PENDAHULUAN
- Latar
Belakang.
Pada perkembangan agama Islam setelah masa
Khulafa Arrashidin muncullah berbagai macam aliran Madzhab Kalamiyah, yang
salah satu di antaranya adalah aliran Mu’tazilah.
Kaum Mu’tazilah adalah kaum yang membuat
heboh dunia Islam selama 300 tahun pada abad-abad permulaan Islam. Dalam
sejarah tercatat bahwa kaum Mu’tazilah pernah membunuh ribuan ulama Islam, di
antaranya adalah ulama Islam yang terkenal Syeh Buaithi, imam pengganti Imam
Syafi’i, dalam peristiwa yang dinamai “Peristiwa Qur’an Makhluk”
Imam Ahmad bin Hanbal, pembangun Madzhab
Hanbali, juga mengalami siksaan dalam penjara selama 15 tahun akibat peristiwa
itu.
Maka dengan kejadian di atas kita perlu
mengetahui dan mengenal sejarah asal-usul aliran Mu’tazilah.
- Rumusan
Masalah.
1.
Apa pengertian Mu’tazilah?
2.
Bagaimanakah sejarah
lahirnya aliran Mu’tazilah?
3.
Apa sajakah pokok-pokok
ajaran dalam aliran Mu’tazilah?
BAB
II
PEMBAHASAN
- Pengertian
Mu’tazilah.
Kata “Mu’tazilah” berasal dari kata “اِعْتَزَلَ”
yang artinya menyisihkan diri. Yaitu kaum yang menyisihkan diri.[1]
Kata-kata ini diulang dalam
Al-quran sebanyak sepuluh kali yang kesemuanya mempunyai arti sama yaitu al ibti’âd ‘ani
al syai-i : menjauhi sesuatu. Seperti dalam satu redaksi ayat :
فَاِنِ اعْتَزَلُوْكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ وَأَ لْقُوْا
اِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ الله ُلَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيْلاً
(النساء 90)
“Tetapi jika mereka membiarkan kamu,
dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah
tidak memberi jalan bagimu (untuk melawan dan membunuh) mereka.” (QS. 4:90)[2]
Aliran Mu’tazilah dalam menetapkan
prinsip-prinsipnya selalu berpegang kepada akal (ratio). Sebab itu mereka
sangat mengutamakan ratio dan menempatkannya pada tingkat yang tinggi. Pada
masa berikutnya mereka bersandar kepada filsafat, terutama setelah timbul
kebangkitan dan kemajuan dalam bidang ilmiyah dalam Alam Islami juga sesudah
filsafat diterjemahkan dari berbagai bangsa ke dalam bahasa Arab. Pada masa itu
filsafat merupakan senjata ampuh bagi musuh-musuh Islam untuk menyerangnya.
Maka kaum Mu’tazilah pun memekai filsafat sebagai senjata mereka untuk
mempertahankan Islam terhadap orang yang menyerang dan menantangnya.[3]
- Sejarah Lahirnya Aliran
Mu’tazilah.
Ada beberapa sebab yang menerangkan kaum ini
dinamakan kaum Mu’tazilah, yaitu:
a)
Ada seorang guru besar di Baghdad yang bernama syeh Hasan
Bashri (wafat 110 H). Di antara muridnya ada yang bernama Wasil bin
Atha’ (wafat 131 H). Pada suatu hari Imam Hasan Bashri menerangkan bahwa
orang Islam yang telah iman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi ia kebetulan
mengerjakan dosa besar, maka orang itu tetap muslim tetapi muslim yang durhaka.
Di akhirat nanti, kalau ia wafat sebelum taubat dari dosanya, ia dimasukkan ke
dalam neraka buat sementara untuk menerima hukuman atas perbuatan dosanya,
tetapi sesudah menjalankan hukuman ia dikeluarkan dari dalam neraka dan
dimasukkan ke dalam surga sebagaimana seorang Mu’min dan Muslim.
حُكْمُ
اْلمُؤْمِنِ اْلعَاصِى بَعْدَ اْلحِسَابِ اِنْ غَفَرَاللهُ لَهُ اَنْ يَدْخُلَ
اْلجَنَّةَ مِنْ
اَوَّلِ اْلاَمْرِ خَالِدًا فِيْهَا اَبَدًا
وَاِنْ لَمْ يَغْفِرْ لَهُ اَنْ يُعَذَّبَ فِى النَارِ مُدَّةً
Wasil bin Atha’ tidak sependapat dengan gurunya, lantas ia membentak,
lalu keluar dari halaqah gurunya dan kemudian mengadakan majlis lain di suatu
pojok dari masjid Basrah itu.
Oleh karena itu, maka Wasil bin Atha’ dinamai kaum
Mu’tazilah, karena ia mengasingkan diri dari gurunya. Dan diikuti oleh temannya
Umar bin Ubaid (wafat 145 H).
Sejarah tidak mencatat tanggal, hari dan bulan perceraian,
tetapi ketika itu usia Wasil 40 tahun, yaitu usia seseorang yang sudah
bertanggung jawab, maka gerakan ini dimulai tahun 120 H, karena lahirnya Wasil
bin Atha’ adalah pada tahun 80 H.
Jadi dapat dikatakan bahwa permulaan munculnya faham
Mu’tazilah adalah pada permulaan abad ke II Hijriyah, dengan guru besarnya Wasil
bin Atha’ dan Umar bin Ubaid. Dan yang berkuasa saat itu Khalifah
Hisyam bin Abdul Muluk dari Bani Umayyah (100-125 H).
b)
Ada pula yang mengatakan sebab dinamakan Mu’tazilah
karena mengasingkan diri dari masyarakat. Orang-orang Mu’tazilah pada mulanya
adalah orang-orang Syi’ah yang patah hati akibat menyerahnya Khalifah Hasan bin
Ali bin Abi Thalib kepada Khalifah Mu’awiyah dari Bani Umaiyah.
Mereka menyisihkan diri dari siasah (politik) dan hanya
mengadakan kegiatan dalam bidang ilmu pengetahuan. Demikian dikatakan oleh
Abdul Hasan Thara’ifi, pengarang buku “Ahlul Hawa wal Bida”, yang dikutip oleh
Muhammad Abu Zaharah dalam bukunya “Asy Syafi’i” , page 117.
Kalau ucapan Tharaifi ini benar, maka tanggal permulaan
gerakan Mu’tazilah ini adalah sekitar tahun 40 H, karena penyerahan
pemerintahan Sayidina Hasan kepada Sayidina Mu’awiyah adalah pada tahun 40 H.
Baik dari Tharaifi maupun Muhammad Abu Zaharah tidak
menerangkan nama orang-orang yang patah hati itu dan juga tidak menerangkan
tahun-tahunnya. Karena itu dalil Tharaifi ini tidak begitu kuat, apalagi
dilihat dalam kenyataannya, bahwa orang-orang
Mu’tazilah dalam prakteknya bukan patah hati tetapi banyak sekali
mencampuri soal-soal politik dan bahkan sampai mendominasi Khalifah Al Ma’mun,
Khalifah al Mu’tashim dan Khalifah Al Watsiq. Dan bahkan di antara mereka ada
yang duduk mendampingi Kepala Negara sebagai penasehatnya.
c)
Ada penulis-penulis lain yang mengatakan bahwa kaum
Mu’tazilah itu adalah kaum yang mengasingkan diri dari keduniaan. Mereka
memakai pakaian yang jelek-jelek, memakai kain yang kasar-kasar, tidak mewah
dan dalam hidupnya sampai kederajat kaum minta-minta (Darawisy).
Keterangan ini pun sangat lemah, karena dalam kenyataannya
kemudian, banyak kaum Mu’tazilah yang gagah-gagah, pakai rumah mewah-mewah,
pakai kendaraan mewah-mewah, sesuai dengan kedudukan mereka di samping
Khalifah-khalifah.
d)
Pengarang buku “Fajarul Islam” Ahmad Amin, tidak begitu
menerima semuanya itu. Persoalan kaun Mu’tazilah bukan sekedar menyisihkan diri
dari majlis guru, bukan sekedar menyisihkan diri dari masyarakat atau sekedar
tidak suka memakai pakaian mewah, tetapi lebih mendalam dari itu. Mereka
menyisihkan fahamnya dan I’tiqadnya dari paham dan I’tiqad umat Islam yang
banyak.
Pendapat ini dikuatkan oleh pengarang kitab “al Farqu bainal
Firaq”, yang menyatakan bahwa Syeh Hasan Basri mengatakan ketika kedua orang
itu menyisihkan diri bahwa mereka telah menjauhkan diri dari pendapat umum.
Pendapat ini memang dekat pada kebenaran, karena dari dulu
sampai sekarang fatwa-fatwa kaum Mu’tazilah banyak yang ganjil-ganjil, banyak
yang di luar dari faham Nabi dan sahabat-sahabat beliau. Jadi mereka itu
benar-benar Mu’tazilah (tergelincir) dalam arti kata sebenarnya.[5]
- Pokok-Pokok Ajaran
Mu’tazilah.
Dasar-dasar
pokok ajaran Mu’tazilah berkisar pada 5 soal:
1)
Tauhid
Tauhid kaum Mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat-sifat
Tuhan, tetapi Tuhan adalah Zat yang tunggal tanpa sifat. Mereka menganut
pendapat yang meniadakan sifat-sifat yang Qadim itu sama sekali. Sebab, kalau
seandainya memang ada sifat-sifat yang Qadim, tentulah akan ada beberapa “Yang
Qadim”. Dan ini adalah kepercayaan syirik. Mereka berkata bahwa Allah adalah
‘Alim (Mengetahui) dengan dzat-Nya, Qadir (Kuasa) dengan dzat-Nya, Haiyun
(Hidup) dengan dzat-Nya, Mutakallim (Berbicara) dengan dzat-Nya. Bardasarkan
keterangan tersebut maka mereka berkata, bahwa Al Qur’an adalah “makhluk”,
karena tak ada Yang Qadim kecuali Allah.
Karena adanya prinsip-prinsip ini, maka musuh-musuh
Mu’tazilah menggelari mereka dengan “Mu’attilah”, sebab mereka telah
meniadakan sifat-sifat Tuhan dan menghapuskannya. Dan karena prinsip ini pula
maka kepada orang-orang yang menetapkan adanya sifat-sifat Tuhan lalu diberikan
gelar “Shifatiyah”. Dan karena prinsip pertama dan kedua tersebut di
atas, maka kaum Mu’tazilah sendiri menyebut diri mereka dengan “Ahlul ‘adli
wat tauhid” (pengemban keadilan dan ketauhidan).[6]
2)
Keadilan.
Kaum Mu’tazilah menggunakan istilah keadilan yaitu karena
manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya sendiri, yang baik ataupun
yang jelek. Dan karenanya ia berhak mendapatkan pahala dan siksa. Dan Tuhan
sama sekali bersih dari hal-hal yang jelek, aniaya dan perbuatan yang dipandang
kekafiran dan kemaksiatan. Sebab, kalau seandainya Tuhan memang menciptakan
kezaliman, berarti Ia adalah zalim. Mereka sepakat bahwa Allah Ta’ala hanyalah
berbuat yang patut dan baik.
Berdasarkan kepada prinsip tersebut, maka kaum Mu’tazilah
ini juga disebut “Al’adliyah”, yaitu orang-orang yang menganut pendapat
tentang keadilan. Dan karenanya mereka juga disebut kaum “Qadariyah”
yaitu orang-orang yang menentang adanya Qadha dan Qadar.
Kaum Mu’tazilah sendiri tidak pernah menyebut-nyebut
kedua istilah itu. Mereka bahkan membenci akan gelar-gelar tersebut. Dan mereka
tidak senang kalau kedua perkataan itu dipakai sebagai nama mereka. Bahkan
mereka berpendapat bahwa gelar-gelar tersebut sepantasnya dipakaikan kepada
orang yang menganut pendapat tentang adanya Qadar, dan bukan kepada orang-orang
yang mengingkari pendapat itu.
Yang menyebabkan kaum Mu’tazilah benci kepada gelar
tersebut ialah sabda Rasulullah SAW:
“Kaum
Qadariyah adalah kaum Majusi Ummat ini”, dan sabda: “Kaum Qadariyah adalah
musuh-musuh Allah mengenai Qadar”.
Itulah sebabnya kita
dapati orang-orang yang menganut pendapat tentang adanya Qadar melekatkan gelar
tersebut kepada kaum Mu’tazilah dan sebaliknya kaum Mu’tazilahpun melekatkan
gelar tersebut kepada orang-orang yang menganut pendapat tentang adanya Qadar.[7]
3)
Janji baik
dan janji buruk.
Tuhan telah berjanji –
kata Mu’tazilah, bahwa siapa yang durhaka akan dihukum-Nya dan siapa yang
mengerjakan pekerjaan baik akan diberi-Nya upah. Oleh karena itu, sekalian orang
yang berbuat dosa tidak akan diampuni-Nya lagi kalau ia wafat sebelum taubat,
dan akan terus masuk neraka tak keluar lagi. Ini sesuai dengan Janji-Nya.
4)
Tempat di
antara dua tempat
Apabila orang Mu’min
berbuat dosa maka ia dihukum dalam neraka disuatu tempat, lain dari tempatnya
orang kafir. Nerakanya agak dingin, mereka tinggal di antara dua tempat, yakni
antara surga dan neraka.[8]
5) Amar ma’ruf nahi munkar
Adapun “amar ma’ruf” dan
“nahi munkar” adalah wajib bagi setiap orang Islam, sama dengan kepercayaan
kaum Ahlussunnah, akan tetapi yang ma’ruf bagi kaum Mu’tazilah ialah hanya
pendapat mereka, bukan ma’ruf yang sesuai dengan Al Qur’an dan Hadits.[9]
Kaum Mu’tazilah sepakat
mengatakan bahwa akal manusia sanggup membedakan yang baik dari yang buruk,
sebab sifat-sifat dari yang baik dan yang buruk itu dapat dikenal. Dan manusia
berkewajiban memilih yang baik dan menjauhi yang buruk. Untuk ini, Tuhan tidak
perlu mengutus Rasul-Nya. Apabila orang tidak mau berusaha untuk mengetahui
yang baik dan yang buruk itu ia akan mendapat siksaan dari Tuhan. Begitu pula
apabila ia tahu akan yang baik tetapi tidak diikutinya, atau ia tahu mana yang
buruk tetapi tidak dihindarinya.
Adapun mengutus Rasul,
adalah merupakan pertolongan tambahan dari Tuhan[10], “Agar orang-orang
yang binasa itu, binasanya adalah dengan alasan, dan orang yang hidup itu,
hidupnya adalah dengan alasan pula”.
NçFRr&Î) Íourôãèø9$$Î/ $u÷R9$# Nèdur Íourôãèø9$$Î/ 3uqóÁà)ø9$# Ü=ò2§9$#ur @xÿór& öNà6ZÏB 4 öqs9ur óO?tã#uqs? óOçGøÿn=tG÷z]w Îû Ï»yèÏJø9$# `Å3»s9ur zÓÅÓø)uÏj9 ª!$# #XöDr& c%2 ZwqãèøÿtB Î=ôguÏj9 ô`tB n=yd .`tã 7poYÍht/ 4Ózóstur ô`tB yr .`tã 7poYÍht/ 3 cÎ)ur ©!$# ììÏJ|¡s9 íOÎ=tæ ÇÍËÈ
Maksudnya:
“agar orang-orang yang tetap di dalam kekafirannya tidak
mempunyai alasan lagi untuk tetap dalam kekafiran itu, dan orang-orang yang
benar keimanannya adalah berdasarkan kepada bukti-bukti yang nyata.”[11]
Berdasarkan pangkal yang ini banyaklah
fatwa-fatwa kaum Mu’tazilah yang bertentangan dengan fatwa dunia Islam. Di dalam
kitab-kitab Usuluddin terdapat banyak sekali perkataan “Khilafan lil
Mu’tazilah” yang artinya “berbeda dengan faham Mu’tazilah”. Oleh karena itu,
kemudian umat Islam telah sepakat menetapkan bahwa faham dan I’tiqad kaum
Mu’tazilah adalah salah, tidak sesuai dengan I’tiqad Nabi dan
sahabat-sahabatnya, tidak sesuai dengan Al Qur’an dan Hadits.
Imam mereka dinamai “Qadli Qudlat”
(Qadli dari sekalian Qadli) bernama Abdul Jabbar bin Ahmad (wafat: 415 H)
mengarang sebuah buku bernama “Syarah Ushulil Khamsah” (Penjelasan tentang
pokok yang lima) dimana diterangkan panjang lebar pokok-pokok Keimanan Kaum
Mu’tazilah yang lima.
Di antara aliran-aliran yang terbesar dari
kaum Mu’tazilah adalah:
1.
Aliran Washiliyah, yaitu
aliran Washil bin ‘Atha’.
2.
Aliran Huzailiyah, yaitu
aliran Huzel al ‘Allaf.
3.
Aliran Nazamiyah, yaitu
aliran Sayyar bin Nazham.
4.
Aliran Haitiyah, yaitu
aliran Ahmad bin Haith.
5.
Aliran Basyariyah, yaitu
aliran Basyar bin Mu’atmar.
6.
Aliran Ma’mariyah, yaitu
aliran Ma’mar bin Ubeid as Salami
7.
Aliran Mizdariyah, yaitu
aliran Abu Musa al Mizdar.
8.
Aliran Tsamariyah, aliran
Thamamah bin Ar rasy.
9.
Aliran Hisyamiyah, yaitu
aliran Hisyam bin Umar al Fathi.
10.
Aliran Jahizhiyah, yaitu
aliran Utsman al Jahizh.
11.
Aliran Khayathiyah, yaitu
aliran Abu Hasan al Khayath.
12.
Aliran Jubaiyah, yaitu
aliran Abu Ali al Jubai.
13.
Aliran-aliran lain yang
banyak lagi.[12]
Beberapa kesalahan dan kekeliruan yang
diperbuat kaum Mu’tazilah, yaitu:
Pertama. Kaum Mu’tazilah amat
berlebih-lebihan dalam menghormati dan mengagungkan akal, sedang akal sering
keliru dan salah.
Kedua. Agama Islam terkenal dengan sifat yang mudah
dan gampang, akan tetapi Mu’tazilah telah menyebabkan aqidah Islam menjadi
ruwet dan berbelit-belit, yaitu dengan memasukkan filsafat-filsafat dan
pelajaran-pelajaran mengenai ketuhanan dan alam, yang tidak dapat memperjelas
ajaran-ajaran Islam, bahkan membuatnya jadi kabur.
Ketiga. Kaum Mu’tazilah menyelami lautan
filsafat untuk mempertahankan agama Islam, akan tetapi banyak di antara mereka
itu memakai senjata tersebut untuk menikam diri sendiri.
Keempat. Ketika kaum Mu’tazilah membahas
masalah kekacauan-kekacauan yang terjadi pada permulaan Islam, maka kebanyakan
mereka membolehkan untuk mencela para sahabat Nabi.[13]
Ustadz Ahmad
Amin berkata: “Pada hakekatnya, kaum Mu’tazilah-lah yang menciptakan Ilmu Kalam
dalam Islam. Dan merekalah yang mula-mula dalam kalangan Muslimin memakai
senjata seperti yang dipakai oleh musuh-musuh mereka, dalam mempertahankan agama.
Pada permulaan abad kedua Hijriyah, tampaklah pengaruh orang-orang bekas
penganut agama Yahudi, Nasrani, Majusi dan Dahriyah yang telah memeluk Islam.
Banyak di antara mereka memeluk Islam tetapi pikiran mereka masih dipenuhi oleh
ajaran-ajaran agama mereka yang lama. Dan agama tersebut sebelumnya telah
bersenjatakan filsafat dan logika Yunani, dan telah menyusun sistem
pembahasannya, dan menyelaminya sampai sedalam-dalamnya. Kemudian mereka
menyerang Islam, yaitu agama yang terkenal dengan kesederhanaan akidahnya,
sehingga mereka berhasil memasukkan keragu-raguan ke dalam agama Islam.”[14]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan.
Faham Mu’tazilah memang selayaknya
dianalisa dengan sebaik-baiknya, agar umat Islam yang telah berada di jalur
yang lurus – I’tiqad umat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dan
sahabat-sahabatnya - tidak berbelok kepada I’tiqad faham Mu’tazilah sesat lagi
menyesatkan.
DAFTAR
PUSTAKA
……., Agustus 2004. http://www.alquran-digital.com,
diakses 12 Desember 2010.
Abbas, Sirajuddin, I’tiqad
Ahlussunnah Wal Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1999.
Al Jaza’iri, Thohir Bin
Sholih, Al Jawahir Al Kalamiyah, Surabaya: Al Hidayah, t.t.
Syalabi, A. Sejarah
Dan Kebudayaan Islam 2, Jakarta: Al Husna Zikra, 1997.
[13]
Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam 2 (Jakarta: Al Husna
Dzikra, 1997), hlm. 396-397.
EmoticonEmoticon