Thursday, May 8, 2014

Siswa Berkebutuhan Khusus

A.    Pengertian Siswa Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan dapat dimaknai dengan anak-anak yang tergolong cacat atau yang menyandang ketunaan, dan juga anak lantib dan berbakat (Mulyono, 2006:26). Dalam perkembangannya, saat ini konsep ketunaan berubah menjadi berkelainan (exeptio) luar biasa. Konsep ketunaan berbeda dengan konsep berkelainan. Konsep ketunaan hanya berkenaan dengan kecacatan sedangkan konsep berkelainan atau luar biasa mencakup anak menyandang ketunaan maupun yang dikaruniai keunggulan.

Banyak istilah digunakan untuk mengkategorikan anak-anak dengan kebutuhan khusus, di antaranya mencakup: dungu, gangguan fisik, lumpuh otak, gangguan emosional, ketidakmampuan mental gangguan pendengaran, gangguan pengliahatan, ketidakmampuan belajar, autistik, dan keterlambatan perkembangan. Petunjuk yang berguna untuk memikirkan dan merencanakan perlakuan guru untuk menghadapi siswa berkebutuhan khusus:
1.      Tekankan keunikan dan nilai dari semua anak dari pada perbedaan mereka.
2.      Jaga pandangan masing-masing: hindari penekanan ketidakmampuan dengan mengenyampingkan pencapaian masing-masing.
3.      Pikirkan cara anak yang tidak berkemampuan dapat melakukan sesuatu sendiri atau untuk anak yang lain.
4.      Berikan lingkungan dimana anak yang bermasalah ikut serta dalam kegiatan dengan anak yang tidak bermasalah dan cara-cara yang bermanfaat satu sama lainnya.
Siswa berkebutuhan khusus biasanya selalu terdapat pada berbagai lembaga pendidikan seperti LPAUD, TK, Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak dan Satuan PAUD sejenis. Jamaris (2006: 80-92) dan Mulyono (2006: 6-9) menjelaskan bahwa terdapat masalah-masalah perilaku psikososial, berkesulitan belajar, ataupun anak dengan pemusatan gangguan perhatian atau hiperaktif. Namun Jamaris (2006: 94-100) juga menjelaskan bahwa terdapat anak dengan tingkat intelegensi yang luar biasa, seperti anak tunagrahita atau anak gifted dan berbakat.
Masalah-masalah perilaku psikososial yang sering kali muncul adalah:
1.      Penakut, biasanya perilaku seperti ini muncul sejak usia 2,5 – 3 tahun, selanjutnya perilaku tersebut seolah hilang berganti dengan expresi mencela, mencaci, atau memaki (Jamaris, 2006: 81).
2.      Pendiam, menarik diri atau rendah diri, perilaku ini disebabkan oleh sikap orang tua yang terlalu berlebihan dalam mengontrol perilaku anak, yaitu adanya berbagai larangan yang pada akhirnya berujung pada pengekangan pada anak.[1]
Hingga saat ini anak berkebutuhan khusus yang mendapat perhatian cukup luas di masyarakat adalah mereka yang tergolong ke dalam Pervasive Developmental Disorder atau Autism Spektrum Disorder.
1.      Autism Disorder
Autisme adalah gangguan perkembangan anak yang disebabkan oleh adanya gangguan pada sistem syaraf pusat yang mengakibatkan gangguan dalam interaksi sosial komunikasi dan perilaku. Gejala yang sangat menonjol adalah sikap anak yang cenderung tidak mempedulikan lingkungan dan orang-orang disekitarnya, seolah menolak berkomunikasi dan berinteraksi, serta seakan hidup dalam dunianya sendiri. Anak autistik juga mengalami kesulitan dalam memahami bahasa dan berkomunikasi secara verbal. Di samping itu seringkali (perilaku stimulasi diri) seperti berputar-putar, mengapak-ngepakkan tangan seperti sayap, berjalan berjinjit dan lain sebagainya.
Penyebab gangguan autism adalah gangguan neurobiologis yang mempengaruhi fungsi otak sedemikian rupa sehingga anak tidak mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar secara efektif.[2] Beberapa dugaan faktor penyebab autisme dan diagnosis medisnya:
a)      Gangguan susunan syaraf pusat, pada anak autis terdapat pengurangan jumlah sel purkinje di dalam otak yang mengakibatkan produksi serotonin kurang, sehingga menyebabkan kacaunya proses penyaluran informasi antar-otak. Obat-obatan yang sering digunakan dokter adalah dari jenis psikotropika, dengan begitu anak lebih mudah diajak bekerja sama.
b)      Gangguan pada metabolisme (sistem pencernaan), karena hal ini berhubungan dengan gejala autis maka suntikan sekretin dapat membantu mengurangi gangguan pencernaan.
c)      Peradangan dinding usus, diduga peradangan tersebut disebabkan oleh virus, mungkin berasal dari virus campak. Itu sebabnya mengapa banyak orang tua yang kemudian menolak imunisasi MMR (measles, mumps, rumbella) karena diduga menjadi biang keladi autis pada anak. Temuan diperkuat sejumlah riset ahli medis lainnya.
d)     Faktor genetika adalah hal yang paling umum menjadi penyebab gejala autis.
e)      Keracunan logam berat, yang berasal dari makanan ringan dan mainan anak yang mengandung bahan logam berat. Beberapa logam berat seperti arsenik (As), anti-moni (Sb), kadmium (Cd), air raksa (Hg), dan timbal (Pb), adalah racun otak yang sangat kuat. Juga mungkin disebabkan keracunan merkuri, tapi masih dapat ditanggulangi dengan terapi kelasi (merkuri dikeluarkan dari otak dan tubuh mereka).[3]
2.      Asperger disorder
Secara umum performa anak Asperger Disorder hampir sama dengan anak autisme. Namun gangguan pada anak Asperger lebih ringan dibandingkan anak autisme dan sering disebut dengan istilah “High-funtion autisme”. Hal-hal yang membedakan keduanya adalah:
a.       Pada kemampuan bahasa bicara anak Aspreger jauh lebih baik dibanding anak autisme. Intonasi bicara aspreger cenderung monoton, ekspresi muka kurang hidup cenderung murung dan berbicara hanya seputar pada minatnya saja.
b.      Anak asperger masih memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.
c.       Kecerdasan Anak asperger biasanya ada pada great rata-rata ke atas. Memiliki minat yang sangat tinggi pada buku terutama yang bersifat ingatan atau memori pada satu kategori, misalnya menghafal klasifikasi hewan atau tumbuhan yang menggunakan nama-nama latin.
3.      Rett’s Disorder
Adalah jenis gangguan perkembangan yang masuk kategori ASD. Aspek perkembangan pada anak Rett’s Disorder mengalami kemunduran sejak menginjak usia 18 bulan yang ditandai dengan hilangnya kemauan bahasa bicara secara tiba-tiba. Koordinasi motoriknya semakin memburuk dan dibarengi dengan kemunduran dalam kemampuan sosialnya. Rett’s Disorder hampir keseluruhan penderitanya adalah perempuan.
4.      Childhood Disintegrative Disorder(CDD)
Yang membedakan anak CDD dengan anak autisme adalah bahwa umumnya anak CDD sempat berkembang secara normal sampai beberapa tahun termasuk kemampuan bahasa bicaranya. Biasanya anak-anak itu mengalami kemunduran setelah menginjak usia 2 tahun. Kemunduran kemampuan pada anak CDD bisa sampai kondisi anak dengan gangguan autisme berat (low funtioning autisme) dengan performa yang sama.
5.      Pervasive Development Disorder Not Othervie Specified (PDD-NOS)
Anak dengan gangguan PDD-NOS performanya hampir sama dengan anak autisme hanya saja kualitas gangguannya lebih ringan dan terkadang anak-anak ini masih bisa bertatap mata. Ekspresi wajah tidak terlalu datar dan masih bisa diajak bercanda. Anak-anak berkebutuhan khusus selain PDD atau ASD:
1.      Child with developmental inpairenment
Di Indonesia dikenal sebagai anak tuna grahita (mental retardation). Secara umum anak dengan gangguan retardasi mental memiliki intelegensi di bawah rata-rata normal, tidak mampu berperilaku adaptif sesuai tugas-tugas perkembangan usianya. Secara performa fisik tampak sekilas anak retardasi mental seperti anak normal. Kemampuan komunikasinyapun tidak mengalami gangguan hanya saja anak reterdasi mental sulit mengembangkan topik pembicaraan ke arah yang lebih lanjut dan kompleks.
2.      Child with Spesific learning disability (anak berkesulitan belajar)
Anak berprestasi rendah yang lebih populer dengan istilah anak berkesulitan belajar. Mereka mempunyai kesulitan di bidang-bidang akademik, kognitf dan masalah-maslah emosi sosial. Oleh sebab itu kelainan-kelainan yang dalam lebih bersifat psikologis yang berimbas pada gangguan kelancaran berbicara, berbahasa dan menulis. Anak-anak LD terlihat tidak berkemampuan sebagai pendengar yang baik, berfikir, berbicara, membaca dan menulis, mengeja huruf dan perhitungan yang bersifat matematika. Tes hasil belajar di sekolah menunjukkan angka rendah. Yang tergolong learning disabilitis adalah anak dengan gangguan persepsi, cedera otak atau cerebal palsy, minimal brain dysfuntion, dyslexia dan developmental aphasia.
3.      Child with emotional or behavioral disorder
Anak dengan gangguan perilaku menyimpang atau emotional menunjukkan masalah perilaku yang dapat terlihat, selalu gagal atau tidak dapat menjalin hubungan pribadi yang intim, berperilaku tidak pada tempatnya (sering mencari perhatian dengan cara –cara yang tidak logis), merasakan adanya depresi dan tidak bahagia (diri sendiri atau bisa keluarga atau lingkungann sosial). Prestasi belajar menurun, memiliki masalah-masalah kesulitan belajar bukan disebabkan faktor intelektual sensori atau kesehatan.
4.      Child who have attention deficit disorder with hyperaktive (ADHD)
ADHD terkadang lebih dikenal dengan istilah anak hiperaktif , oleh karena mereka selalu bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain. Tidak dapat duduk diam di satu tempat selama ± 5 - 10 menit untuk melakukan suatu kegiatan yang diberikan kepadanya. Rentang konsentrasinya sangat pendek, mudah bingung dan pikirannya selalu kacau, sering mengabaikan perintah atau arahan, sering tidak berhasil dalam menyelesaikan tugas-tugas di sekolah. Sering mengalami kesulitan mengeja atau menirukan ejaan huruf.[4] Juga ditandai dengan adanya gejala-gejala impulsivitas dan perilaku hiperaktif meliputi:
a)      Emosi gelisah
b)      Mengalami kesulitan bermain dengan teman
c)      Mengganggu anak lain
d)     Selalu bergerak. [5]
Beberapa hasil penelitian, ada tiga faktor yang berpengaruh terhadap ADHD, yaitu: faktor genetika, faktor neurobiologis, faktor diet, alergi, dan zat timah.[6]
5.      Down Syndrom
Anak down syndrom sangat mudah dikenali lewat bentuk wajahnya (seperti orang mongol). Tapi beberapa di antaranya tidak memperlihatkan bentuk muka down syndrom (layaknya anak normal). Mereka biasanya sangat pendiam, sering bermasalah dengan koordinasi otot-otot mulut, tangan dan kaki, sehingga sering mengalami terlambat berbicara dan terlambat berjalan. Kemampuan intelgensinya di bawah rata-rata normal, baik dalam aspek akademis, emosi dan bersosialisasi. Tak jarang behavioralnya juga memperlihatkan perilaku yang tidak adaptif, sering mencari perhatian yang berlebihan, memperlihatkan sikap keras kepala yang berlebihan shut off atau  berlagak seperti patung dan kekanak-kanakan.
6.      Child with communication disorder and deafness
Lebih populer dengan istilah tunarungu atau wicara adalah mereka yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar sebagian atau keseluruhan, akibat tidak berfungsinya indra pendengaran atau keseluruhan.
7.      Child with partially seeing and legally blind
Anak tuna grahita dikategorikan sebagai anak-anak yang memiliki indra ke enam. Hal ini mengacu kepada kemampuan intelegensi yang cukup baik, daya ingat yang kuat, kemampuan merasakan objek melalui ujung jari-jemarinya. Sebagai pengganti indra penglihatannya. Anak tuna grahita mempersepsikan dunia dengan menggunakan indra sensoriknya, sehingga mereka membutuhkan latihan dalam waktu yang lama untuk menguasai dunia persepsi. Dalam melakukan interaksi sosial umumnya dilakukan dengan cara menyentuh dan mendengar objeknya, sehingga kurang menarik bagi lawan bicaranya.[7]

B.     Deteksi Dini Autisme
Prevelansi autisme meningkat dengan sangat menghawatirkan dari tahun ke tahun. Menurut Autism Research Institute di San Diego, jumlah individu autistik pada tahun 1987 diperkirakan 1:5000 anak. Jumlah ini meningkat dengan sangat pesat dan pada tahun 2005 sudah menjadi 1:160 anak. Di Indonesia belum ada data yang akurat oleh karena belum ada pusat registrasi untuk autisme. Namun diperkirakan angka di Indonesia pun mendekati angka di atas. Autisme lebih banyak terjadi pada pria dari pada wanita, dengan perbandingan.
Bila gejala autisme dapat dideteksi sejak dini dan kemudian dilakukan penanganan yang tepat dan intensif, kita dapat membantu anak autis untuk berkembang secara optimal. Untuk dapat mengetahui gejala autisme sejak dini, telah dikembangkan suatu checklist yang dinamakan M-CHAT (Modified Checklist for Autism in Toddlers). Berikut adalah pertanyaan penting bagi orang tua:
1.      Apakah anak anda tertarik pada anak-anak lain?
2.      Apakah anak anda dapat menunjuk untuk memberitahu ketertarikannya pada sesuatu?
3.      Apakah anak anda pernah membawa suatu benda untuk diperlihatkan pada orangtua?
4.      Apakah anak anda dapat meniru tingkah laku anda?
5.      Apakah anak anda berespon bila dipanggil namanya?
6.      Bila anda menunjuk mainan dari jarak jauh, apakah anak anda melihat ke arah mainan tersebut?
7.      Bila jawabannya TIDAK pada 2 pertanyaan atau lebih, maka sebaiknya orangtua berkonsultasi dengan profesional yang ahli dalam perkembangan anak dan mendalami bidang autisme.

C.     Cara Mengenali Autisme
Anak-anak penyandang spektrum autisme biasanya memperlihatkan setidaknya setengah dari daftar tanda-tanda yang disebutkan di bawah ini. Gejala-gejala autisme dapat berkisar dari ringan hingga berat dan intensitasnya berbeda antara masing-masing individu. Hubungi profesional yang ahli dalam perkembangan anak dan mendalami bidang autisme, jika orang tua mencurigai anaknya yang memperlihatkan setidaknya separuh dari gejala-gejala ini:
1.      Sulit bersosialisasi dengan anak-anak lainnya.
2.      Tertawa atau tergelak tidak pada tempatnya.
3.      Tidak pernah atau jarang sekali kontak mata.
4.      Tidak peka terhadap rasa sakit.
5.      Lebih suka menyendiri, sifatnya agak menjauhkan diri.
6.      Suka benda-benda yang berputar atau memutar benda.
7.      Ketertarikan pada satu benda secara berlebihan.
8.      Hiperaktif atau melakukan kegiatan fisik secara berlebihan atau malah tidak melakukan apapun (terlalu pendiam).
9.      Kesulitan dalam mengutarakan kebutuhannya.
10.  Suka menggunakan isyarat atau menunjuk dengan tangan dari pada kata-kata.
11.  Menuntut hal yang sama menentag perubahan atas hal-halyang bersifat rutin.
12.  Tidak peduli bahaya.
13.  Menekuni permainan dengan cara anah dalam waktu lama.
14.  Echolalia (mengulangi kata atau kalimat, tidak berbahasa biasa).
15.  Tidak tanggap terhadap isyarat kata-kata, bersikap seperti orang tuli.
16.  Tidak berminat terhadap metode pengajaran yang biasa.
17.  Tentrums – suka mengamuk atau memperlihatkan kesedihan tanpa alasan yang jelas.
18.  Kecakapan motorik kasar atau halus yang seimbang (seperti tidak mau menendang bola namun dapat menumpuk balok-balok).
Namun daftar di atas bukan pengganti diagnosa. Sebaiknya hubungi ahli untuk memperoleh diagnosa lebih lengkap.[8] Untuk menentukan diagnosis yang cermat dan tepat tidaklah mudah. Pada umumnya para clinician mendiagnosis anak autistik menggunakan panduan yang dibuat oleh Asosiasi Psikiatrik Amerika yang disebut dengan DSM IV (Diagnosis Statistical Manual IV).[9] Sehingga dokter maupun psikolog tidak keliru dalam menentukan diagnosanya

D.    Berbagai Terapi Bagi Anak Autis
Gejala autis pada anak akan semakin bertambah parah dan tidak tertanggulangi hingga dewasa bila tidak ada tindakan intensif dari orang tua dan keluarga. Keberhasilan terapi tergantung beberapa faktor berikut:
1.      Berat ringannya gejala, tergantung pada parahnya gangguan di dalam sel otak.
2.      Semakin dini anak mendapat terapi, semakin besar kemungkinan berhasil. Idealnya sejak umur 2-5 tahun, karena pada saat umur itulah sel otak mengalami pertumbuhan yang pesat dan ini merupakan kesempatan yang sangat tepat untuk merangsang sel-sel otak agar bisa tumbuh membentuk cabang-cabang neuron baru.
3.      Semakin banyak informasi yang dia tangkap, semakin besar peluangnya menjadi anak normal, dan semakin cerdas anak, semakin cepat menangkap hal-hal yang diajarkan.
4.      Semakin rendah kemampuan bicara dan berbahasa, semakin lambat anak autis mengalami kemajuan. Bagi mereka yang fungsi bicara dan berbahasanya baik akan lebih mudah diajar berkomunikasi. Sedang bagi mereka yang tidak bisa bicara bisa diajarkan ketrampilan komunikasi, misalnya dengan gambar-gambar, mesin ketik, atau bahasa isyarat.
5.      Semakin intensif anak autis mendapat terapi akan mengalami baik da lebih besar kemungkinan mengalami kemajuan. Sedikitnya 4 jam sehari anak harus mendapat terapi. Dibutuhkan dukungan dari seluruh keluarga agar terapi berhasil.
Beberapa jenis terapi yang dapat dilakukan orang tua di rumah, di antaranya:
1.      Terapi perilaku. Terapi ini bertujuan mengurangi perilaku aneh yang tidak wajar dan menggantinya dengan perilaku yang bisa diterima di masyarakat.
2.      Terapi wicara. Terapi ini menjadi keharusan bagi anak yang mengalami kesulitan berbicara atau berkomunikasi.
3.      Terapi okupasi. Terapi ini bertujuan merangsang perkembangan motorik yang kuarang baik, seperti memperbaiki koordinasi antara mata, pikiran, dan anggota tubuh, serta ketrampilan otot halus anak.
Namun sebelum mengambil salah satu terapi bagi anak, sebaiknya lebih dahulu mendapat informasi lengkap dari dokter dan terapis berdasarkan kebutuhan dan kemampuan anak dalam setiap bidangnya.[10]

E.     Pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus
Mulyono (2006:117-121) menyatakan, seringkali mempertanyakan tentang adanya ketidakadilan dalam pendidikan terutama pendidikan bagi yang berkebutuhan khusus (children with special need). Sehingga memunculkan pertanyaan, “Mengapa anak dengan kebutuhan khusus (anak luar biasa atau anak berkelainan) harus bersekolah di sekolah khusus (Sekolah Luar Biasa = SLB)?”, “Apakah anak dengan kebutuhan khusus benar-benar tidak dapat diintegrasikan dengan anak lain pada umumnya dalam satu sistem persekolahan?”, “Apakah sistem persekolahan yang segegratif bukan meripakan suatu bentuk diskriminatif?”, “Bukankah pendidikan yang segregatif akan dapat menghambat anak memasuki dunia kehidupan di masyarakat?” Lalu pertanyaan yang lebih mendasar, “Landasan filosofis apakah yang membuat anak dengan kebutuhan khusus harus terpisah dari pergaulan mereka dengan teman lain pada umumnya?”
Jadi untuk menjawab sejumlah pertanyaan di atas, maka perlu dikaji tentang makna pendidikan luar biasa yang sesungguhnya. Berkaitan dengan pelaksanaan pendidikan yang segregatif–eksklusif menuju pendidikan yang integratif-inklusif, terdapat beberapa peristilahan yang perlu dipahami terlebih dahulu, yaitu:
1.      Pendidikan segregatif-eksklusif adalah pendidikan yang memisahkan anak-anak dengan kebutuhan khusus dari anak-anak lain, yang pada umumnya anak berkebutuhan khusus ditempatkan di sekolah khusus atau sekolah luar biasa, yang dilakukan secara eksklusif artinya anak berkebutuhan khusus hanya boleh bersekolah di sekolah khusus tersebut.[11] Karena anak berkelainan berbeda dari anak normal lainnya sehingga memerlukan layanan khusus, baik personal, sosial, maupun usaha-usaha pendidikan lainnya.[12]
2.      Pendidikan integratif menurut konteksnya adalah pendidikan yang mengintehrasikan anak-anak yang berkebutuhan khusus bersama anak-anak lainnya pada umumnya dalam satu sistem persekolahan. Selanjutnya pendidikan integratif-inklusif disebut sebagai pendidikan inklusif saja karena dalam pendidikan inklusif telah terkandung makna integratif.[13]
F.      Kesimpulan
Autisme pada anak bukan aib bagi keluarga, ia hanya satu dari begitu banyak kelainan bawaan anak, baik yang diketahui saat anak dilahirkan atau di kemudian hari. Sebagian besar orang tua hendaknya sadar dan pasti bisa mengatasinya, bahkan ke dalam permasalahnnya. Anak autis tetap seorang anak yang membutuhkan cinta kasih, perhatian, disiplin, bimbingan, dan pengarahan, karena ia milik masa depan. Sudah menjadi kewajiban orang tua untuk mengantar anaknya ke masa depan yang lebih baik.
Pendidikan bagi anak autis sebaiknya juga diperhatikan oleh orang tua maupun pemerintah. Adapun perbedaan antara pendidikan segregatif dan integratif, untuk pemilihan sekolah yang baik bagi anak berkebutuhan khusus adalah sekolah yang segregatif. Sedangkan pemilihan pendidikan integratif bagi anak berkebutuhan khusus adalah di luar sekolah, misalnya: pada komunitas bermain ataupun dalam pergaulan masyarakat, agar anak berkebutuhan khusus tidak terasingkan dari lingkungannya juga dapat bersekolah layaknya anak normal lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Baihaqi dan Sugiarmin, Memahami dan Membantu Anak ADHD, Bandung: Refika Aditama, 2006.

Dwi Sunar Prasetyono, Biarkan Anakmu Bermain, Jogjakarta: DIVA Press, 2007.

http//sekolahdolan.org, diakses tanggal 01 April 2012.

http://www.autis.info, diakses tanggal 05 April 2012.

Joko Yuwono, Memahami Anak Autistik, Bandung: Alfa Beta, 2009.

Syamsul Bachri, Psikologi Pendidikan Berbasis Analisis Empiris Aplikatif, Jakarta: Kencana, 2010.

Yuliani Nurani Sujiono, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, Jakarta: Indeks, 2009.



       [1] Yuliani Nurani Sujiono, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini (Jakarta: Indeks, 2009), 166-167.
       [2] http//sekolahdolan.org, diakses tanggal 1 April 2012
       [3] Dwi Sunar Prasetyono, Biarkan Anakmu Bermain (Jogjakarta: DIVA Press, 2007), 229-231.
       [4] http//sekolahdolan.org, diakses tanggal 1 April 2012
       [5] Baihaqi dan Sugiarmin, Memahami dan Membantu Anak ADHD (Bandunga: Refika Aditama, 2006), 3.
       [6] Baihaqi dan Sugiarmin, Memahami dan Membantu Anak ADHD, 22.
       [7] http//sekolahdolan.org, diakses tanggal 1 April 2012
       [8] http://www.autis.info, diakses tanggal 05 April 2012
       [9] Joko Yuwono, Memahami Anak Autistik (Bandung: Alfa Beta, 2009), 31.
       [10] Dwi Sunar Prasetyono, Biarkan Anakmu Bermain, 235-238.
       [11] Yuliani Nurani Sujiono, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, 169.
       [12] Syamsul Bachri, Psikologi Pendidikan Berbasis Analisis Empiris Aplikatif (Jakarta: Kencana, 2010), 251.
       [13] Yuliani Nurani Sujiono, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, 169.


EmoticonEmoticon