PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.
Sebagai salah satu disiplin ilmu, tasawuf
sebenarnya mempunyai beberapa tahapan pengenalan dasar yang harus diketahui
terlebih dahulu oleh seseorang sebelum dia lebih jauh ingin mendalami,
menghayati atau bahkan ingin mengamalkan ajaran-ajaran ilmu tasawuf.
Tahapan-tahapan pengenalan dasar dalam ilmu tasawuf, sebagaimana dalam
kajian-kajian ilmu Islam yang lain, barang kali bisa dimulai dari pengenalan
atas sejarah lahirnya tasawuf, pengertian atau definisi tasawuf dan kedudukan
tasawuf dalam ajaran agama Islam.
Pengenalan terhadap sejarah lahirnya tasawuf
dimaksudkan untuk mengetahui lebih jauh dan mendalam tentang dasar-dasar ilmu
tasawuf, sekaligus sebagai bahan jawaban dari persoalan-persoalan yang sebagian
orang mengatakan bahwa tasawuf tidak memiliki akar sejarah yang jelas pada saat
awal-awal permulaan lahirnya Islam.
B.
Rumusan Masalah.
Sebagaimana uraian dari latar belakang di
atas, maka dapat diambil beberapa pertanyaan untuk merumuskan permasalahan
tersebut, di antaranya adalah sebagai berikut:
- Bagaimanakah pengertian tasawuf menurut bahasa dan istilah?
- Bagaimanakah geneologi (asal-usul) tasawuf ?
- Bagaimanakah pendapat tentang muncul dan perkembangan tasawuf?
BAB II
PEMBAHASAN
- Pengertian
Tasawuf Menurut Bahasa ( Lughowi ).
Tasawuf barasal dari kata Arab tasawwuf.
Istilah ini muncul kira-kira 10-60 tahun sesudah Rasulullah SAW wafat. Istilah
tasawuf memang belum dikenal pada zaman Rasulullah SAW tetapi pada masa itu
sudah dikenal istilah-istilah zuhud, wara’ dan beberapa kata kunci lain dalam
tasawuf. Karena itu, ketika Imam Ahmad menulis buku tentang tasawuf, beliau
tidak memberi nama kitab itu sebagai Kitab Tasawuf, akan tetapi beliau
memberi nama kitab itu dengan Kitab Az-Zuhd ( Kitab tentang Zuhud).[1]
Tasawuf secara etimologis masih
diperselisihkan oleh para ahli, karena perbedaan mereka dalam memandang
asal-usul kata itu. Menurut pendapat para ahli, asal-usul kata tasawuf antara
lain sebagai berikut:
1)
Shaff ( صف)
yang artinya barisan dalam shalat berjamaah. Alasannya, seorang sufi mempunyai
iman yang kuat, jiwa yang bersih dan selalu memilih shaff yang terdepan dalam
shalat berjamaah. Disamping alasan itu mereka juga memandang bahwa seorang sufi
akan berada di barisan pertama di depan Allah SWT.
2)
Shaufanah ( صوفنة) yaitu sejenis buah-buahan kecil berbulu yang banyak tumbuh di
gurun pasir Arab Saudi. Pengambilan kata ini karena melihat orang-orang sufi
banyak memakai pakaian berbulu dan mereka hidup dalam kegersangan fisik, tetapi
subur batinnya.
3)
Shuffah (صفة) yang artinya pelana yang dipergunakan
oleh para sahabat Nabi SAW yang miskin untuk bantal tidur di atas bangku batu
di samping masjid Nabawi Di Madinah. Versi lain dikatakan bahwa Shuffah
artinya suatu kamar di samping masjid Nabawi yang disediakan untuk para sahabat
Nabi SAW dari golongan muhajirin yang miskin. Penghuni Shuffah ini disebut ahl
us-shuffah. Mereka mempunyai sifat-sifat teguh dalam pendirian, taqwa,
wara’ (taat kepada Allah SWT), zuhud dan tekun beribadah. Adapun pengambilan
kata Shuffah karena kemiripan tabiat mereka dengan sifat-sifat ahlu shuffah.
4)
Shafwah (صفوة ) yang berarti sesuatu yang terpilih atau
terbaik. Dikatakan demikian, karena seorang sufi biasa memandang diri mereka
sebagai orang pilihan atau orang terbaik.
5)
Shafa (صفاء ) atau shafw (صفو ) yang artinya bersih atau suci. Maksudnya, kehidupan seorang
sufi lebih banyak diarahkan pada penyucian batin untuk mendekatkan diri kepada
Allah SWT, Tuhan yang maha suci, sebab Tuhan tidak bisa didekati kecuali oleh
orang yang suci.
6)
Theoshophi (theo =
Tuhan; sophos = hikmat), yang berarti hikmat ketuhanan. Mereka merujuk pada
bahasa Yunani karena ajaran tasawuf banyak membicarakan masalah ketuhanan.
7)
Shuff (صوف ) yang artinya wol atau kain bulu kasar. Disebut
demikian, karena orang-orang sufi banyak yang suka memakai pakaian yang terbuat
dari bulu binatang sebagai lambang kemiskinan dan kesederhanaan, berlawanan
dengan pakaian sutra yang dipakai oleh orang-orang kaya. Abu Nashr as-Sarraj
at-Tusi, tokoh fundamentalis tasawuf, mengatakan bahwa kebiasaan memakai kain
wol kasar adalah kebiasaan para sufi dan orang-orang saleh, sekaligus sebagai
lambang kesederhanaan dan kemiskinan.[2]
- Pengertian
Tasawuf Menurut Istilah.
Pada hakikatnya, selain arti secara
lughotan di atas, tasawuf itu dapat juga diartikan mencari jalan untuk
memperoleh kecintaan dan kesempurnaan rohani. Selain itu dapat pula diartikan
berpindah dari kehidupan biasa menjadi kehidupan sufi yang selalu tekun
beribadah dan jernih, bersih jiwa dan hatinya, ikhlas karena Allah SWT
semata-mata.
Adapun pengertian tasawuf berdasarkan
istilah telah banyak dirumuskan oleh ahli yang satu sama lain berbeda sesuai
dengan pengalaman pengalaman dan pendapatnya masing-masing, di antaranya
adalah:
a)
Menurut Al-Jurairy:
الدُّخُوْلُ
فِى خُلُقٍ سُنِّيٍ وَالْخُرُوْجُ مِنْ كُلِّ خُلُقٍ دَنَوِيّ
Artinya:
memasuki segala budi pekerti/ akhlaq yang bersifat sunnah dan keluar dari setiap akhlaq yang rendah/
tercela.
b)
Menurut Junaid Al-Baghdady:
هُوَ
اَنْ يُمِيْتَكَ الْحَقُّ عَنْكَ وَيُحْيِيَكَ بِهِ
Artinya:
tasawuf adalah bahwa yang Haqq adalah yang mematikanmu dan yang Haqq pulalah
yang menghidupkanmu.
أَنْ
يَكُوْنَ مَعَ اللّهِ بِلاَ عَلاَقَةٍ
Artinya:
bersama Allah tanpa adanya penghubung
c)
Menurut Abu Hamzah, ia memberikan ciri terhadap ahli
tasawuf adalah sebagai berikut:
“
Tanda sufi yang benar adalah berffakir setelah dia kaya, merendahkan diri
setelah dia bermegah-megah, menyembunyikan diri setelah dia terkenal’ dan tanda
sufi palsu adalah kaya setelah dia fakir, bermegah-megah setelah dia hina dan
tersohor setelah dia bersembunyi”.
d)
Amir bin Ustman al-Makki pernah mengatakan, tasawuf
adalah seorang hamba yang setiap waktunya mengambil waktu yang utama.
e)
Menurut Muhammad Ali al-Qassab. Ia memberikan ulasannya
sebagai berikut, “tasawuf adalah akhlaq yang mulia yang timbul pada masa
yang mulia dari seorang yang mulia di tengah-tengah kaumnya yang mulia”.
f)
Menurut Syamnun ia mengatakan, tasawuf adalah bahwa
engkau memiliki sesuatu dan tidak dimiliki sesuatu.
g)
Ma’ruf al-Karkhi mengungkapkan pengertian tasawuf sebagai
berikut, tasawuf adalah mengambil hakikat dan berputus asa pada apa yang ada di
tangan makhluk.
h)
Menurut Ibrahim Basyuni, tasawuf adalah:
تَيَقُظٌ
فِطْرِيٌّ يُوَجّهُ النَّفْسَ الصَادقَةَ اِلىَ أَنْ تُجَاهِدَ لِتُوَاصِلَ
اِلىَ
الْوُجُوْدِ الْمُطْلَقِ
Artinya:
kesadaran fitrah yang mendorong jiwa yang jujur untuk berjuang keras
(mujahadah) agar berhubungan dengan wujud mutlak Tuhan).
i) Dari
ungkapan-ungkapan itu lebih utama bila kita memperhatikan apa yang yang telah disimpulkan oleh Al-Junaidi
sebagai berikut:
“Tasawuf
adalah membersihkan hati dari apa yang mengganggu perasaan kebanyakan makhluk,
berjuang menanggalkan pengaruh budi yang asal (insting) kita, memadamkan
sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia, menjauhi segala seruan dari hawa
nafsu, mendekati sifat-sifat suci kerohanian dan bergantung pada ilmu-ilmu
hakikat, memakai barang yang penting dan terlebih kekal, menaburkan nasihat
kepada semua umat manusia, memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat
dan mengikuti contoh Rasulullah dalam hal syari’at”.
Sedangkan
pengertian sufi (orang yang bertasawuf) antara lain sebagai berikut:
- Menurut Bisyr Bin
Haris mengatakan bahwa sufi adalah orang yang suci hatinya menghadap
Allah SWT.
- Menurut Sahl
At-Tustari mengatakan bahwa sufi ialah orang yang bersih dari
kekeruhan, penuh dangan renungan, putus hubungan manusia dalam menghadap
Allah SWT, dan baginya tiada beda antara harga emas dan pasir.
Dari
beberapa definisi tersebut masih memungkinkan untuk memiliki definisi yang
berbeda karena tasawuf merupakan pengalaman batin yang tentu berbeda satu
dengan yang lainnya.[3]
C. Geneologi ( Asal -
Usul ) Tasawuf.
Asal-usul
tasawuf secara etimologis diperdebatkan oleh para ahli, sehingga Abul Hasan al-Fusyandi
seorang tabi’in yang hidup sezaman dengan Hasan al-Basri (w. 110 H/ 728 M) mengatakan,
“Hari ini , tasawuf hanyalah sekedar nama, tetapi tidak ada buktinya.
Dahulu, di zaman Rasulullah, tasawuf ada buktinya, tetapi tidak ada namanya.
Dan sekarang, ia hanyalah sekedar nama, tetapi tanpa bukti.”[4]
Sejarah sesungguhnya telah mencatat
bahwa tasawuf sebenarnya sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad, bahkan sebelum
beliau diangkat menjadi Rasul Allah. Cuma perlu diketahui di sini bahwa adanya
tasawuf pada zaman nabi bukan merupakan suatu istilah populer seperti sekarang
ini, apalagi sebagai kajian ilmu yang berdiri sendiri. Tasawuf pada zaman nabi
adalah tasawuf yang bersifat amali, yang secara langsung dipraktekkan dan
dicontohkan oleh nabi sendiri. Tindakan-tindakan amaliyah seperti sering
menyendiri pergi ke Gua Hiro’ (uzlah) atau sifat-sifat nabi seperti qona’ah
(menerima pemberian Allah dengan lapang dada), zuhud (tidak begitu tergiur
apalagi sampai ambisi terhadap persoalan-persoalan dunia), dan masih banyak
sifat-sifat terpuji yang lain adalah merupakan sifat-sifat yang dalam kaitan
ilmu tasawuf ternyata dijadikan sebagai dasar-dasar pijakan hukum.[5]
D. Berbagai Pendapat Tentang Muncul Dan
Perkembangan Tasawuf.
Sebagai
fenomena historik, tasawuf memang muncul sebagai reaksi terhadap kebobrokan
moral yang menjangkiti penguasa Dinasti Umayyah. Karena itu nilai-nilai
kesufian yang mula-mula berkembang adalah asketisme atau kezuhudan. Mungkin
saja sikap asketik atau zuhud itu adalah manifestasi dari puncak kritik
terhadap lingkungan sekitar yang bobrok. Bahkan, bisa juga dianggap sebagai
perlawanan spiritual dari para pemuka agama yang tidak ingin terlibat dalam
struktur dan sistem yang berlaku. Akan tetapi, tak terhindarkan, lama-kelamaan
hidup kesufian menjelma seakan-akan sebagai pelarian untuk mengejar keselamatan
pribadi.[6]
Prof.
Dr. Hamka berpendapat bahwa tasawuf timbul dari mulai tumbuh sejak awal-awal
tumbuhnya agama Islam itu sendiri, sekaligus telah diamalkan dan dicontohkan
oleh pembawanya, yaitu Nabi Muhammad SAW. Sejalan dengan pendapat tersebut,
Syekh Thaha Abdul Baqi Surur dalam kitabnya “Syakhsuaat Shufiat”
mengatakan, bahwa kehidupan Rasulullah sebelum menjadi nabi, terutama sekali
setelah beliau diangkat sebagai nabi dan rasul telah dijadikan tauladan utama
bagi sekalian kaum sufi dan tidak melenceng dari ajaran Islam.
Dengan
demikian sudah barang tentu jika seseorang ingin mengetahui secara jelas
akar-akar sejarah tasawuf, maka jalan pertama yang harus ditempuh adalah harus
bersumber dan berdasar pada sumber pertamanya, yaitu peri kehidupan Nabi
Muhammad.[7]
Berkat
rintisan madrasah yang dipelopori oleh Hasan Al Basri yang di dalamnya
mengajarkan ilmu Tasawuf secara mendalam, kemudian disusul dengan berdirinya
madrasah Sa’id bin Musayyab di Irak dan diteruskan oleh Ibrahim bin Adham di
Khurasan Persia, maka ilmu Tasawuf semakin hari semakin berkembang luas di
tengah-tengah masyarakat Islam.
Kemajuan
gerakan shufi ini cepat sekali meluasnya. Dalam masa lima puluh tahun saja
semua gerakan bathin di Irak, kecuali gerakan mistik Malamatiyah di Khurasan,
telah memakai perkataan shufi itu, dan dua abad kemudian istilah shufi ini
sudah mempunyai pengertian yang tertentu dari semua gerakan mistik Islam,
sebagai pengertian kata shufisme yang biasa dipakai hingga zaman kita sekarang
ini.
Kemudian
dengan timbulnya ilmu Tasawuf secara lengkap dalam segenap bagian-bagiannya,
hancurlah Filsafat Kebendaan di Timur, dihancurkan oleh gerakan tasawuf yang
sangat kuat, matilah gerakan ilhad (atheis – anti agama) dan lain-lain faham
keduniaan yang biasanya menenggelamkan umat Islam di dalam kedurjanaan dan
kekafiran.
Menurut
sejarah, perkembangan agama Islam ke Afrika, ke segenap pelosok Asia yang luas
ini, Asia Kecil, Asia Timor, Asia Tengah, sampai ke negara-negara yang berada
di tepi Lautan Hindia, semuanya dibawa oleh propaganda-propaganda Islam dari
kaum tasawuf. Sifat-sifat dan cara hidup mereka yang sangat tekun beribadah,
semuanya itu lebih menarik dari ribuan kata-kata yang hanya teori adanya.
Maka
pada perkembangan selanjutnya, tercatatlah dalam sejarah pertumbuhan tasawuf,
para penggerak kerohanian pada masa setelah zaman sahabat sampai abad V
Hijriyah antara lain, yaitu: Husein bin Manshur Al Hallaj, Imam Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad Al Ghozali dan lain-lain.
Selanjutnya
pada abad VI dan VII Hijriyah, perkembangan
fikiran dari filsafat seperti Ibnu Araby, Jalaludin Ar Rumi dan
lain-lain sangat dirasa pesat pengaruhnya dikalangan ilmu pengetahuan Islam,
maka tumbuh pula thariqoh-thoriqoh suluk laksana pesantren kita di Indonesia
sekarang ini. Di dalamnya terdapat tempat tertentu dan duduklah para murid
menghadap gurunya atau syekh (Mursyid). Selain dari mempelajari syari’at agama
, maka dipentingkan juga mempelajari zikir dan wirid tertentu di dalam menuju
jalan mengenal diri Allah.[8]
ThariqoH-thoriqoh
yang terkenal pada abad ini banyak sekali, bahkan jumlahnya menurut Jumhurul
Ulama’ hingga mencapai empat puluh satu macam. Dari sekian banyaknya thoriqoh,
maka thoriqoh yang palin banyak pengaruhnya di Indonesia, terutama di daerah Sumatra,
Jawa dan Madura adalah thoriqoh Qodiriyah dan Naqsabandiyah. Thoriqoh Qodiriyah
adalah thoriqoh yang di dirikan oleh syekh Abdul Qorir Ibnu Abi Shalih Janki
Dausat Al Jaelani. Beliau lahir pada tahun 471 H (1077 M) dan wafat pada bulan
Rabiuts Tsani 561 H (1164 M) di Bagdad. Thoriqoh ini dalam perjalanannya
berjalan seiring dengan Thariqoh Naqsabandiyah, yaitu thoriqoh yang didirikan
oleh Syekh Muhammad bin Muhammad Bahaudin Bukhori An Naqsabandy, dan akhirnya
berubah nama secara bergabung menjadi Thoriqoh Qodiriyah dan Naqsabandiyah yang
sejak bulan Januari 1978 berpusat di Tebuireng Jombang Jawa Timur.[9]
Berbagai
macam aliran tasawuf berkembang dan tumbuh dengan subur dalam dunia Islam. Tapi
bagi paham Ahlusunnah wal jamaah (maksudnya adalah NU), mengikuti tasawuf yang
benar adalah sebagaimana yang ditetapkan oleh Abul Qasim Junaidi Al Bagdadi,
yaitu seorang sufi termashur dan dialah yang mula-mula menyebarkan ilmu
tasawuf. Ia lahir di Nahawan dan wafat di Irak sekitar tahun 279 H- bertepatan
dengan tahun 910 M.
BAB III
KESIMPULAN
Tasawuf merupakan jalan untuk mencapai
kemurnian jiwa dan kepatuhan sejati akan kebenaran wahyu Ilahi yang telah
diturunkan kepada Rasul-Nya dalam pengertian syariat yang jelas.
Karena sulitnya memberikan definisi yang
lengkap tentang tasawuf, Abu Al Wafa’ Al Ghanimi At Tafzani tidak merumuskan
definisi tasawuf dalam bukunya Madkhal ila al Tasawuf Al Islami (Pengantar ke
Tasawuf Islam), melainkan hanya mengemukakan ciri-ciri umum tasawuf[10], yaitu:
- Memiliki nilai-nilai moral.
- Pemenuhan fana’ (sirna) dalam realitas mutlak.
- Pengetahuan intuitif langsung.
- Timbulnya rasa kebahagiaan sebagai karunia Allah SWT dalam diri sufi karena tercapainya maqamat (maqam-maqam atau tingkatan-tingkatan).
- Penggunaan lambang-lambang pengungkapan yang biasanya mengandung pengertian harfiah dan tersirat.[11]
Imam al-Ghazali sebagai pelopor sufi
mengembalikan tasawuf kepada dasar aslinya seperti yang diamalkan oleh para
sahabat Rasulullah SAW. Kitab hasil karyanya Ihya’ Ulumuddin
(menghidupkan kembali ajaran Islam) memberikan pegangan dan pedoman
perkembangan tasawuf Islam, dan menjadi rujukan bagi mereka yang mengembangkan
paham positifisme yang sesuai dengan akidah dan syariah Islamiyah.[12]
DAFTAR PUSTAKA
Fadeli,
H. Soeleiman dan mohammad Subhan. Antologi NU. Surabaya: Khalista, 2007.
Hidayat, Rahmat Taufik, dkk. Almanak Alam Islami.
Jakarta: Pustaka Jaya. 2000
Miftakhuddin. Ilmu
Tasawuf Kelas XI SI MA Darul Huda, Ponorogo: MA Darul Huda, 2008.
Asrifin S. Ag, Ust. Jalan
Menuju Ma’rifatullah Dengan Tahapan 7M, Surabaya: Terbit Terang, 2001.
Labib
Mz, Ust. Jalan Menuju Ma’rifat, Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2003.
[1]Rahmat Taufik Hidayat, dkk,
Almanak Alam Islami, Jakarta: Pustaka Jaya, 2000, hlm.191.
[2]
Miftakhuddin, Ilmu Tasawuf Kelas XI SI MA Darul Huda, Ponorogo: MA Darul
Huda, 2008. hlm. 1-2.
[3]
Miftakhuddin, Ilmu Tasawuf Kelas XI SI MA Darul Huda, Ponorogo: MA Darul
Huda, 2008. hlm. 2-4.
[4] Rahmat Taufik Hidayat,
dkk, Almanak Alam Islami, Jakarta: Pustaka Jaya, 2000, hlm. 191.
[5]
Ust. Asrifin S. Ag. Jalan Menuju Ma’rifatullah Dengan Tahapan 7M,
Surabaya: Terbit Terang, 2001, hlm. 1-2.
[6] Rahmat Taufik Hidayat,
dkk, Almanak Alam Islami, Jakarta: Pustaka Jaya, 2000, hlm. 197.
[7]
Ust. Asrifin S. Ag. Jalan Menuju Ma’rifatullah Dengan Tahapan 7M,
Surabaya: Terbit Terang, 2001, hlm. 3-4.
[8] Ust. Labib Mz, Jalan
Menuju Ma’rifat, Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2003, hlm. 21-24.
[9]
Ust. Labib Mz, Jalan Menuju Ma’rifat, Surabaya: Bintang Usaha Jaya,
2003, hlm. 25-26
[10] Rahmat Taufik Hidayat,
dkk, Almanak Alam Islami, Jakarta: Pustaka Jaya, 2000, hlm. 192.
[11] Lihat Ensiklopedi
Islam, jilid 5, hlm. 75).
[12] H. Soeleiman Fadeli dan
Mohammad Subhan, S. Sos, Antologi NU, Surabaya: Khalista, 2007, hlm. 152-153.
1 komentar so far
sukses
EmoticonEmoticon