PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Perilaku manusia sangat behubungan dengan
nilai. Semua yang dikerjakan dapat menghasilkan suatu yang bernilai. Pada
pembahasan Aksiologi ini, maka manusia akan berfikir “apakah yang saya lakukan
ini pantas atau tidak?” atau muncul pertanyaan “apakah benda itu bernilai
karena kita menilainya, ataukah kita menilainya karena benda itu bernilai?”.
Untuk lebih jelasnya, maka kami akan berusaha membahas dalam makalah ini.
- Rumusan masalah
- Apa pengertian Aksiologi?
- Bagaimanakah konsepnya tentang nilai?
BAB
II
PEMBAHASAN
- Pengertian Aksiologi
Kata aksiologi barasal dari bahasa Inggris
“axiology”; dari kata Yunani “axios” yang artinya layak; pantas;
nilai, dan “logos” artinya ilmu; studi mengenai. Dari pengertian menurut
bahasa tersebut, ada beberapa pengertian secara istilah sperti yang disebutkan
di bawah ini:
- Aksiologi merupakan analisis nilai-nilai. Maksud dari analisis ini ialah membatasi arti, ciri-ciri, asal, tipe, kriteria dan status epistimologis dari nilai-nilai itu.
- Aksiologi merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang nilai atau suatu studi yang menyangkut segala yang bernilai.
- Aksiologi adalah studi filosofis tentang hakikat nilai-nilai. Pertanyaan mengenai hakikat nilai ini dapat dijawab dengan tiga macam cara:
a.
Orang dapat mengatakan
bahwa a) nilai sepenuhnya berhakikat subyektif. Ditinjau dari sudut pandangan
ini, nilai-nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai
pelaku. Pengikut teori idealisme subyektif (positivisme logis, emotivisme,
analisis linguistik dalam etika) menganggap nilai sebagai sebuah fenomen
kasadaran dan memandang nilai sebagai pengungkapan perasaan psikologis, sikap
subyektif manusia kepada obyek yang dinilainya.
b.
Dapat pula orang mengatakan
b) nilai-nilai merupakan kenyataan, namun tidak terdapat dalam ruang waktu.
Nilai-nilai merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui melalui akal.
c.
Akhirnya orang dapat
mengatakan bahwa c) nilai-nilai merupakan unsur-unsur obyektif yang menyusun
kenyataan.[1]
Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai
merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, social dan agama.
Sistem mempunyai rancangan bagaimana tatanan, rancangan dan aturan sebagai satu
bentuk pengendalian terhadap satu institusi dapat terwujud.
Nilai merupakan tema baru
dalam filsafat: aksiologi, cabang filsafat yang mempelajarinya, muncul pertama
kalinya pada paroh kedua abad ke-19. Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang
menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan
kefilsafatan. Di dunia ini terdapat banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan
dengan masalah-masalah nilai yang khusus seperti epistimologis, etika dan
estetika. Epistimologi bersangkutan dengan masalah kebenaran, etika
bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan estetika bersangkutan dengan masalah
keindahan.[2]
- Konsep Tentang Nilai
Konsep nilai merupakan komplemen
dan sekaligus lawan konsep fakta. Kita memang hanya mengetahui fakta,
tetapi mesti mencari nilai. Karena apapun, sikap apapun, ideal mana saja,
maksud apa saja, maksud manapun, atau tujuan mana saja pasti mempunyai nilai,
maka nilai mesti merupakan objek preferensi atau penilaian kepentingan. Dalam
sejarah filsafat telah muncul sejumlah nilai.
Teori umum tentang nilai bermula dari
perdebatan antara Alexius Meinong dengan Cristian von Ehrenfels pada tahun
1890-an berkaitan dengan sumber nilai. Meinong memandang bahwa sumber
nilai adalah perasaan (feeling), atau perkiraan atau kemungkinan adanya
kesenangan terhadap suatu obyek. Ehrenfels (juga Spinoza) melihat bahwa sumber
nilai adalah hasrat/keinginan (disire). Suatu obyek menyatu dengan nilai
melalui keinginan aktual atau yang memungkinkan, artinya suatu obyek memiliki
nilai karena ia menarik. Menurut kedua pendapat tersebut, nilai adalah milik
obyek itu sendiri-obyektivisme aksiologis.[3]
1. Persoalan Aksiologis Dalam Kehidupan Sehari-hari
Diskusi pada umumnya
menunjukkan sikap aksiologi yang ekstrim. Bila dua orang tidak sependapat
mengenai makanan atau minuman yang menyenangkan atau tidak, dan mereka gagal
untuk saling meyakinkan, diskusi pada umumnya berakhir dengan pernyataan dari
salah satu di antara kedua belah pihak bahwa dia menyenangi atau tidak
menyenangi hal itu, dan tidak seorang pun yang dapat meyakinkan lawan
bicaranya. Jika terdapat persoalan dalam sebuah diskusi di antara dua orang
terpelajar, maka akan teringat peribahasa latin yang sering diucapakan: “selera
tidak dapat diperdebatkan” (de gustibus non disputandum). Orang yang
mendukung tesis de gustibus non disputandum ingin menunjukkan satu ciri khas
nilai, yaitu sifat yang mendalam dan langsung dari penilaian.
Konflik ini merupakan yang
sangat menggelitik bagi aksiologi kontemporer. Sebenarnya, hal itu lahir
bersama aksiologi itu sendiri dan sejarah teori nilai dapat ditulis, dengan
memandang persoalan ini sebagai sumber dan dengan mensketsakan berbagai
penyelesaian yang telah dikemukakan dalam rangka menyelesaikannya. Meskipun
maknanya mungkin berbeda, persoalan tersebut telah muncul pada Plato;
shakespeare yang menempatkannya dalam Troilus and Cresida (II,2) dan Spinoza
memilih salah satu alternatif di dalam Etika-nya (III, prop.IX).[4]
2. Nilai itu Obyektif atau Subyektif?
Inti persoalan tersebut
dapat dinyatakan dengan pertanyaan berikut: apakah obyek itu memiliki nilai
karena kita mendambakannya, atau apakah kita mendambakannya karena obyek
tersebut memiliki nilai? Apakah hasrat, kenikmatan atau perhatian yang
memberikan nilai kepada suatu obyek, ataukah sebaliknya, kita mengalami
preferensi ini karena kenyataan bahwa obyek tersebut memiliki nilai yang
mendahului dan asing bagi reaksi psikologis badan organis kita? Atau, jika
orang lebih menyukai terminologi yang lebih teknis dan tradisional: apakah
nilai itu obyektif atau subyektif?
Dengan pengajuan
pertanyaan seperti itu, sebelumnya diperlukan penjelasan istilah untuk
menghindarkan diri agar tidak terjebak ke dalam disputatio de nominem. Nilai
itu “obyektif” jika ia tidak tergantung pada subyek atau kesadaran yang
menilai; sebaliknya nilai itu “subyektif” jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya
tergantung pada reaksi subyek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan
apakah ini bersifat psikis ataupun fisis.[5]
a) Obyektivisme atau Realisme Aksiologi
Nilai, norma, ideal dan
sebagainya merupakan unsur atau berada dalam obyek atau berada pada realitas
obyektif (kata Alexander); atau ia dianggap berasal dari suatu obyek melalui
ketertarikan (kata Spinoza). Penetapan sebuah nilai memiliki makna, yakni benar
atau salah, meskipun nilai itu tidak dapat diverifikasi, yakni tidak dapat
dijelaskan melalui suatu istilah tertentu. Nilai berada dalam suatu obyek seperti
halnya warna atau suhu. Nilai terletak dalam realitas. Bahwa nilai-nilai –
seperti kebaikan, kebenaran, keindahan -
ada dalam dunia nyata dan dapat ditemukan sebagai entitas-entitas,
kualitas-kualitas, atau hubungan-hubungan seperti meja, merah.
Juga pandangan bahwa
niali-nilai adalah obyektif, dalam arti bahwa nilai-nilai itu dapat didukung
oleh argumentasi cermat dan rasional konsisten sebagai yang terbaik dalam
situasi itu. Pendukung obyektivisme aksiologis mencakup Plato, Aristoteles, St.
Thomas Aquinas, Maritain, Rotce, Urban, Bosanquet, Whitehead, Joad, Spauling,
Alexander, dan lain-lain.[6]
b) Subyektivisme Aksiologis
Teori-teori berkaitan
dengan pandangan ini mereduksi penentuan nilai-nilai, seperti kebaikan,
kebenaran, keindahan ke dalam statmen yang berkaitan dengan sikap mental
terhadap suatu obyek atau situasi. Penentuan nilai sejalan dengan pernyataan
setuju atau tidak. Nilai memiliki realitas hanya sebagai suatu keadaan pikiran
terhadap suatu obyek.
Subyektivisme aksiologis
cenderung mengabsahkan teori etika yang disebut hedonisme, sebuah teori yang
menyatakan kebahagiaan sebagai kriteria nilai, dan naturalisme yang meyakini
bahwa suatu nilai dapat direduksi ke dalam suatu pernyataan psikologis. Nilai
tergantung dengan pengalaman manusia tentangnya; nilai tidak memiliki realitas
yang independen (relativisme aksiologis). Yang termasuk pendukung
subyektivisme aksiologis adalah Hume, Perry, Prall, Parker, Santayana, Sartre,
dan lain-lain.[7]
Suatu nilai dikatakan absolute atau abadi, apabila nilai yang berlaku sekarang
sudah berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku serta abasah sepanjang masa,
serta akan berlaku bagi siapapun tanpa memperhatikan ras, maupun kelas social.
Dipihak lain ada yang beranggapan bahwa semua nilai relative sesuai dengan
keinginan atau harapan manusia.[8]
3. Relasionisme Aksiologis
Nilai tidak bersifat
privat (subyektif), tetapi bersifat publik, meskipun tidak bersifat obyektif
dalam arti tidak terlepas dari berbagai kepentingan. Penganjur relasionisme
aksiologis di antaranya Dewey, Pepper, Ducasse, Lepley, dan lain-lain.[9]
4. Nominalisme atau Skeptisisme (Emotivisme Aksiologis)
Teori-teori yang
didasarkan pada pandangan ini mengatakan bahwa penentuan nilai adalah ekspresi
emosi atau usaha untuk membujuk. Yang semuanya tidak faktual. Ilmu tentang
nilai – aksiologi – adalah mustahil. Ajaran G. E. Moore tentang kebahagiaan
yang tidak dapat dijelaskan. Tetapi kebaikan mungkin saja secara faktual
diletakkan pada suatu tindakan atau suatu obyek, walaupun bersifat intuitif dan
tidak dapat diverifikasi.
I. A. Richard membedakan
antara makna faktual dan makna emotif. Catatan sejarah menyebutkan asal mula
emotivisme, yaitu berasal dari logika positivisme: bahwa nilai adalah sesuatu
yang tidak dapat dijelaskan dan bersifat emotif, meski memiliki makna secara
faktual. Nilai sama sekali tidak dapat digambarkan sebagai keadaan suatu
subyek, obyek ataupun sebagai hubungan. Pendukung emotivisme antara lain:
Nietzsche, Ayer, Russel, Stevenson, Schlick, Carnap, dan lain-lain.[10]
5. Nilai dan Kebaikan
Sebelum masa Rudolf H.
Lotze (1817-1881) para filsuf hanya kadang-kadang saja membicarakan tentang
nilai. Sehubungan dengan nilai, sesungguhnya filsafat selalu bergelut
dengannya, tetapi di bawah aspek baik dan kebaikannya (bonum et bonitas).
Filsafat nilai pada zaman modern (Max Scheler) yang bermula dari Lotze membuat
pembedaan tajam antara nilai dan kebaikan. Karena nilai-nilai dalam arti ini
dipikirkan sebagai ide-ide dari dunia lain yang dapat diperkenalkan kepada
dunia nyata dengan peralatan manusia, pandangan ini pantas dinamakan teori
“idealisme nilai”. Lawan idealisme nilai adalah realisme nilai
atau lebih baik, metafisika nilai, yang mengatasi pemisahan nilai dari
yang ada (al-mawjud).[11]
6. Nilai dan Persepsi
Ciri khusus dari
persepsi-nilai kita tergantung pada sifat hakiki nilai itu sendiri. Kalau nilai
terpisah dari eksistensi, nilai sama sekali tidak dapat dimasuki oleh akal
manusiawi yang tertuju pada eksistensi. Karena nilai itu menampakkan dirinya
hanya kepada perasaan emosional, akibatnya terdapat sejenis irasionalisme-nilai.
Lawan irasionalisme-nilai adalah rasionalisme-nilai yang mereduksikan
ciri khusus nilai pada eksistensinya saja. Di antara kedua ekstrim ini terdapat
hal seperti persepsi intelektual terhadap nilai. Karena persepsi-nilai
intelektual selalu dikondisikan oleh emosi dan hasrat.[12]
Terdapat
beberapa pandangan yang berkaitan dengan tingkatan/hierarki nilai :
1. Kaum Idealis
Mereka berpandangan secara pasti terhadap tingkatan nilai, dimana nilai spiritual lebih tinggi daripada nilai non spiritual (nilai material).
2. Kaum Realis
Mereka menempatkan nilai rasional dan empiris pada tingkatan atas, sebab membantu manusia menemukan realitas objektif, hukum-hukum alam dan aturan berfikir logis.
3. Kaum Pragmatis
Menurut mereka, suatu aktifitas dikatakan baik seperti yang lainnya, apabila memuaskan kebutuhan yang penting, dan memiliki nilai instrumental. Mereka sangat sensitive terhadap nilai-nilai yang menghargai masyarakat.[13]
1. Kaum Idealis
Mereka berpandangan secara pasti terhadap tingkatan nilai, dimana nilai spiritual lebih tinggi daripada nilai non spiritual (nilai material).
2. Kaum Realis
Mereka menempatkan nilai rasional dan empiris pada tingkatan atas, sebab membantu manusia menemukan realitas objektif, hukum-hukum alam dan aturan berfikir logis.
3. Kaum Pragmatis
Menurut mereka, suatu aktifitas dikatakan baik seperti yang lainnya, apabila memuaskan kebutuhan yang penting, dan memiliki nilai instrumental. Mereka sangat sensitive terhadap nilai-nilai yang menghargai masyarakat.[13]
Macam-macam nilai:
1. Nilai Instrumental, mempunyai beberapa pengertian:
a. Nilai yang dimiliki suatu hal dalam menghasilkan akibat-akibat
atau hasil-hasil yang diinginkan.
b. Suatu nilai yang dikenakan pada sesuatu yang digunakan sebagai
alat memperoleh sesuatu yang diinginkan atau dapat diinginkan.[14]
2. Nilai Utilitarian, beberapa pengertian:
a. Nilai yang dipunyai oleh suatu hal yang berguna bagi pemenuhan
sebuah tujuan.
b. Nilai yang dimiliki suatu hal dalam memajukan kebaikan terbesar
dari jumlah besar.[15]
BAB III
KESIMPULAN
Filsafat nilai atau aksiologi merupakan studi
yang menyangkut teori umum tentang nilai atau suatu studi yang menyangkut
segala yang bernilai. Di samping itu aksiologi berhubungan dengan etika dan
estetika, baik nilai itu sesuatu yang bersifat subyektif maupun obyektif. Tujuan
nilai adalah untuk mengetahui apakah sesuatu itu baik atau buruk, suka atau
tidak suka, senang atau tidak senang dan lain sebagainya. Sehingga dengan
mengetahui nilai maka tercapailah apa yang menjadi tujuan manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad
Faruk, Filsafat Umum, Ponorogo: STAIN PO Press, 2009.
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2002.
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Alih Bahasa
Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996.
Risieri Frondizi, Filsafat Nilai, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001.
Uyoh Sadulloh, op cit.
EmoticonEmoticon