PENDAHULUAN
- Latar
Belakang.
Tauhid adalah
permulaan aqidah bagi umat Islam yang terpenting, yaitu meyakini akan Keesaan
Allah SWT. Tauhid adalah awal dari dakwah Rasul kapada kaumnya, sejak dari nabi
pertama Adam as. sampai nabi terakhir Nabi Muhammad SAW. tauhid adalah sebagai
jalan pertama dan tempat pertama bagi orang yang menuju Allah Ta’ala.
Kita sebagai
umat Islam sangatlah perlu mengetahui berbagai macam ilmu agama, seperti Ilmu
Tauhid yang bisa disebut juga dengan Aqidah, Ilmu Kalam dan Ilmu Ushuluddin.
Dan disini kita akan membahas tentang sejarah pertumbuhan dan perkembangan Ilmu
Tauhid dari masa kemasa, sehingga pemuda Islam dapat mengetahui sejarahnya.
- Rumusan
Masalah.
1. Bagaimanakah sejarah lahirnya Ilmu
Tauhid?
2. Bagaimanakah sejarah ketauhidan dari
masa kemasa?
3. Apa faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan Ilmu Tauhid menjadi Ilmu Kalam?
4. Bagaimanakah sistem mutakallimin dalam
membahas permasalahan-permasalahan Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
- Lahirnya
Ilmu Tauhid.
Ilmu tauhid
berawal dari suatu peristiwa seperti yang dijelaskan pada hadits berikut ini:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا أَبُو حَيَّانَ التَّيْمِيُّ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَارِزًا
يَوْمًا لِلنَّاسِ فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ مَا الْإِيمَانُ قَالَ
الْإِيمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَبِلِقَائِهِ
وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ[1]
Pada suatu hari
Nabi SAW muncul atau tampak dikalangan orang-orang ketika itu datang kepadanya
malaikat Jibril menjelma menjadi seorang laki-laki yang putih bajunya,
rambutnya hitam, tak ada tanda-tanda dia seorang musafir, dan tak ada yang
mengenalnya. Lantas duduk didekat Nabi dan lututnya dekat dengan lutut Nabi,
serta tangannya diletakkan dipaha Nabi SAW, dan bertanya kepada Nabi:”Apakah
yang disebut iman?” Maka Nabi berkata: “Iman adalah percaya kepada Allah dan
kepada malaikat-Nya dan kepada Kitab-kitab-Nya dan kepada Rasul-Rasul-Nya dan
percaya kepada kepada Qadar baik dan buruknya. Dan laki-laki itu berkata:
“Benarlah engkau.”[2]
- Ketauhidan
Dari Masa Kemasa.
a) Tauhid pada masa Rasulullah.
Periode pertama
ialah periode Makah dimana Nabi SAW menyeru kepada kaumnya selama tiga tahun
secara individu kepada tauhid. Nabi SAW menghadapkan pandangan kaumnya
kepada alam dan Penciptanya. Sesudah tiga tahun lamanya barulah Nabi SAW mendapat
wahyu untuk mendakwahkan agama secara terang-terangan di hadapan umum. Allah
berfirman:
÷íyô¹$$sù $yJÎ/ ãtB÷sè? óÚÌôãr&ur Ç`tã tûüÏ.Îô³ßJø9$# ÇÒÍÈ
“Maka sampaikanlah olehmu secara
terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari
orang-orang yang musyrik.” (Q.S. Al Hijr: 94)[3]
Tiga belas tahun
lamanya Nabi SAW menanamkan tauhid dan aqidah ke dalam jiwa umat, karena aqidah
adalah dasar tegaknya bangunan agama. Hanya sedikit saja hukum-hukum yang
disyari’atkan dalam periode Makkah ini. Dan Al Qur’an yang diturunkan dalam
periode inipun kurang dari 2/3 jumlah seluruhnya. Karena itu dalam surat
Makkiyah tidak terdapat ayat-ayat hukum seperti surat Yunus, Ar Ra’du, Ya Sin
dan Al Furqan. Kebanyakan ayat-ayat Makkiyah adalah berisikan hal-hal yang
mengenai aqidah kepercayaan, akhlaq dan sejarah.
Pada periode
kedua ialah di Madinah, yakni masa Nabi telah berhijrah ke Madinah, dan Nabi
menetap di Madinah selama 10 tahun dari mulai Hijrah sampai wafatnya.
Dalam masa
inilah umat Islam berkembang dengan pesatnya dan pengikutnya terus menerus bertambah.
Mulailah Nabi membentuk suatu masyarakat Islam yang menpunyai souvereignity
yang gilang gemilang. Karena itu timbullah keperluan untuk mengadakan syariat
dan peraturan-peraturan, karena masyarakat membutuhkannya, untuk mengatur
perhubungan antara anggota masyarakat satu dengan lainnya, baik dalam masa
damai atau perang.
Karena itulah
surat-surat Madaniyah, seperti surat Al Baqarah, Ali Imran, An Nisa’, Al
Maidah, Al Anfal, At Taubah, An Nur, Al Ahzab, banyak mengandung ayat-ayat
hukum di samping mengandung ayat-ayat aqidah, akhlak, sejarah dan lain-lain.[4]
b) Tauhid pada masa Khulafa al-Rasyidin.
Upaya Nabi dalam
berjihad dan aktif mengembangkan masyarakat yang baru dibentuknya di pusat kota
Madinah diteruskan oleh para penggantinya, yaitu Khulafa’ al-Rasyidin yang
memandang posisi dan jabatan kenegaraan sebagai medan paling mulia untuk
beramal saleh demi kejayaan agama dan umat manusia, bukan untuk kepentingan
pribadi dan golongan ataupun keluarga. Kepentingan agama dan umat manusia di
atas segalanya. Dan lebih utama lagi pada periode Madinah ini (Nabi dan
Khulafa’ al-Rasyidin) dijiwai oleh ajaran Islam yang bersumber dari Al Qur’an
dan Sunnah, sehingga Al Qur’an dikaji secara langsung dan dihayati, maka
pemikiran dan pengamalan Islam berkembang secara harmonis, yakni terjadinya
perkembangan secara serentak antara iman, Islam dan ihsan. Iman memancarkan
cahaya Islam dan ihsan secara bersama. Pengamalan Islam dilandasi oleh
keyaqinan agama dan pancaran moralitas Islam (ihsan). Namun setelah
pemerintahan pindah ke Damaskus, Cordova, kemudian Bagdad terjadi perkembangan
pemikiran Islam yang berat sebelah, yaitu mulai tumbuh pemikiran murni yang
melepaskan diri dari perasaan keagamaan ke arah pengutamaan legalisme dan
formalisme yang memunculkan Ilmu Kalam dan Fiqh. Sehingga pemahaman agama
berubah menjadi “parsial”. Mungkin orang mengetahui Fiqh, namun tidak
mengetahui Ilmu Kalam, Tasawuf, atau sebaliknya.[5]
c) Tauhid pada masa Bani Umaiyah.
Mulai
pemerintahan Mu’awiyah hingga awal abad kedua hijriyah adalah masa sahabat
kecil dan tabi’in besar. Masa ini dimulai dari tahun jamaah, yakni tahun 41 H
yang pada tahun ini umat Islam bersatu (kecuali Khawarij dan Syi’ah) untuk
mengakui khalifah Mu’awiyah, setelah Hasan dengan ikhlas turun dari pewaris
tahta kekhalifahan, dengan demikian tegaklah Daulah Umawiyah, Bani Umayyah.[6]
Pada masa ini
muncul ide untuk membukukan hadits yang sebenarnya telah menjadi pikiran Umar
ibn Khattab diwaktu beliau memegang kendali khalifah. Akan tetapi beliau tidak
melaksanakan ide itu. Pada masa ini pembukuan hadits oleh Umar ibn Abdul Aziz
(101 H) dimulai. Ini disebabkan karena pada masa beliau ini banyak tersebar
hadits-hadits maudlu’ sedang para sahabat dan para tabiin telah tersebar
keberbagai kota Islam. Maka pada masa akhir pemerintahannya kira-kira 1 tahun
sebelum beliau wafat, timbullah ide mengumpulkan Al Hadits dalam sebuah kitab
dan membagi naskah-naskah kitab itu keberbagai kota Islam, agar dapat dihindari
perselisihan atau anggapan mengecilkannya.
Beliau menyuruh
Abu Bakar ibn Ham, gubernur Madinah untuk melaksanakan cita-citanya itu. Beliau
berkata:
اُنْظُرْ مَا كاَنَ مِنْ
حَدِيْثِ رَسُوْلُ اللهِ ص م أَوْ سُنَّتِهِ فَاكْتُبْهُ فَاِنِّى خِفْتُ دُرُوْسَ
الْعِلْمِ وَذِهَابَ الْعُلَمَاءِ
“ Perhatikan hadits-hadits Rasulullah atau sunnahnya lalu
tuliskanlah karena aku khawatir akan hilangnya ilmu dan meninggalnya para
ulama’.”
Akan tetapi
sebelum ide ini dapat dilaksanakan dengan baik, beliau telah kembali ke
rahmatullah. Khalifah-khalifah penggantinya tidak meneruskan ide ini.[7]
Lalu pada masa
ini muncul kelompok-kelompok Islam dan madzhab kalamiyah. Salah satu faktor
munculnya kelompok-kelompok Islam dan madzhab kalamiyah adalah gerakan
penerjemahan. Sesungguhnya tarjamah mempunyai pengaruh yang besar dalam
menyebarkan pemikiran filsafat pada seperempat pemerintahan Islam. Dan dari
gerakan tarjamah lalu muncul kelompok-kelompok Islam yang terpengaruh oleh
filsafat yang masuk ke dalam Islam.
Gerakan tarjamah
dimulai pada zaman Raja Mubakir oleh orang-orang ahli tarjamah dari negara
Nasroni yang didatangkan oleh Kholid ibn Yazid ibn Mu’awiyah yang terjadi pada
seperempat kurun pertama hijriyah. Lalu tarjamah berlangsung dan terus menjadi
bentuk yang tidak disusun sampai zaman Bani Abbasiyah yang mungkin
memperhatikan tarjamah.[8]
d) Tauhid pada masa bani Abbasiyah
Khalifah-khalifah
Abbasiyah yang bertindak atas nama agama dan untuk agama, menganjurkan kepada
para ulama’ supaya menyusun kitab. Karena itu bergeraklah para ulama
mengumpulkan hadits, membahas sanadnya, meneliti riwayat-riwayatnya,
sebagaimana mereka berusaha membukukan fiqh (hukum Islam), ushulnya, tafsir,
qira’at, ilmu kalam, ilmu balaghah, falsafah dan mantiq. Dan pada ketika itu
pesatlah usaha terjemah. Bahkan dimasa itu para ulama mempelajari pula
agama-agama lain.[9]
Daulat Abbasiyah
mengerti akan jasa-jasa dan pengorbanan yang diberikan oleh bangsa Persia dalam
menegakkan kerajaan mereka dan menggulingkan kerajaan Bani Umaiyah. Untuk itu
mereka menyediakan jabatan-jabatan tinggi bagi orang-orang Persia, di antaranya
jabatan Mentri dan jabatan Wakil Mentri, walaupun kebanyakan orang-orang Persia
itu tidak mengerti masalah-masalah agama. Di antara orang-orang Persia yang
diberi kedudukan atau jabatan-jabatan tinggi itu, terdapat pengikut-pengikut madzhab
al-Manawy dan Yazidiyah, serta orang-orang yang tidak menganut agama sama
sekali. Dengan kedudukan dan jabatan yang mereka pegang, orang-orang Persia itu
mendapat kesempatan luas dan leluasa untuk menghembuskan buah pikiran mereka,
baik dangan cara halus atau terus terang, agar orang tertarik dengan buah
pikiran mereka, dan kemudian mengekor kepadanya. Akibatnya lahirlah kekafiran
dan muncullah tokoh-tokoh kaum zindik (sesat), hingga datang pula Khalifah
al-Mansur, yang memerintahkan supaya menerbitkan buku-buku baru guna membukakan
tabir kegelapan itu dan membatalkan segala pendapat yang diindoktrinasikan
selama ini.
Sekitar masa
inilah tumbuhlah Ilmu Tauhid, tetapi belum begitu sempurna berkembang dan belum
begitu tinggi mutunya. Dan mulailah pembicaraan tentang Ilmu Kalam, yakni
dengan menghubungkannya dengan pokok pemikiran tentang kejadian alam, sesuai
dengan ketentuan Al Qur’an tentang hal itu. Kemudian timbullah masalah yang
menimbulkan bencana (fitnah), yaitu masalah tentang kejadian Al Qur’an. Apakah
Al Qur’an itu makhluk atau barang yang azali yang tidak ada permulaan.
Pendirian yang
pertama dikuatkan oleh segolongan dari khalifah-khalifah Abbasiyah (Al Makmun
dan Muktazilah), sedang keyakinan yang kedua, yakni yang mengatakan bahwa Al
Qur’an itu azali, dipegang teguh oleh kelompok-kelompok yang bersandar kepada
nas-nas Al Qur’an dan Sunnah Rasul, atau oleh mereka yang menjaga dirinya untuk
berbicara tentang hal-hal yang mugkin membawa bid’ah (termasuk Imam Ahmad Ibn
Hambal). Oleh karena perbedaan pendapat yang seperti itu, mengalir pulalah
darah dengan cara yang tidak wajar dan banyak pulalah ahli-ahli ilmu dan
orang-orang yang takwa mendapat bencana. Begitulah keadaannya, orang-orang
melanggar batas-batas agama dengan memakai nama agama itu sendiri.[10]
e) Tauhid pasca Bani Abbasiyah
Pada khalifah Al
Mutawakkil (234 H) membatalkan pernyataan bahwa Al Qur’an adalah makhluk dan
melawan muktazilah. Maka terbebaslah para ahli Hadits, para ulama dan umat
Islam dari penyiksaan yang dilakukan oleh khalifah Al Makmun dan Muktazilah. Lalu
pada tahun 334 H muncullah Aqidah Al Asy’ariyah yang dipeloori oleh Abu Hasan
Al Asy’ari.
Secara historis dapat diketahui bahwa kaum Hanbaliah
merupakan kelompok yang paling keras menolak kehadiran ilmu kalam (Teologi)
dalam sistem ajaran Islam.
Pada umumnya kaum Hanbaliah melihat problematika ilmu
kalam (teologi) yang terpenting adalah terletak pada metode argumentasinya yang
tidak sesuai dengan tuntutan Al-Qur’an dan Sunnah karena menggunakan metode
dialektis dan rasional, yang pada dasarnya pinjaman dari luar, khususnya
filsafat Yunani.
Pandangan ini disanggah oleh kaum Mutakallimin,
terutama oleh Al-Asy’ari. Menurut al-Asy’ari, Nabi Muhamamd memang tidak
merumuskan ilmu kalam (teologi), tetapi dasar-dasar pemikiran dalam ilmu kalam
(teologi) yang dikembangkan kaum Mutakallimin terdapat dalam al-Qur’an dan
Sunnah.
Kaum Mutakallimin mempunyai pandangan bahwa metode
dan teori rasional-lah yang dapat menghasilkan pengetahuan yang benar, oleh
karena itu mempelajarinya merupakan suatu keharusan (wajib). Pandangan dan
anggapan inilah, kata Ibnu Taimiyyah yang membuat kaum Mutakallimin mengklaim
bahwa metode kalam yang mereka sodorkan adalah satu-satunya metode yang absah,
tepat untuk menjelaskan ushul al-din, dan oleh karena itu pula mereka
menganggap ilmu kalam (teologi) yang mereka kembangkan menempati posisi penting
dalam sistem ajaran Islam.
C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ilmu Tauhid Menjadi
Ilmu Kalam.
Ilmu Tauhid
dinamakan juga dengan Ilmu Kalam karena adakalanya masalah yang paling mashur
dan banyak menimbulkan pebedaan pendapat di antara ulama-ulama kurun pertama,
yaitu: “apakah Kalam Allah (wahyu) yang dibacakan itu baru atau kadim?”.
Dan adakalanya karena Ilmu Tauhid itu dibina oleh dalil akal (rasio), di mana
bekasnya nyata kelihatan dari perkataan setiap para ahli yang turut berbicara
tentang ilu itu. Namun begitu amat sedikit sekali orang yang mendasarkan
pendapatnya kepada dalil naqal (Al Qur’an dan Sunnah Rasul), kecuali setelah
ada ketetapan pokok pertama ilmu itu, kemudian orang berpindah dari sana kepada
membicarakan masalah yang lebih menyerupai cabang (furu’), sekalipun cabang itu
oleh orang yang datang kemudian telah dianggap pula sebagai suatu masalah
pokok.
Di samping itu
ada pula suatu sebab lain yang menyebabkan Ilmu Tauhid dinamakan dengan Ilmu
Kalam, ialah karena dalam memberikan dalil tentang pokok (usul) agama lebih
menyerupai logika (mantiq), sebagaimana yang biasa dilalui oleh para ahli pikir
dalam menjelaskan seluk beluk hujjah tentang pendiriannya. Kemudian diganti
orang Mantiq dengan Ilmu Kalam, karena pada hakikatnya adalah berbeda.[11]
D. Sistem
Mutakallimin Dalam Membahas Permasalahan Islam.
Dalam membahas
masalah metode berfikir keislaman, harus berpangkal dari awal perkembangan Islam
itu sendiri, sehingga dapat memberikan gambaran dibandingkan dengan masa-masa
sesudahnya yang senantiasa timbul permasalahan baru yang belum terdapat masa
Nabi Muhammad SAW masih hidup.
Ketika Nabi Muhammad
SAW masih hidup, jika timbul permasalahan baik soal ibadah maupun sosial,
langsung dapat dinyatakan kepada Nabi tentang cara mengatasi dan
menyelesaikannya. Dalam keadaan demikian biasanya turun wahyu, jika tidak turun
wahyu Nabi menyelesaikannya dengan pendapatnya, dan kadang dimusyawarahkan
dengan para sahabatbya.
Setelah Nabi
wafat, jika timbul permasalahan baru, maka para sahabat yang menjadi panutan
umat mencari penyelesaian dalam Al Qur’an dan Hadits yang memiliki otoritas dan
menjadi pegangan kaum muslimin.
Apabila dalam Al
Qur’an ataupun Hadits tidak ditemukan penyelesaiannya maka maka sahabat
melakukan ijtihad. Ijtihad pada masa Nabi memang belum berkembang, namun Nabi
tidak melarang atas jawaban Mu’adz ibn Jabal ketika akan diutus ke Yaman untuk
memberikan hukum yang mengatakan dengan ijtihad (ajtahidu bi al-ra’yu) jika
tidak ditemukan dalam Al Qur’an maupun Hadits. Hal ini menunjukkan jawaban atas
berbagai masalah yang timbul sesuai dengan kondisi dan situasi yang berkembang
merupakan tuntutan agama, termasuk dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan.
Bahkan dalam ayat-ayat Al Qur’an sering menggunakan ungkapan “apakah kamu tidak
berfikir?”, “apakah kamu tidak berakal?”, “apakah kamu tidak memperhatikan?”,
dan sebagainya.
Masalah ijtihad,
mulai berkembang dan sangat diperlukan pada masa Khulafa al-Rasyidin, seperti
pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah pertama pengganti Nabi, juga ketika Abu
Bakar memutuskan untuk memerangi umat Islam yang tidak mau membayar zakat, Umar
ketika memutuskan tidak memotong tangan bagi seorang pencuri dan sebagainya.
Kemudian pada masa pemerintahan Bani Umayyah, karena adanya kebutuhan-kebutuhan
riil untuk mengatasi persoalan-persoalan umat makin menyuburkan perkembangan
ijtihad dan lebih subur lagi pada zaman kebesaran Bani Abbasiyah dengan ibu
kota kerajaannya di Baghdad. Bahkan di kerajaan Islam di wilayah barat, yaitu
Cordova juga menjadi pusat munculnya ulama mujtahid sebagaimana di Baghdad.
Maka apabila
timbul permasalahan di kalangan kaum muslimin, baik permasalahan ibadah maupun
sosial, mereka menyelesaikannya berdasarkan Al Qur’an dan Hadits. Tetapi
apabila penyelesaiannya tidak terdapat pada kedua sumber itu, maka mereka
menggunakan ra’yu (ijtihad).[12]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan.
Sejarah lahirnya
Ilmu Tauhid dari zaman Nabi Adam as. sampai pada Nabi Muhammad adalah ilmu yang
berisi tentang keesaan Allah SWT. Ilmu Tauhid bersumber dari Al Qur’an dan
Hadits sebagai rujukan bila terjadi permasalahan terjadi persoalan pada umat
Islam.
Dalam
mempelajari sejarah Ilmu Tauhid ini kita tidak hanya membahas Ilmu Tauhid saja,
karena sesungguhnya Ilmu Tauhid adalah cabang ilmu dari Syara’, yang mencakup
Aqidah, Ahkam dan Akhlaq. Maka untuk mengetahui perkembangan Ilmu Tauhid kita
juga harus mempelajari sejarah perkembangan Syara’ agar tidak menemui sejarah
yang buntu.
DAFTAR PUSTAKA
H. Ghazali Munir M.A. Dr., Ilmu
Kalam Pemikiran dan Kehidupan, Semarang: Rasail, 2008.
Syekh
Muhammad Abduh, terjemah K.H. Firdaus A.N., Risalah Tauhid, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
M. hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar
Ilmu Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang, 1987.
……, Al ‘Aqidah Wal Akhlaq 3, Departemen
Agama RI, 1998-1999.
Syekh Imam
Khafid Abu Abdillah Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn Al Mughirah Al Bukhari, Fathul Bari Li Ibn Hajar
(Maktabah Syamilah).
H. Abu Bakar
J. Seluk Beluk Agama 1, Medan: Saiful, 1971
EmoticonEmoticon