- Pendahuluan
Hadits terbagi sesuai dengan qath’i
wurudnya[1] disebut hadits mutawatir
dan dhanni wurudnya [2] disebut dengan hadits
ahad. Sedangkan yang dhanni terbagi menjadi tiga bagian: shahih, hasan dan
dha’if. Maka dari itu Ulama menyusun ilmu-ilmu hadits.[3]Masalah yang akan dibahas
dalam makalah ini adalah mengenai:
1.
Apa pengertian hadits
shahih, hasan dan dha’if?
2.
Apa ciri-ciri hadits
shahih, hasan dan dha’if?
3.
Sebutkan contoh hadits
shahih, hasan dan dha’if!
4.
Bagaimanakah martabat
hadits shahih, hasan dan dha’if?
- Pembahasan
- Hadits Shahih
a.
Pengertian hadits shahih
Hadits shahih menurut muhaditsin:
ماَ نَقُلَهُ عَدْلٌ تَامُ الضَّبْطِ
مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلاَ شَاذٍّ.
Artinya:
“Hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan,
sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak janggal.”[4]
Hadits shahih adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang
kepercayaan, kuat ingatannya dengan sempurna, bersambung-sambung sanadnya,
bersambung-sambung mulai dari awal sampai Nabi (musnad), tiada bercacad dan
tiada syadz atau tiada bertentangan dengan hadits yang sudah dipandang kuat.[5]
b.
Ciri-ciri hadits shahih
Dari definisi atau pengertian hadits shahih yang disepakati oleh
mayoritas ulama hadits di atas dapat dinyatakan, unsur-unsur kaedah mayor dan
minor keshahihan sanad hadits:[6]
Berdasarkan pendapat jumhur ulama hadits
|
|
Unsur kaedah mayor
|
Unsur kaedah minor
|
1)
Sanad bersambung.
|
1) Muttasil
(mawshul)
2) Marfu’
|
2)
Periwayat dalam sanad bersifat adil.
|
(pendapat
ulama beragam dan dapat dikompromikan menjadi):
1)
beragama Islam
2)
mukallaf
3)
melaksanakan ketentuan agama Islam
4)
memelihara muru’ah
|
3)
Periwayat dalam sanad bersifat dhabith.
|
1) Hafal dengan baik hadits yang diriwayatkannya
2) Mampu dengan baik menyampaikan hadits yang dihafalnya
kepada orang lain tanpa kesalahan
|
4) Sanad hadits itu terhindar dari syudzudz.
|
Riwayat
seorang periwayat yang siqat tidak bertentangan dengan riwayat para
periwayat yang siqat lainnya.
|
5) Sanad hadits itu terhindar dari ‘illat.
|
Tidak terjadi:
1)
Periwayat yang tidak siqat dinilai siqat
2)
Sanad terputus dinilai bersambung
|
Dengan demikian,
suatu sanad hadits yang tidak memenuhi kelima unsur tersebut adalah hadits yang
kualitas sanadnya tidak shahih.
c.
Contoh hadits shahih
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ ح و حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ
قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ص قَالَ إِذَا كَانُوا ثَلاَثَةٌ فَلاَ يَتَنَاجَى اثْنَانِ
دُونَ الثَّالِثِ[7]
Artinya: “(Kata
Bukhari): Telah menceritakan kepada kami, ‘Abdullah bin Yusuf, (ia berkata)
telah mengkhabarkan kepada kami, Malik dari Nafi’, dari Abdullah bahwa
Rasulullah SAW. bersabda: “Apabila mereka itu bertiga orang, janganlah dua
orang (dari antaranya) berbisik-bisikan dengan tidak bersama yang ketiganya.”
Hadits di atas dikatakan shahih karena dari susunan sanad Riwayatnya
seperti ini:
1
Bukhari
2
Abdullah bin
Yusuf
3
Malik
4
Nafi’
5
Abdullah (yaitu
Ibnu Umar)
6
Rasulullah SAW.
Sanad Riwayat ini bersambung dari No. 1
sampai No. 6, dan rawi-rawinya orang-orang kepercayaan dan dhabith dengan
sempurna. Hadits ini tidak terdapat syu-dzudz-nya, yaknitidak menyalahi hadits
yang derajatnya lebih kuat dan tidak ada illatnya, yaitu kekeliruan, kesalahan dan
lain-lain yang menyebabkan hadits itu tercela. Maka hadits tersebut mempunyai
syarat-syarat sebagai-mana tertera dalam makna (ta’rif) shahih yang saya
cantumkan di atas.[8]
- Hadits Hasan
a.
Pengertian
hadits hasan
Para ulama muhaditsin tidak sependapat
dalam menta’rifkan hadits hasan, sehingga meyebabkan efek yang berlainan. At-Thurmudzy menta’rifkan
hadits hasan dengan:
ماَلاَ يَكُوْنُ فِىْ اِسْناَدِهِ مَنْ
يُتَّهَمُ بِالْكَذِبِ وَلاَ يَكُوْنُ شَاذًّا وَيُرْوَى مِنْ غَيْرِ نَجْهٍ
نَحْوِهِ فِى الْمَعْنَى.
Artinya: “Ialah hadits yang pada sanadnya tiada terdapat orang yang tertuduh
dusta, tiada terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan
tidak dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya.”
Definisi tersebut tidak mani’ dan tidak
jami’. Sedangkan definisi yang dikemukakan oleh jumhurul muhaditsin ini jami’
serta mani’nya melengkapi segala unsur-unsurnya:
ماَنَقَلَهُ عَدْلٌ قَلِيْلُ الضَّبْطِ
مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلاَ شَاذٍّ.
Artinya: “Hadits
yang dinukilkan oleh seorang adil, (tapi) tak begitu kokoh ingatannya,
bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan pada
matannya.”
Dengan
mengambil definisi ini, maka tampaklah perbedaan yang tegas antara hadits
shahih dan dha’if dengan hadits hasan. Demikian juga segala macam hadits ahad
(masyhur, ‘aziz dan gharib) dapat bernilai hasan.[9]
Hadits hasan
terbagi menjadi dua macam:
1)
Hasan li
dzatihi.
Hasan menurut
bahasa artinya: yang baik, yang bagus. Li dzatihi artinya: karena
dzatnya atau dirinya. ”Hasan li dzatihi” menurut istilah ialah: satu
hadits yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, diceritakan oleh
orang-orang adil tetapi ada yang kurang dhabith, serta tidak ada syu-dzudz dan
illah.[10]
2)
Hasan li
ghairihi.
Li ghairihi
artinya: karena yang lainnya, yakni satu hadits menjadi hasan karena dibantu
dari jalan lain. Hasan li ghairihi menurut istilah ialah: satu hadits
yang dalam sanadnya ada: Rawi mastur[11]
atau rawi yang kurang kuat hafalannya, atau rawi yang tercampur hafalannya
karena tuanya, atau rawi mudallis[12]
atau rawi yang pernah keliru dalam meriwayatkan, atau rawi yang pernah salah
dalam meriwayatkan, lalu dikuatkan dengan jalan lain yang sebanding dengannya.[13]
b.
Ciri-ciri hadits
hasan
Ada kalanya dalam kitab-kitab, terdapat
ucapan-ucapan:
a) Isnaduhu Hasanun) اسناده
حسن), artinya: sanadnya hasan.
b) Isnadun Hasanun ( اسناد حسن
) , artinya: sanad yang hasan.
c) Hasanul-Isnad ( حسن
الا سناد ),
artinya: yang hasan sanadnya.
Hadits atau riwayat yang terdapat salah satu kata di atas atau dengan
yang seumpamanya, tidak selalu menunjukkan bahwa ma’nanya juga Hasan, bahkan di
antaranya ada yang tidak betul.[14]
c.
Contoh hadits hasan
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحَسَنِ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو
يَحْيَى إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي
زِيَادٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقٌّ عَلَى
الْمُسْلِمِينَ أَنْ يَغْتَسِلُوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ
وَلْيَمَسَّ أَحَدُهُمْ مِنْ طِيبِ أَهْلِهِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَالْمَاءُ لَهُ
طِيبٌ[15]
Artinya: “Berkata
Ali ibn Hasan Al Kufiy, berkata Abu Yahya Isma’il ibn Ibrahim At Taimiy, dari
Yazid ibn Abi Ziyad, dari Abdurrahim ibn Abi Laila, dari Al Bara’i ibn Ngazib
berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Adalah hak bagi orang-orang Muslim mandi di
hari Jum’at. Hendaklah mengusap salah seorang mereka dari wangi-wangian
keluarganya. Jika ia tidak memperoleh, airpun cukup menjadi wangi-wangian.”[16]
Gambaran sanad dari hadits di atas:
1.
Turmudzi
2.
Ahmad bin Mani’
3.
Husyaim
4.
Yazid bn Abi
Ziyad
5.
Abdurrahman bin
Abi Laila
6.
Bara’ bin Azib
7.
Rasulullah
Rawi-rawi yang ada dalam sanad ini semua
orang kepercayaan, melainkan Husyaim terkenal sebagai mudallis. Karena ini,
maka sanadnya teranggap lemah yang tidak sangat, karena orangnya kepercayaan.
Oleh karena sanad yang pertama itu dibantu dengan sanad yang kedua, maka hadits
sanad pertama itu dinamakan ”Hasan li Ghairihi”.[17]
- Hadits Dha’if
a.
Pengertian hadits dha’if
Hadits dha’if ialah:
ماَ فَقِدَ شَرْطًا أَوْ اَكْثَرَ مِنْ
شُرُوْطِ الصَّحِيْحِ أَوِ الْحَسَنِ.
Artinya: “Ialah hadits yang kehilangan satu syarat
atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan.”[18]
Ta’rifnya dapat disusun:
“Hadits Dha’if itu ialah satu hadits yang terputus sanadnya, atau di antara
rawi-rawinya ada yang bercacat.”[19]Hadits
dha’if banyak ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain,
disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shahih atau hasan yang
tidak dipenuhinya. Al ‘Iraqi membagi hadits dha’if menjadi 42 bagian dan
sebagian ulama lain membaginya menjadi 129 bagian.[20]
b.
Ciri-ciri
hadits dha’if
a)
Putus
sanadnya. Hadits yang teranggap lemah karena putus (gugur, tidak tersebut)
sanadnya ada 9 macam, dan masing-masing mempunyai nama tersendiri.
b)
Tercacat
seorang rawi atau beberapa rawinya. Sebagaimana hadits yang putus sanadnya,
begitu juga hadits lemah karena rawi-rawinya itu, ada beberapa macam bagian
yang masing-masing juga mempunyai nama tersendiri.[21]
c.
Contoh
hadits dha’if
قَالَ أَبُو عِيسَى وَقَدْ رُوِيَ عَنْ
عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ صَلَّى
بَعْدَ الْمَغْرِبِ عِشْرِينَ رَكْعَةً بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّة[22]
Artinya: “Berkata Abu ‘Isa: Dan sesungguhnya telah
diriwayatkan dari ‘Aisyah, dari Nabi SAW. Beliau bersabda: “Barangsiapa shalat
sesudah Maghrib, dua puluh raka’at, Allah akan mendirikan baginya sebuah rumah
di syurga.”[23]
Gambaran sanad hadits di atas:
1
Abu Isa (=Turmudzi)
2
’Aisyah
3
Rasulullah SAW
Turmudzi tidak bertemu dan tidak sezaman dengan ’Aisyah. Jadi tentu antara
kedua-duanya itu ada beberapa orang rawi lagi. Karena disebut rawi-rawinya ini,
maka dinamakan gugur, seolah-olah hadits itu tergantung. Karena itulah
dinamakan Mu’allaq. Setiap hadits Mu’allaq hukumnya lemah, tidak boleh dipakai.
Oleh sebab itu, hadits tersebut tidak boleh dipakai.[24]
- Peringkat kualitas kitab hadits
Berdasarkan persyaratan-persyaratan yang ditentukan untuk sebuah
hadits shahih, kitab hadits memiliki tingkat keshahihan yang berbeda-beda.
a.
Peringkat pertama
Jumhur ulama mendudukkan kitab Shahih Al
Bukhari dan Shahih Al Muslim pada peringkat pertama, dengan menempatkan Shahih Al
Muslim di bawah Shahih Al Bukhari. Akan tetapi ada pula yang menempatkan Shahih
Al Muslim di tempat pertama dengan alasan bahwa Shahih Al Muslim memiliki
sistem yang memudahkan suatu istimbat. Kendati demikian hipotesis ini tidak
harus mengantarkan pada kesimpulan bahwa Shahih Al Muslim memiliki derajat
keshahihan yang lebih tinggi ketimbang Shahih Al Bukhari. Alasan penerapan
urutan seperti itu, lebih didasarkan pada nilai-nilai praktis yang dimiliki
oleh kedua kitab Shahih tersebut. Dengan demikian, kedua kitab ini secara
bersama-sama menempati posisi paling puncak dalam deretan kitab-kitab hadits.
Sebagian ulama menambahkan bahawa Al Muwatta’ karya Imam Malik ibn Anas
menempati jajaran kedua dalam peringkat ini, dengan urutan Al Bukhari, Muslim
dan Al Muwatta’.
b.
Peringkat kedua
Peringkat kedua ditempati oleh kitab-kitab
yang sekalipun tidak mencapai standar keshahihan kitab-kitab shahih terdahulu,
ditulis oleh orang-orang yang tidak meringankan persyaratan-persyaratan bagi
diri mereka dalam menyeleksi hadits-hadits yang mereka himpun dalam kitab-kitab
mereka, dan lebih dari itu, bersama-sama kitab Bukhari dan Muslim, karya-karya
mereka dijadikan rujukan oleh para ulama sesudahnya dalam beristimbat, baik
untuk prinsip-prinsip akidah maupun syari’ah, misalnya Jami’at Tirmidzi, Sunan
Abu Dawud, Mujtaba An Nasa’i dan Sunan ibn Majah. Meskipun sebagian ulama juga
mengakui bahwa kumpulan hadits Ibn Majah tidak sekritis lima kumpulan lainnya
dalam Kutub As Sittah. Karena itu, sebagian ulama menggantinya dengan Al
Muwatta’ karya Imam Malik dan Al Musnad karya Ahmad ibn Hambal.
c.
Peringkat ketiga
Peringkat ketiga ditempati oleh
kitab-kitab hadits yang memuat banyak hadits dha’if, baik yang syaz, munkar
maupun mudtarib, di samping kurang jelasnya ihwal para rijalnya, misalnya:
Musnad ibn Abi Syaiban, Musnad At Tayalisi, Musnad Abd ibn Hamid, Musannaf Abd
Razzaq, kitab-kitab hadits Al Baihaqi, At Tabrani dan At Tahawi. Kitab-kitab
jenis ini sulit dijadikan rujukan, kecuali oleh orang-orang yang telah
betul-betul mendalami ‘Ulum Al Hadits.
d.
Peringkat keempat
Pada peringkat ini ditemukan kitab-kitab
hadits yang amat rendah kualitasnya bila dibandingkan dengan kitab-kitab
sebelumnya. Umumnya, kitab-kitab yang masuk peringkat ini disusun oleh
ulama-ulama yang menerima hadits dari para tukang cerita (qassas), para
sufi (mutasawwifah), para penulis buku (mu’arrikhin) yang tidak
memenuhi persyaratan sebagai perawi-perawi yang adil, para pelaku bid’ah dan
orang-orang yang berbicara atas dorongan nafsunya, di antaranya: kitab-kitab hadits
susunan Ibn Mardawaih, Ibn Syahin dan Abu Asy Syaikh.[25]
- Penutup
- Kesimpulan
Hadits adalah sebagai rujukan dan pegangan
kedua setelah Al Qur’an bagi umat Islam. Mempelajari ‘Ulumul Hadits juga sangat
penting, sehingga pelajar dapat mengerti hadits mana yang dapat digunakan
pegangan hidup sehari-hari seperti yang dianjurkan oleh Nabi dalam haditsnya.
Maka dari itu, untuk mengetahui tentang
kejelasan tentang suatu hadits maka ulama melakukan suatu tindakan. Tindakan
ulama shahabat untuk menjamin kebenaran riwayat seperti yang dilakukan oleh Abu
Bakar, beliau pernah tidak menerima hadits yang disampaikan kepadanya, apabila
tidak disaksikan oleh seorang lagi. Juga Umar berbuat demikian. Ali bin Abi
Thalib pernah menyuruh bersumpah orang yang membawa riwayat.
- Saran
a.
Semoga ilmu yang terdapat
dalam makalah sederhana ini bermanfaat bagi kita semua terutama bagi mahasiswa.
b.
Harapan kami kepada para
pembaca khusus bagi dosen pembimbing agar
kiranya memperbaiki setiap kesalahan atau kesimpulan baik disengaja
maupun tidak disengaja, dalam uraian isi makalah ini khususnya, dan para
mahasiswa umumnya.
- Daftar Pustaka
Al
Bukhari. Shahih Bukhari. Al Maktabah Asy Syamilah: Al Isti’dzan.
Asy Shiddieqy, Hasby. Pengantar Ilmu
Hadits. Jakarta: Bulan Bintang. 1987.
At Turmudzi. Sunan At Turmudzi. Al Maktabah Asy Syamilah: Al
Jama’atu ‘an Rasulillah.
At
Turmudzi. Sunan At Turmudzi. Al Maktabah Asy Syamilah: As Sholat.
Hassan,
A. Qadir. Ilmu Musthalah Hadits. Bandung: Diponegoro. 1994.
Ismail,
Syuhudi. Kaedah Keshahihan Sanad Hadits. Jakarta: Bulan Bintang.
1995.
Rahman,
Fatchur. Ikhtisar Musthalahul Hadits. Bandung: Al Ma’arif, 1974.
Taufiq
Hidayat, Rahmat. Almanak Alam
Islami. Jakarta:
Pustaka Jaya. 2000.
EmoticonEmoticon