Wednesday, November 27, 2013

Munada

Tags

KONSEPSI MUNADA DALAM KAIDAH BAHASA ARAB
  1. Pengertian Munada
Munada adalah kata benda (isim) yang disebut sesudah huruf dari salah satu huruf-huruf nida (seruan). Atau isim yang dipanggil dengan mempergunakan huruf-huruf panggilan (huruf nida) agar yang dipanggil mendatangi atau menoleh kepada orang yang memanggil.[1]
اَلْمُنَادَى هُوَ اِسْمٌ يُذْكَرُ بَعْدَ ياَ أَوْ إِحْدَى أَخَوَاتِهاَ طَلَباً ِلاِقْباَلِ مَدْ لُوْلِهِ.
“Munada adalah isim yang disebut sesudah “ya” atau salah satu akhwatnya, untuk meminta kehadiran orang yang dimaksud.”[2]
Sedangkan dengan pengertian yang lebih singkat disebutkan:
اَلْمُنَادَى اِسْمٌ يَقَعُ بَعْدَ أَدَاةٍ مِنْ أَدَوَاتِ النِّدَاءِ.[3]
Atau dengan pengertian yang sama:
اَلْمُنَادَى اِسْمٌ يَقَعُ بَعْدَ حُرُفٍ مِنْ أَحْرُفِ النِّدَاءِ.[4]
“Munada adalah isim yang terletak setelah huruf dari salah satu huruf nida.”

المنادى هو المطلوب اقبله بحرف نائب مناب أدعو لفظا أو تقديرا.[5]
Contohnya:    قَالَ يَا مَرْيَمُ اَنَّى لَكَ هَذَا
Zakaria berkata: “Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan)ini?” (QS. 3:37)
yang menjadi munada adalah kata مَرْيَمُ sedangkan huruf nida-nya (huruf seruannya adalah يَا. [6]
Huruf nida terbagi menjadi tujuh[7], yaitu:
Hai                          :
أَيا
Hai                         :
 أ
Hai                          :
هَيا
Hai                         :
أَىْ
Aduh                       :
وَاه
Hai                         :
يا


Aduh                      :
آه
Penggunaan huruf nida juga disesuaikan dengan jarak antara orang yang memanggil dan yang dipanggil. Pembagiannya adalah seperti berikut:
1.      Munada ghairu mandub:
a.       Nida untuk jarak dekat: أ, أَىْ
b.      Nida untuk jarak jauh: أَيا, هَيا, آه  [8]dan يا bisa masuk pada semua munada dan tertentu masuk pada lafadz: الله [9] karena tidak boleh menggunakan lafadz أَيُّهَا dan أَيَّتُهَا. Pengamalan يا adalah dapat digunakan sebagai istighosah dan ta’ajub (kekaguman). [10]
2.      Munada mandub, yaitu memenggil sesuatu yang dikhawatirkan (mutafajja’ aliah) atau sesuatu yang dirasakan sakit (mutajaffa’ minhu). Sedangkan hurufnya menggunakan وَا dan يا.Contoh:
وَا وَلَدَاهُ    Aduh anakku (tolong aku)
وَا رِأَسَاهُ     Aduh (sakitnya) kepalaku
وَا ظَهْرَاهُ     Aduh (sakitnya) punggungku
حُمِلَتَ أَمْرًا عَظِيْمًا فَاصْطَبَرْتَ لَهُ # وَقُمْتَ فِيْهِ بِأَمْرِ اللهِ يَاعُمَرَا
“Engkau diberi beban amanat yang sangat berat da engkau melaksanakannya dengan penuh kesabaran, karena mengikuti perintah Allah, Aduh Umar bin Abdul Aziz” (Jarir yang memuji Umar bin Abdul Aziz).[11]

  1. Macam-Macam Munada
Munada itu ada lima bagian.[12]Dilihat dari i’rabnya munada terbagi menjadi dua, yaitu: nashab dan rafa.
1.      Mansub apabila munada berupa mudhaf, syibhul mudhaf atau nakirah ghairu maqsudah. Dengan penjelasan sebagai berikut:
a.       Munada mudhaf, yaitu kata benda yang disandarkan kepada kata lain yang berperan sebagai munada. Dengan kata lain, munada-nya diidhafahkan. Contoh:
يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِّنَ الْاِنْسِ.
(Dan Allah berfirman): “Hai golongan jin (setan), sesungguhnya kamu telah banyak (menyesatkan) manusia.” (QS. 6:128)
Yang menjadi munada syibhul mudhafnya adalah kata مَعْشَرَ
b.      Munada syibhul mudhaf, yaitu kata benda yang mirip mudhaf yang berperan sebagai munada. Contoh:
يَا قَائِمًا اِجْلِسْ.
Wahai orang yang berdiri, duduklah.
Yang menjadi munada syibhul mudhafnya adalah kata قَائِمًا
c.       Munada nakirah ghairu maqshudah, yaitu kata benda (isim) nakirah yang tidak dimaksudkan seseorang. Contoh:
يَارَجُلاً اِجْتَهِدْ.
Hai orang laki-laki (fulan) rajinlah kamu.
Yang menjadi munada nakirah ghair maqshudahnya adalah kataرَجُلاً 
2.      Marfu’ apabila munadanya berupa mufrad ‘alam dan nakirah maqshudah. Dengan penjelasan sebagai berikut:
a.       Munada mufrad ‘alam yaitu kata benda nama ‘alam tunggal. Contoh:
قَالَ يَا ادَمُ اَمْبِئْهُمْ بِأَسْمَآئِهِمْ.
Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.” (QS. 2:33)
Yang menjadi munada mufrad ‘alamnya adalah kata ادَمُ
b.      Munada nakirah maqshudah, yaitu kata benda indefinitif (tak tentu) yang dimaksud. Contoh:
وَلَقَدْ اَتَيْنَا دَاوُدَ مِنَّا فَضْلاً ط يَاجِبَالُ اَوِّبِى مَعَهُ وَااطَّيْرَ.
Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud karunia dari Kami. (Kami berfirman): “Hai gunung-gununng dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud.” (QS. 34:10)
وَقِيْلَ يَآاَرْضُ ابْلَعِى مَاءَكِ وَيَاسَمآءُ اَقْلِعِى.
Dan difirmankan: “Hai bumi telanlah dirimu, dan hai langit (hujan) berhentilah.” (QS. 11:44) 
Yang menjadi munada nakirah maqsudahnya adalah kata جِبَالُ (gunung-gunung) اَرْضُ  (bumi) سَمآءُ (langit) dan huruf panggilannya (huruf nida’nya) adalah  (hai).[13]

  1. Mengumpulkan “Ya” Nida dengan “Al”
Tidak boleh mengumpulkan “ya” nida dengan “al”, karena akan menyebabkan berkumpulnya dua adat ma’rifat, kecuali pada tiga tempat, yaitu:
1.      Dalam keadaan dharurat nadhom:           
فَيَا الْغُلَمانِ اللَّذَانِ فَرَّا  #  إِيَّاكُمَا أَنْ تُعْقِبَنَا شَرًّا
Hai kedua pembantuku yang melarikan diri, hati-hatilah kamu berdua, jangan sekali-kali mendatangkan keburukan pada kami.
2.      Bersamaan dengan lafadz اللهُ
Hal ini diperbolehkan karena banyak digunakan dan boleh membaca qotho’ pada alif atau membuangnya (membaca washol) seperti: يَاالله  
3.      Pada jumlah yang dihikayahkan
Yaitu jumlah yang ada “al”nya dan dijadikan nama orang, seperti:
يَاالرَّجُوْلُ مُنْطَلِقٌ, أَقْبِلْ                         
Hai Pak Rojul Muntholiq, menghadaplah![14]
Selain dari ketiga tempat di atas, boleh mengumpulkan “ya” nida dengan “al” apabila:
1.      Terdapat lafadz berupa أَيُّهَا  (untuk mudzakar) dan أَيَّتُهَا  (untuk mu’annas) sebelum munada. Contoh:
$pkšr'¯»tƒ ß`»|¡RM}$# $tB x8¡xî y7În/tÎ/ ÉOƒÌx6ø9$# ÇÏÈ [15] 
      Hai manusia, Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah.
2.      Terdapat isim isyarah sebelum munada. Contoh:
    يَا هَذِهِ الفَتَاةُ – يَا هَذَا الرِّجَالُ
Kecuali apabila munada berupa lafadz jalalah seperti kalimatيَااَلله  tanpa menggunakan أَيُّهَا  dan هَذَا . Sehingga kebanyakan memanggil huruf nida.[16]

Hukum dari kedua tempat di atas adalah rofa’ dan juga boleh dibaca nashob.
  1. Munada Berupa Lafadz أَيُّهَا
            Lafadz أَيُّهَا yang dijadikan munada itu harus disifati dengan salah satu dari tiga isim, yaitu:
1.      Disifati dengan isim yang bersamaan dengan “al” yang dibaca rofa’.
Karena yang dimaksud yang dipanggil adalah sifat (tabi’nya), sedang  أَيٌّ sebagai perantaraan dalam memanggilnya (wuslatun ila nida’). Contoh:
الرَّجُوْلُ أَقْبِلْ أَيُّهَا يَا Hai orang laki-laki datanglah!
Dalam contoh di atas أَيٌّ adalah munada mufrod yang dimabnikan dlomah dan “ha” nya merupakan “ha”ziyadah/”ha” tanbih, sedangkan lafadz الرَّجُوْلُ dibaca menjadi sifatnya lafadz أَيٌّ karena lafadz inilah yang sebenarnya dipanggil.
2.      Disifati dengan isim isyarah. Contoh: 
 يَاأَيُّهَذَا عِ نَفْسَكَ                  Hai orang ini, Jagalah dirimu!
 يَاأَيُّهَا ذَا الرَّجُلَ عِ نَفْسَكَ          Hai laki-laki ini, jagalah dirimu!
3.      Disifati dengan isim maushul yang bersamaan dengan “al” beserta shilahnya. Contoh:
 يَاأَيُّهَا الَّذِى فَعَلَ كَذَا Hai orang laki-laki yang melakukan hal ini.
 يَاأَيُّهَا الَّتِى فَعَلَتْ كَذَا Hai orang wanita yang melakukan hal ini.[17]
  1. Pembuangan Huruf  Nida
            Pada selain munada mandub, isim dhomir dan mustaghost huruf nida diperbolehkan dibuang. Contoh:
 يَا زَيْدُ أَقْبِلْHai Zaid menghadaplah!  bisa diucapkan  زَيْدُ أَقْبِلْ
 يَاعَبْدَ اللهِ إِرْكَبْHai Abdullah, naiklah!  bisa diucapkan  عَبْدَاللهِ إِرْكَبْ
            Huruf nida tidak boleh dibung apabila ada beberapa tempat huruf nida wajib disebutkan dan tidak boleh dibuang, yaitu:
1.      Pada munada mandub. Contoh:  وَارَاَسَاهْ
            Aduh (sakitnya) kepalaku
2.      Pada munada mustaghos. Contoh:  يَا لَزَيْدٍ
            Hai Zaid (tolonglah aku)
3.      Pada munada yang berupa dhomir. Contoh:  يَا إِيَّاكَ قَدْ كُفِيْتُكَ
            Hai kamu, aku telah diberi kecukupan untukmu
4.      Pada munada yang dikagumi (muta’ajjub minhu). Contoh:يَا لَلْمَاءَ 
            Aduh aku kagum (pada banyaknya) air
5.      Pada munada yang jauh.
6.      Pada munada yang berupa lafadz . الله [18]
  1. Munada yang Dimudhofkan Kepada “Ya” Mutakalim
Munada yang dimudhofkan kepada “ya” mutakalim terdiri dari tiga macam, yaitu:
  1. Isim shohih akhir. Seperti berubahnya lafadz أب dan أم , maka “ya”mutakalim dibuang dan diganti dengan kasrah pada huruf sebelumnya.Contoh:
ÏŠ$t7Ïè»tƒ  Èbqà)¨?$$sù ÇÊÏÈ  
  1. Isim mu’tal akhir. Maka wajib menetapkan “ya” tidak boleh merubahnya. Contoh:
            يَافَتَاى, يَاحَامِى
  1. Sifat shohih akhir. Maka “ya” wajib disukun atau difathah. Contoh:
            يَامُكْرَمِىْ, يَامُكْرَمِىَ


PENUTUP
  1. Simpulan
1.    Munada adalah isim yang terletak setelah huruf nida’. Sedangkan salah satu huruf nida’ yang sering digunakan adalah يَا. Baik untuk memanggil dari jarak dekat dan jauh. Sedangkan munada terbagi menjadi lima, yaitu:
a.       Munada mufrad alam
b.      Nakirah maqssudah
c.       Nakirah ghairu maqsudah
d.      Munada mudhaf
e.       Munada syibhul-mudhaf
2.    Huruf nida yang terdapat dalam surat Al-Baqarah adalah:
a.       $ygƒr'¯»tƒ terdapat pada ayat 21, 104, 153, 168, 172, 178, 183, 208, 254, 264, 267, 278, 282.
b.      يَا terdapat pada ayat 33, 35, 40, 47, 54, 55, 61, 122, 132, 179, 197.
c.       Sedangkan pembuangan huruf nida (يَا) terdapat pada ayat 126, 128, 129, 200, 250, 260, 285, 286.

  1. Kritik dan Saran
Harapan saya kepada para pembaca, teman-teman, khususnya bagi dosen pembimbing agar  kiranya memperbaiki setiap kesalahan atau kesimpulan baik disengaja maupun tidak disengaja, dalam uraian isi makalah ini khususnya, dan para mahasiswa umumnya. Semoga kritik dan saran dari kalian dapat membantu untuk perbaikan makalah ini selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Djuha, Djawahir. Tatabahasa Arab (Ilmu Nahwu). Bandung: Sinar Baru. 1989.

Rahman, Salimudin A. Tata Bahasa Arab Untuk Mempelajari Al-Qur’an. Bandung: Sinar Baru Algesindo. 2004.

Umam, Chatibul. Pedoman Dasar Ilmu Nahwu. Jakarta: Darul Ulum Press. 2000.

الشريف على بن محمد الجرجانى. كتاب التعريفات. بيروت-لبنان: دار الكتب العلمية. 1408ه-1988م.
اميل بديع يعقوب. موصوعة النحو والصرف والاعراب. 720.
فؤاد نعمة. ملخص قواعد اللغة العربيّة.دمشق: دار الحكمة. ص. ب 787.
مصطفى الغلاييني. جامع الدروس العربيّة. بيروت: دار البيان. 1439 ه – 2008 م.




[1] Salimudin A. Rahman, Tata Bahasa Arab Untuk Mempelajari Al-Qur’an (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2004), 215.
[2] Djawahir Djuha, Tatabahasa Arab (Ilmu Nahwu), (Bandung: Sinar Baru, 1989), 171.
 3 فؤاد نعمة, ملخص قواعد اللغة العربيّة (دمشق: دار الحكمة, ص. ب 787), 81.
4 مصطفى الغلاييني, جامع الدروس العربيّة (بيروت: دار البيان, 1439 ه – 2008 م), 538.
[5] الشريف على بن محمد الجرجانى, كتاب التعريفات (بيروت-لبنان: دار الكتب العلمية, 1408ه-1988م), 231.
[6] Salimudin A. Rahman, 215.
[7]  مصطفى الغلاييني, جامع الدروس العربيّة (بيروت: دار البيان, 1439 ه – 2008 م), 539.
[8]  فؤاد نعمة, ملخص قواعد اللغة العربيّة (دمشق: دار الحكمة, ص. ب 787) , 82.
[9] Sholihuddin Shofwan, Pengantar Memahami Alfiyah Ibnu Malik (Jombang: Darul Hikmah, 2005), 189.
[10]  اميل بديع يعقوب, موصوعة النحو والصرف والاعراب, 720.
[11] Sholihuddin Shofwan, 190.
[12] Chatibul Umam, Pedoman Dasar Ilmu Nahwu (Jakarta: Darul Ulum Press, 2000), 256.
[13] Salimudin A. Rahman, 215-217.
[14] Sholihuddin Shofwan, 198.
12 مصطفى الغلاييني, 543.
 [16]  فؤاد نعمة, 83.
[17] Sholihuddin Shofwan, 202-203.
[18] Sholihuddin Shofwan, 191-192.
[19]  مصطفى الغلاييني, 545.

2 komentar


EmoticonEmoticon