sengaja diarahkan kepada suatu tujuan yang dikehendaki oleh pendidik. Jenis-jenis hiwar ini ada 5 macam, yaitu: (1) Hiwar Khitabi, merupakan dialog yang diambil dari dialog antara Tuhan dengan hamba-Nya. (2) Hiwar Washfi, yaitu dialog antara Tuhan dengan malaikat atau dengan makhluk gaib lainnya. Seperti dalam surat Ash-Shaffat ayat 27-28[19] Allah SWT berdialog dengan malaikat tentang orang-orang zalim. (3) Hiwar Qishashi terdapat dalam al-Qur'an, yang baik bentuk maupun rangkaian ceritanya sangat jelas, merupakan bagian dari Uslub kisah dalam Al-Qur'an. Seperti Syuaib dan kaumnya yang terdapat dalam Surat Hud ayat 84-85. (4) Hiwar Jadali adalah hiwar yang bertujuan untuk memantapkan hujjah atau alasan baik dalam rangka menegakkan kebenaran maupun menolak kebatilan. Contohnya dalam al-Qur'an terdapat dalam Surat An-Najm ayat 1-5. (5) Hiwar Nabawi adalah hiwar yang digunakan oleh Nabi dalam mendidik sahabat-sahabatnya.
2.      Metode Kisah Qur’ani dan Nabawi, adalah penyajian bahan pembelajaran yang menampilkan cerita-cerita yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW. Kisah Qur'ani bukan semata-mata karya seni yang indah, tetapi juga suatu cara mendidik umat agar beriman kepada-Nya, dan dalam pendidikan Islam, Kisah sebagai metode pendidikan yang sangat penting, karena dapat menyentuh hati manusia. Misalnya cerita Nabi Nuh dan seruannya kepada anak dan kaumnya[9] dalam surat Hud ayat 46-47:
قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلَا تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ (46) قَالَ رَبِّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَسْأَلَكَ مَا لَيْسَ لِي بِهِ عِلْمٌ وَإِلَّا تَغْفِرْ لِي وَتَرْحَمْنِي أَكُنْ مِنَ الْخَاسِرِينَ (47)
Artinya: “Allah berfirman, “Hai Hud sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan) sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik, sebab itu janganlah kamu memohon kepada Ku sesuatu yang tidak kamu mengetahui (hakekatnya), sesungguhnya Aku memerintahkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk oranng-orang yang tidak berpengetahuan (46). Nuh berkata: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dan memohon kepada Engkau sesuatu yang tiada mengetahui (hakekatnya). Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepada ku dan (tidak) menaruh belas kasihan niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi (46).
3.      Metode Amtsal (perumpamaan) Qur’ani, adalah penyajian bahan pembelajaran dengan mengangkat perumpamaan yang ada dalam al-Qur’an. Metode ini mempermudah peserta didik dalam memahami konsep yang abstrak, ini terjadi karena perumpamaan itu mengambil benda konkrit seperti kelemahan tuhannya orang kafir yang diumpamakan dengan sarang laba-laba, dimana sarang laba-laba itu memang lemah sekali disentuh dengan lidipun dapat rusak. Metode ini sama seperti yang disampaikan oleh Abdurrahman Saleh Abdullah. Contoh dari metode amtsal misalnya seperti dalam surat Al A’raf ayat 175-178 yang menceritakan tentang perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah seperti anjing yang suka mengulurkan lidahnya dan tentang sifat-sifat penghuni neraka adalah orang yang tidak mau menggunakan pendengaran, pengelihatan dan hatinya[10]:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آَتَيْنَاهُ آَيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ (175) وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآَيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (176) سَاءَ مَثَلًا الْقَوْمُ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآَيَاتِنَا وَأَنْفُسَهُمْ كَانُوا يَظْلِمُونَ (177) مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي وَمَنْ يُضْلِلْ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ (178)
Artinya: “Dan bacakan kepada mereka berita orang-orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi al-kitab), kemudian ia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia di ikuti oleh setan (sampai ia tergoda) maka jadilah ia termasuk orang-orang yang sesat (175). Dan kalau kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi ia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah. Maka perumpamaannya seperti anjing. Jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya. Dan jika kau membiarkannya dia mengulurkan lidahnya juga. Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir (176). Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada dirinya mereka sendirilah mereka berbuat dzolim(177). Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah maka dialah yang mendapat petunjuk dan barang siapa yang disesatkan Allah maka merekalah orang-orang yang merugi (178).
4.      Metode keteladanan, adalah memberikan teladan atau contoh yang baik kepada peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Metode ini merupakan pedoman untuk bertindak dalam merealisasikan tujuan pendidik. Pelajar cenderung meneladani pendidiknya, ini dilakukan oleh semua ahli pendidikan, baik di barat maupun di timur. Dasarnya karena secara psikologis pelajar memang senang meniru, tidak saja yang baik, tetapi yang tidak baik juga ditiru.
5.      Metode Pembiasaan, adalah membiasakan seorang peserta didik untuk melakukan sesuatu sejak dia lahir. Inti dari pembiasaan ini adalah pengulangan, jadi sesuatu yang dilakukan peserta didik hari ini akan diulang keesokan harinya dan begitu seterusnya.
6.     Metode Ibrah dan Mau’izah. Metode Ibrah adalah penyajian bahan pembelajaran yang bertujuan melatih daya nalar pembelajar dalam menangkap makna terselubung dari suatu pernyataan atau suatu kondisi psikis yang menyampaikan manusia kepada intisari sesuatu yang disaksikan, yang dihadapi dengan menggunakan nalar. Sedangkan metode Mau’izah adalah pemberian motivasi dengan menggunakan keuntungan dan kerugian dalam melakukan perbuatan. Misalnya seperti dalam surat Al Rahman ayat 1-4 yang menyatakan bahwa, Allah mengajarkan Al Qur’an dan mengajarkan pandai berbicara kepada manusia agar tidak melampaui batas dalam neraca dan timbangan[11]:
الرَّحْمَنُ (1) عَلَّمَ الْقُرْآَنَ (2) خَلَقَ الْإِنْسَانَ (3) عَلَّمَهُ الْبَيَانَ (4)
Artinya : “Tuhan yang Maha Pemurah (1). Yang telah mengajarkan Al-Qur’an (2). Dia menciptakan manusia (3). Mengajarinya pandai berbicara(4).
7.      Metode Targhib dan Tarhib. Metode Targhib adalah penyajian pembelajaran dalam konteks kebahagian hidup akhirat. Targhib berarti janji Allah terhadap kesenangan, kenikmatan akhirat yang disertai bujukan. Tarhib adalah penyajian bahan pembelajaran dalam konteks hukuman akibat perbuatan dosa yang dilakukan. Atau ancaman Allah karena dosa yang dilakukan.[12]

            E.  Simpulan        
Telah kita ketahui bahwa transfer of knowlege dan transfer of value dalam dunia Islam tidak dapat lepas dari pedoman utama kitab suci umat Islam yaitu Al Qur’an. Sedangkan metode yang digunakan dalam bidang pendidikan sudah berkembang mulai dari masa para nabi hingga masa sekarang. Maka dari pendapat pemakalah menyimpulkan bahwa, metode pendidikan masa kini merupakan pengembangan dari metode dakwah yang digunakan pada masa Rasulullah. Metode pendidikan selalu berkembang seiring dengan perkembangan jaman, begitu juga dengan alat-alat pendidikan yang digunakan juga semakin canggih.

                                                                                                                                                           Daftar Pustaka
Ali, Muhammad Daud, Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 2008), 45.

Basuki dan Miftakhul Ulum, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam (Ponorogo: STAIN Po Press, 2007), 9.

Hadhiri, Choiruddin, Klasifikasi Kandungan Al Qur’an (Jakarta: Gema Insani, 2005), 290.



Shaleh, Qamaruddin, dan Dahlan, Asbabun Nuzul (Bandung: Diponegoro, 1982), 294.

Shihab, M. Quraish, Tafsir Al Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 385-387.




       [2] Basuki dan Miftakhul Ulum, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam (Ponorogo: STAIN Po Press, 2007), 9.               
       [3] Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 2008), 45.
       [4] Diriwayatkan oleh al-Hakim dan al-Baihaqi di dalam kitab ad-Dalail dan al-Bazzar yang bersumber dari Abi Hurairah.
       [5] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi yang menganggap bahwa hadits ini Hasan dan al-Hkim yang bersumber dari Ubay bi Ka’ab.
       [6] Qamaruddin Shaleh dan Dahlan, Asbabun Nuzul (Bandung: Diponegoro, 1982), 294.
       [7] M. Quraish Shihab, Tafsir Al Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 385-387.
       [8] M. Quraish Shihab, Tafsir Al Mishbah, 388.
       [9] Choiruddin Hadhiri, Klasifikasi Kandungan Al Qur’an (Jakarta: Gema Insani, 2005), 290.
        [10] Choiruddin Hadhiri, Klasifikasi Kandungan Al Qur’an, 286.
       [11] Choiruddin Hadhiri, Klasifikasi Kandungan Al Qur’an, 334.


EmoticonEmoticon