Saturday, December 14, 2013

Sejarah pertumbuhan dan perkembangan tauhid

BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang.
Tauhid adalah permulaan aqidah bagi umat Islam yang terpenting, yaitu meyakini akan Keesaan Allah SWT. Tauhid adalah awal dari dakwah Rasul kapada kaumnya, sejak dari nabi pertama Adam as. sampai nabi terakhir Nabi Muhammad SAW. tauhid adalah sebagai jalan pertama dan tempat pertama bagi orang yang menuju Allah Ta’ala.
Kita sebagai umat Islam sangatlah perlu mengetahui berbagai macam ilmu agama, seperti Ilmu Tauhid yang bisa disebut juga dengan Aqidah, Ilmu Kalam dan Ilmu Ushuluddin. Dan disini kita akan membahas tentang sejarah pertumbuhan dan perkembangan Ilmu Tauhid dari masa kemasa, sehingga pemuda Islam dapat mengetahui sejarahnya.

  1. Rumusan Masalah.
1.      Bagaimanakah sejarah lahirnya Ilmu Tauhid?
2.      Bagaimanakah sejarah ketauhidan dari masa kemasa?
3.      Apa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan Ilmu Tauhid menjadi Ilmu Kalam?
4.      Bagaimanakah sistem mutakallimin dalam membahas permasalahan-permasalahan Islam?

BAB II
PEMBAHASAN
  1. Lahirnya Ilmu Tauhid.
Ilmu tauhid berawal dari suatu peristiwa seperti yang dijelaskan pada hadits berikut ini:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا أَبُو حَيَّانَ التَّيْمِيُّ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَارِزًا يَوْمًا لِلنَّاسِ فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ مَا الْإِيمَانُ قَالَ الْإِيمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَبِلِقَائِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ[1]
Pada suatu hari Nabi SAW muncul atau tampak dikalangan orang-orang ketika itu datang kepadanya malaikat Jibril menjelma menjadi seorang laki-laki yang putih bajunya, rambutnya hitam, tak ada tanda-tanda dia seorang musafir, dan tak ada yang mengenalnya. Lantas duduk didekat Nabi dan lututnya dekat dengan lutut Nabi, serta tangannya diletakkan dipaha Nabi SAW, dan bertanya kepada Nabi:”Apakah yang disebut iman?” Maka Nabi berkata: “Iman adalah percaya kepada Allah dan kepada malaikat-Nya dan kepada Kitab-kitab-Nya dan kepada Rasul-Rasul-Nya dan percaya kepada kepada Qadar baik dan buruknya. Dan laki-laki itu berkata: “Benarlah engkau.”[2]

  1. Ketauhidan Dari Masa Kemasa.
a)      Tauhid pada masa Rasulullah.
Periode pertama ialah periode Makah dimana Nabi SAW menyeru kepada kaumnya selama tiga tahun secara individu kepada tauhid. Nabi SAW menghadapkan pandangan kaumnya kepada alam dan Penciptanya. Sesudah tiga tahun lamanya barulah Nabi SAW mendapat wahyu untuk mendakwahkan agama secara terang-terangan di hadapan umum. Allah berfirman:
÷íyô¹$$sù $yJÎ/ ãtB÷sè? óÚ̍ôãr&ur Ç`tã tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# ÇÒÍÈ    
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (Q.S. Al Hijr: 94)[3]
Tiga belas tahun lamanya Nabi SAW menanamkan tauhid dan aqidah ke dalam jiwa umat, karena aqidah adalah dasar tegaknya bangunan agama. Hanya sedikit saja hukum-hukum yang disyari’atkan dalam periode Makkah ini. Dan Al Qur’an yang diturunkan dalam periode inipun kurang dari 2/3 jumlah seluruhnya. Karena itu dalam surat Makkiyah tidak terdapat ayat-ayat hukum seperti surat Yunus, Ar Ra’du, Ya Sin dan Al Furqan. Kebanyakan ayat-ayat Makkiyah adalah berisikan hal-hal yang mengenai aqidah kepercayaan, akhlaq dan sejarah.
Pada periode kedua ialah di Madinah, yakni masa Nabi telah berhijrah ke Madinah, dan Nabi menetap di Madinah selama 10 tahun dari mulai Hijrah sampai wafatnya.
Dalam masa inilah umat Islam berkembang dengan pesatnya dan pengikutnya terus menerus bertambah. Mulailah Nabi membentuk suatu masyarakat Islam yang menpunyai souvereignity yang gilang gemilang. Karena itu timbullah keperluan untuk mengadakan syariat dan peraturan-peraturan, karena masyarakat membutuhkannya, untuk mengatur perhubungan antara anggota masyarakat satu dengan lainnya, baik dalam masa damai atau perang.
Karena itulah surat-surat Madaniyah, seperti surat Al Baqarah, Ali Imran, An Nisa’, Al Maidah, Al Anfal, At Taubah, An Nur, Al Ahzab, banyak mengandung ayat-ayat hukum di samping mengandung ayat-ayat aqidah, akhlak, sejarah dan lain-lain.[4]
b)      Tauhid pada masa Khulafa al-Rasyidin.
Upaya Nabi dalam berjihad dan aktif mengembangkan masyarakat yang baru dibentuknya di pusat kota Madinah diteruskan oleh para penggantinya, yaitu Khulafa’ al-Rasyidin yang memandang posisi dan jabatan kenegaraan sebagai medan paling mulia untuk beramal saleh demi kejayaan agama dan umat manusia, bukan untuk kepentingan pribadi dan golongan ataupun keluarga. Kepentingan agama dan umat manusia di atas segalanya. Dan lebih utama lagi pada periode Madinah ini (Nabi dan Khulafa’ al-Rasyidin) dijiwai oleh ajaran Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah, sehingga Al Qur’an dikaji secara langsung dan dihayati, maka pemikiran dan pengamalan Islam berkembang secara harmonis, yakni terjadinya perkembangan secara serentak antara iman, Islam dan ihsan. Iman memancarkan cahaya Islam dan ihsan secara bersama. Pengamalan Islam dilandasi oleh keyaqinan agama dan pancaran moralitas Islam (ihsan). Namun setelah pemerintahan pindah ke Damaskus, Cordova, kemudian Bagdad terjadi perkembangan pemikiran Islam yang berat sebelah, yaitu mulai tumbuh pemikiran murni yang melepaskan diri dari perasaan keagamaan ke arah pengutamaan legalisme dan formalisme yang memunculkan Ilmu Kalam dan Fiqh. Sehingga pemahaman agama berubah menjadi “parsial”. Mungkin orang mengetahui Fiqh, namun tidak mengetahui Ilmu Kalam, Tasawuf, atau sebaliknya.[5]
c)      Tauhid pada masa Bani Umaiyah.
Mulai pemerintahan Mu’awiyah hingga awal abad kedua hijriyah adalah masa sahabat kecil dan tabi’in besar. Masa ini dimulai dari tahun jamaah, yakni tahun 41 H yang pada tahun ini umat Islam bersatu (kecuali Khawarij dan Syi’ah) untuk mengakui khalifah Mu’awiyah, setelah Hasan dengan ikhlas turun dari pewaris tahta kekhalifahan, dengan demikian tegaklah Daulah Umawiyah, Bani Umayyah.[6]
Pada masa ini muncul ide untuk membukukan hadits yang sebenarnya telah menjadi pikiran Umar ibn Khattab diwaktu beliau memegang kendali khalifah. Akan tetapi beliau tidak melaksanakan ide itu. Pada masa ini pembukuan hadits oleh Umar ibn Abdul Aziz (101 H) dimulai. Ini disebabkan karena pada masa beliau ini banyak tersebar hadits-hadits maudlu’ sedang para sahabat dan para tabiin telah tersebar keberbagai kota Islam. Maka pada masa akhir pemerintahannya kira-kira 1 tahun sebelum beliau wafat, timbullah ide mengumpulkan Al Hadits dalam sebuah kitab dan membagi naskah-naskah kitab itu keberbagai kota Islam, agar dapat dihindari perselisihan atau anggapan mengecilkannya.
Beliau menyuruh Abu Bakar ibn Ham, gubernur Madinah untuk melaksanakan cita-citanya itu. Beliau berkata:
اُنْظُرْ مَا كاَنَ مِنْ حَدِيْثِ رَسُوْلُ اللهِ ص م أَوْ سُنَّتِهِ فَاكْتُبْهُ فَاِنِّى خِفْتُ دُرُوْسَ الْعِلْمِ وَذِهَابَ الْعُلَمَاءِ
“ Perhatikan hadits-hadits Rasulullah atau sunnahnya lalu tuliskanlah karena aku khawatir akan hilangnya ilmu dan meninggalnya para ulama’.”  
Akan tetapi sebelum ide ini dapat dilaksanakan dengan baik, beliau telah kembali ke rahmatullah. Khalifah-khalifah penggantinya tidak meneruskan ide ini.[7]
Lalu pada masa ini muncul kelompok-kelompok Islam dan madzhab kalamiyah. Salah satu faktor munculnya kelompok-kelompok Islam dan madzhab kalamiyah adalah gerakan penerjemahan. Sesungguhnya tarjamah mempunyai pengaruh yang besar dalam menyebarkan pemikiran filsafat pada seperempat pemerintahan Islam. Dan dari gerakan tarjamah lalu muncul kelompok-kelompok Islam yang terpengaruh oleh filsafat yang masuk ke dalam Islam.
Gerakan tarjamah dimulai pada zaman Raja Mubakir oleh orang-orang ahli tarjamah dari negara Nasroni yang didatangkan oleh Kholid ibn Yazid ibn Mu’awiyah yang terjadi pada seperempat kurun pertama hijriyah. Lalu tarjamah berlangsung dan terus menjadi bentuk yang tidak disusun sampai zaman Bani Abbasiyah yang mungkin memperhatikan tarjamah.[8]
d)      Tauhid pada masa bani Abbasiyah
Khalifah-khalifah Abbasiyah yang bertindak atas nama agama dan untuk agama, menganjurkan kepada para ulama’ supaya menyusun kitab. Karena itu bergeraklah para ulama mengumpulkan hadits, membahas sanadnya, meneliti riwayat-riwayatnya, sebagaimana mereka berusaha membukukan fiqh (hukum Islam), ushulnya, tafsir, qira’at, ilmu kalam, ilmu balaghah, falsafah dan mantiq. Dan pada ketika itu pesatlah usaha terjemah. Bahkan dimasa itu para ulama mempelajari pula agama-agama lain.[9]
Daulat Abbasiyah mengerti akan jasa-jasa dan pengorbanan yang diberikan oleh bangsa Persia dalam menegakkan kerajaan mereka dan menggulingkan kerajaan Bani Umaiyah. Untuk itu mereka menyediakan jabatan-jabatan tinggi bagi orang-orang Persia, di antaranya jabatan Mentri dan jabatan Wakil Mentri, walaupun kebanyakan orang-orang Persia itu tidak mengerti masalah-masalah agama. Di antara orang-orang Persia yang diberi kedudukan atau jabatan-jabatan tinggi itu, terdapat pengikut-pengikut madzhab al-Manawy dan Yazidiyah, serta orang-orang yang tidak menganut agama sama sekali. Dengan kedudukan dan jabatan yang mereka pegang, orang-orang Persia itu mendapat kesempatan luas dan leluasa untuk menghembuskan buah pikiran mereka, baik dangan cara halus atau terus terang, agar orang tertarik dengan buah pikiran mereka, dan kemudian mengekor kepadanya. Akibatnya lahirlah kekafiran dan muncullah tokoh-tokoh kaum zindik (sesat), hingga datang pula Khalifah al-Mansur, yang memerintahkan supaya menerbitkan buku-buku baru guna membukakan tabir kegelapan itu dan membatalkan segala pendapat yang diindoktrinasikan selama ini.
Sekitar masa inilah tumbuhlah Ilmu Tauhid, tetapi belum begitu sempurna berkembang dan belum begitu tinggi mutunya. Dan mulailah pembicaraan tentang Ilmu Kalam, yakni dengan menghubungkannya dengan pokok pemikiran tentang kejadian alam, sesuai dengan ketentuan Al Qur’an tentang hal itu. Kemudian timbullah masalah yang menimbulkan bencana (fitnah), yaitu masalah tentang kejadian Al Qur’an. Apakah Al Qur’an itu makhluk atau barang yang azali yang tidak ada permulaan.
Pendirian yang pertama dikuatkan oleh segolongan dari khalifah-khalifah Abbasiyah (Al Makmun dan Muktazilah), sedang keyakinan yang kedua, yakni yang mengatakan bahwa Al Qur’an itu azali, dipegang teguh oleh kelompok-kelompok yang bersandar kepada nas-nas Al Qur’an dan Sunnah Rasul, atau oleh mereka yang menjaga dirinya untuk berbicara tentang hal-hal yang mugkin membawa bid’ah (termasuk Imam Ahmad Ibn Hambal). Oleh karena perbedaan pendapat yang seperti itu, mengalir pulalah darah dengan cara yang tidak wajar dan banyak pulalah ahli-ahli ilmu dan orang-orang yang takwa mendapat bencana. Begitulah keadaannya, orang-orang melanggar batas-batas agama dengan memakai nama agama itu sendiri.[10]
e)      Tauhid pasca Bani Abbasiyah
Pada khalifah Al Mutawakkil (234 H) membatalkan pernyataan bahwa Al Qur’an adalah makhluk dan melawan muktazilah. Maka terbebaslah para ahli Hadits, para ulama dan umat Islam dari penyiksaan yang dilakukan oleh khalifah Al Makmun dan Muktazilah. Lalu pada tahun 334 H muncullah Aqidah Al Asy’ariyah yang dipeloori oleh Abu Hasan Al Asy’ari.
Secara historis dapat diketahui bahwa kaum Hanbaliah merupakan kelompok yang paling keras menolak kehadiran ilmu kalam (Teologi) dalam sistem ajaran Islam.
Pada umumnya kaum Hanbaliah melihat problematika ilmu kalam (teologi) yang terpenting adalah terletak pada metode argumentasinya yang tidak sesuai dengan tuntutan Al-Qur’an dan Sunnah karena menggunakan metode dialektis dan rasional, yang pada dasarnya pinjaman dari luar, khususnya filsafat Yunani.
Pandangan ini disanggah oleh kaum Mutakallimin, terutama oleh Al-Asy’ari. Menurut al-Asy’ari, Nabi Muhamamd memang tidak merumuskan ilmu kalam (teologi), tetapi dasar-dasar pemikiran dalam ilmu kalam (teologi) yang dikembangkan kaum Mutakallimin terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Kaum Mutakallimin mempunyai pandangan bahwa metode dan teori rasional-lah yang dapat menghasilkan pengetahuan yang benar, oleh karena itu mempelajarinya merupakan suatu keharusan (wajib). Pandangan dan anggapan inilah, kata Ibnu Taimiyyah yang membuat kaum Mutakallimin mengklaim bahwa metode kalam yang mereka sodorkan adalah satu-satunya metode yang absah, tepat untuk menjelaskan ushul al-din, dan oleh karena itu pula mereka menganggap ilmu kalam (teologi) yang mereka kembangkan menempati posisi penting dalam sistem ajaran Islam.

C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ilmu Tauhid Menjadi Ilmu Kalam.
Ilmu Tauhid dinamakan juga dengan Ilmu Kalam karena adakalanya masalah yang paling mashur dan banyak menimbulkan pebedaan pendapat di antara ulama-ulama kurun pertama, yaitu: “apakah Kalam Allah (wahyu) yang dibacakan itu baru atau kadim?”. Dan adakalanya karena Ilmu Tauhid itu dibina oleh dalil akal (rasio), di mana bekasnya nyata kelihatan dari perkataan setiap para ahli yang turut berbicara tentang ilu itu. Namun begitu amat sedikit sekali orang yang mendasarkan pendapatnya kepada dalil naqal (Al Qur’an dan Sunnah Rasul), kecuali setelah ada ketetapan pokok pertama ilmu itu, kemudian orang berpindah dari sana kepada membicarakan masalah yang lebih menyerupai cabang (furu’), sekalipun cabang itu oleh orang yang datang kemudian telah dianggap pula sebagai suatu masalah pokok.
Di samping itu ada pula suatu sebab lain yang menyebabkan Ilmu Tauhid dinamakan dengan Ilmu Kalam, ialah karena dalam memberikan dalil tentang pokok (usul) agama lebih menyerupai logika (mantiq), sebagaimana yang biasa dilalui oleh para ahli pikir dalam menjelaskan seluk beluk hujjah tentang pendiriannya. Kemudian diganti orang Mantiq dengan Ilmu Kalam, karena pada hakikatnya adalah berbeda.[11]

D.  Sistem Mutakallimin Dalam Membahas Permasalahan Islam.
Dalam membahas masalah metode berfikir keislaman, harus berpangkal dari awal perkembangan Islam itu sendiri, sehingga dapat memberikan gambaran dibandingkan dengan masa-masa sesudahnya yang senantiasa timbul permasalahan baru yang belum terdapat masa Nabi Muhammad SAW masih hidup.
Ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, jika timbul permasalahan baik soal ibadah maupun sosial, langsung dapat dinyatakan kepada Nabi tentang cara mengatasi dan menyelesaikannya. Dalam keadaan demikian biasanya turun wahyu, jika tidak turun wahyu Nabi menyelesaikannya dengan pendapatnya, dan kadang dimusyawarahkan dengan para sahabatbya.
Setelah Nabi wafat, jika timbul permasalahan baru, maka para sahabat yang menjadi panutan umat mencari penyelesaian dalam Al Qur’an dan Hadits yang memiliki otoritas dan menjadi pegangan kaum muslimin.
Apabila dalam Al Qur’an ataupun Hadits tidak ditemukan penyelesaiannya maka maka sahabat melakukan ijtihad. Ijtihad pada masa Nabi memang belum berkembang, namun Nabi tidak melarang atas jawaban Mu’adz ibn Jabal ketika akan diutus ke Yaman untuk memberikan hukum yang mengatakan dengan ijtihad (ajtahidu bi al-ra’yu) jika tidak ditemukan dalam Al Qur’an maupun Hadits. Hal ini menunjukkan jawaban atas berbagai masalah yang timbul sesuai dengan kondisi dan situasi yang berkembang merupakan tuntutan agama, termasuk dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan. Bahkan dalam ayat-ayat Al Qur’an sering menggunakan ungkapan “apakah kamu tidak berfikir?”, “apakah kamu tidak berakal?”, “apakah kamu tidak memperhatikan?”, dan sebagainya.
Masalah ijtihad, mulai berkembang dan sangat diperlukan pada masa Khulafa al-Rasyidin, seperti pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah pertama pengganti Nabi, juga ketika Abu Bakar memutuskan untuk memerangi umat Islam yang tidak mau membayar zakat, Umar ketika memutuskan tidak memotong tangan bagi seorang pencuri dan sebagainya. Kemudian pada masa pemerintahan Bani Umayyah, karena adanya kebutuhan-kebutuhan riil untuk mengatasi persoalan-persoalan umat makin menyuburkan perkembangan ijtihad dan lebih subur lagi pada zaman kebesaran Bani Abbasiyah dengan ibu kota kerajaannya di Baghdad. Bahkan di kerajaan Islam di wilayah barat, yaitu Cordova juga menjadi pusat munculnya ulama mujtahid sebagaimana di Baghdad.
Maka apabila timbul permasalahan di kalangan kaum muslimin, baik permasalahan ibadah maupun sosial, mereka menyelesaikannya berdasarkan Al Qur’an dan Hadits. Tetapi apabila penyelesaiannya tidak terdapat pada kedua sumber itu, maka mereka menggunakan ra’yu (ijtihad).[12]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan.
Sejarah lahirnya Ilmu Tauhid dari zaman Nabi Adam as. sampai pada Nabi Muhammad adalah ilmu yang berisi tentang keesaan Allah SWT. Ilmu Tauhid bersumber dari Al Qur’an dan Hadits sebagai rujukan bila terjadi permasalahan terjadi persoalan pada umat Islam.
            Dalam mempelajari sejarah Ilmu Tauhid ini kita tidak hanya membahas Ilmu Tauhid saja, karena sesungguhnya Ilmu Tauhid adalah cabang ilmu dari Syara’, yang mencakup Aqidah, Ahkam dan Akhlaq. Maka untuk mengetahui perkembangan Ilmu Tauhid kita juga harus mempelajari sejarah perkembangan Syara’ agar tidak menemui sejarah yang buntu.

DAFTAR PUSTAKA

H. Ghazali Munir M.A. Dr., Ilmu Kalam Pemikiran dan Kehidupan, Semarang:  Rasail, 2008.
Syekh Muhammad Abduh, terjemah K.H. Firdaus A.N., Risalah Tauhid, Jakarta:  Bulan Bintang, 1992.
M. hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang, 1987.
……, Al ‘Aqidah Wal Akhlaq 3, Departemen Agama RI, 1998-1999.
Syekh Imam Khafid Abu Abdillah Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn Al Mughirah Al  Bukhari, Fathul Bari Li Ibn Hajar (Maktabah Syamilah).
H. Abu Bakar J. Seluk Beluk Agama 1, Medan: Saiful, 1971




        [1]  Syekh Imam Khafid Abu Abdillah Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn Al Mughirah Al  Bukhari, Fathul Bari Li Ibn Hajar, hlm. 87.
        [2]  H. Abu Bakar J. Seluk Beluk Agama 1,(Medan: Saiful, 1971), hlm. 7.
       [3] M. hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hlm. 39.
       [4] M. hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hlm. 34-35.
       [5] Dr. H. Ghazali Munir M.A., Ilmu Kalam Pemikiran dan Kehidupan (Semarang: Rasail, 2008), hlm. 8.
       [6] Ibid, hlm.53.
       [7] M. hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hlm. 140-141
       [8] ……, Al ‘Aqidah Wal Akhlaq 3 (Departemen Agama RI, 1998-1999), hlm. 18.
       [9] ibid, hlm. 141.
       [10] Syekh Muhammad Abduh, terjemah K.H. Firdaus A.N., Risalah Tauhid (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 11-12.
[11] Syekh Muhammad Abduh, terjemah K.H. Firdaus A.N., Risalah Tauhid (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 3-4.

[12] Dr. H. Ghazali Munir M.A., Ilmu Kalam Pemikiran dan Kehidupan (Semarang: Rasail, 2008), hlm. 8. 


EmoticonEmoticon