Saturday, December 14, 2013

Mengenal dunia tasawuf (definisi, geneologi, pendapat tentang muncul dan perkembangan tasawuf)

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang.
Sebagai salah satu disiplin ilmu, tasawuf sebenarnya mempunyai beberapa tahapan pengenalan dasar yang harus diketahui terlebih dahulu oleh seseorang sebelum dia lebih jauh ingin mendalami, menghayati atau bahkan ingin mengamalkan ajaran-ajaran ilmu tasawuf. Tahapan-tahapan pengenalan dasar dalam ilmu tasawuf, sebagaimana dalam kajian-kajian ilmu Islam yang lain, barang kali bisa dimulai dari pengenalan atas sejarah lahirnya tasawuf, pengertian atau definisi tasawuf dan kedudukan tasawuf dalam ajaran agama Islam.
 Pengenalan terhadap sejarah lahirnya tasawuf dimaksudkan untuk mengetahui lebih jauh dan mendalam tentang dasar-dasar ilmu tasawuf, sekaligus sebagai bahan jawaban dari persoalan-persoalan yang sebagian orang mengatakan bahwa tasawuf tidak memiliki akar sejarah yang jelas pada saat awal-awal permulaan lahirnya Islam.

B.   Rumusan Masalah.
Sebagaimana uraian dari latar belakang di atas, maka dapat diambil beberapa pertanyaan untuk merumuskan permasalahan tersebut, di antaranya adalah sebagai berikut:
  1. Bagaimanakah pengertian tasawuf menurut bahasa dan istilah?
  2. Bagaimanakah geneologi (asal-usul) tasawuf ?
  3. Bagaimanakah pendapat tentang muncul dan perkembangan tasawuf?
BAB II
PEMBAHASAN

  1. Pengertian Tasawuf Menurut Bahasa ( Lughowi ).
Tasawuf barasal dari kata Arab tasawwuf. Istilah ini muncul kira-kira 10-60 tahun sesudah Rasulullah SAW wafat. Istilah tasawuf memang belum dikenal pada zaman Rasulullah SAW tetapi pada masa itu sudah dikenal istilah-istilah zuhud, wara’ dan beberapa kata kunci lain dalam tasawuf. Karena itu, ketika Imam Ahmad menulis buku tentang tasawuf, beliau tidak memberi nama kitab itu sebagai Kitab Tasawuf, akan tetapi beliau memberi nama kitab itu dengan Kitab Az-Zuhd ( Kitab tentang Zuhud).[1]
Tasawuf secara etimologis masih diperselisihkan oleh para ahli, karena perbedaan mereka dalam memandang asal-usul kata itu. Menurut pendapat para ahli, asal-usul kata tasawuf antara lain sebagai berikut:
1)      Shaff ( صف) yang artinya barisan dalam shalat berjamaah. Alasannya, seorang sufi mempunyai iman yang kuat, jiwa yang bersih dan selalu memilih shaff yang terdepan dalam shalat berjamaah. Disamping alasan itu mereka juga memandang bahwa seorang sufi akan berada di barisan pertama di depan Allah SWT.
2)      Shaufanah (  صوفنة) yaitu sejenis buah-buahan kecil berbulu yang banyak tumbuh di gurun pasir Arab Saudi. Pengambilan kata ini karena melihat orang-orang sufi banyak memakai pakaian berbulu dan mereka hidup dalam kegersangan fisik, tetapi subur batinnya.
3)      Shuffah (صفة) yang artinya pelana yang dipergunakan oleh para sahabat Nabi SAW yang miskin untuk bantal tidur di atas bangku batu di samping masjid Nabawi Di Madinah. Versi lain dikatakan bahwa Shuffah artinya suatu kamar di samping masjid Nabawi yang disediakan untuk para sahabat Nabi SAW dari golongan muhajirin yang miskin. Penghuni Shuffah ini disebut ahl us-shuffah. Mereka mempunyai sifat-sifat teguh dalam pendirian, taqwa, wara’ (taat kepada Allah SWT), zuhud dan tekun beribadah. Adapun pengambilan kata Shuffah karena kemiripan tabiat mereka dengan sifat-sifat ahlu shuffah.
4)      Shafwah (صفوة ) yang berarti sesuatu yang terpilih atau terbaik. Dikatakan demikian, karena seorang sufi biasa memandang diri mereka sebagai orang pilihan atau orang terbaik.
5)      Shafa (صفاء ) atau shafw (صفو ) yang artinya bersih atau suci. Maksudnya, kehidupan seorang sufi lebih banyak diarahkan pada penyucian batin untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, Tuhan yang maha suci, sebab Tuhan tidak bisa didekati kecuali oleh orang yang suci.
6)      Theoshophi (theo = Tuhan; sophos = hikmat), yang berarti hikmat ketuhanan. Mereka merujuk pada bahasa Yunani karena ajaran tasawuf banyak membicarakan masalah ketuhanan.
7)      Shuff (صوف ) yang artinya wol atau kain bulu kasar. Disebut demikian, karena orang-orang sufi banyak yang suka memakai pakaian yang terbuat dari bulu binatang sebagai lambang kemiskinan dan kesederhanaan, berlawanan dengan pakaian sutra yang dipakai oleh orang-orang kaya. Abu Nashr as-Sarraj at-Tusi, tokoh fundamentalis tasawuf, mengatakan bahwa kebiasaan memakai kain wol kasar adalah kebiasaan para sufi dan orang-orang saleh, sekaligus sebagai lambang kesederhanaan dan kemiskinan.[2]

  1. Pengertian Tasawuf Menurut Istilah.
Pada hakikatnya, selain arti secara lughotan di atas, tasawuf itu dapat juga diartikan mencari jalan untuk memperoleh kecintaan dan kesempurnaan rohani. Selain itu dapat pula diartikan berpindah dari kehidupan biasa menjadi kehidupan sufi yang selalu tekun beribadah dan jernih, bersih jiwa dan hatinya, ikhlas karena Allah SWT semata-mata.
Adapun pengertian tasawuf berdasarkan istilah telah banyak dirumuskan oleh ahli yang satu sama lain berbeda sesuai dengan pengalaman pengalaman dan pendapatnya masing-masing, di antaranya adalah:
a)      Menurut Al-Jurairy:
الدُّخُوْلُ فِى خُلُقٍ سُنِّيٍ وَالْخُرُوْجُ مِنْ كُلِّ خُلُقٍ دَنَوِيّ
Artinya: memasuki segala budi pekerti/ akhlaq yang bersifat sunnah dan   keluar dari setiap akhlaq yang rendah/ tercela.
b)      Menurut Junaid Al-Baghdady:
هُوَ اَنْ يُمِيْتَكَ الْحَقُّ عَنْكَ وَيُحْيِيَكَ بِهِ
Artinya: tasawuf adalah bahwa yang Haqq adalah yang mematikanmu dan yang Haqq pulalah yang menghidupkanmu.
أَنْ يَكُوْنَ مَعَ اللّهِ بِلاَ عَلاَقَةٍ
Artinya: bersama Allah tanpa adanya penghubung
c)      Menurut Abu Hamzah, ia memberikan ciri terhadap ahli tasawuf adalah sebagai berikut:
“ Tanda sufi yang benar adalah berffakir setelah dia kaya, merendahkan diri setelah dia bermegah-megah, menyembunyikan diri setelah dia terkenal’ dan tanda sufi palsu adalah kaya setelah dia fakir, bermegah-megah setelah dia hina dan tersohor setelah dia bersembunyi”.
d)     Amir bin Ustman al-Makki pernah mengatakan, tasawuf adalah seorang hamba yang setiap waktunya mengambil waktu yang utama.
e)      Menurut Muhammad Ali al-Qassab. Ia memberikan ulasannya sebagai berikut, “tasawuf adalah akhlaq yang mulia yang timbul pada masa yang mulia dari seorang yang mulia di tengah-tengah kaumnya yang mulia”.
f)       Menurut Syamnun ia mengatakan, tasawuf adalah bahwa engkau memiliki sesuatu dan tidak dimiliki sesuatu.
g)      Ma’ruf al-Karkhi mengungkapkan pengertian tasawuf sebagai berikut, tasawuf adalah mengambil hakikat dan berputus asa pada apa yang ada di tangan makhluk.
h)      Menurut Ibrahim Basyuni, tasawuf adalah:
تَيَقُظٌ فِطْرِيٌّ يُوَجّهُ النَّفْسَ الصَادقَةَ اِلىَ أَنْ تُجَاهِدَ لِتُوَاصِلَ
اِلىَ الْوُجُوْدِ الْمُطْلَقِ
Artinya: kesadaran fitrah yang mendorong jiwa yang jujur untuk berjuang keras (mujahadah) agar berhubungan dengan wujud mutlak Tuhan).
i)  Dari ungkapan-ungkapan itu lebih utama bila kita memperhatikan apa yang  yang telah disimpulkan oleh Al-Junaidi sebagai berikut:
“Tasawuf adalah membersihkan hati dari apa yang mengganggu perasaan kebanyakan makhluk, berjuang menanggalkan pengaruh budi yang asal (insting) kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia, menjauhi segala seruan dari hawa nafsu, mendekati sifat-sifat suci kerohanian dan bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, memakai barang yang penting dan terlebih kekal, menaburkan nasihat kepada semua umat manusia, memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat dan mengikuti contoh Rasulullah dalam hal syari’at”.
Sedangkan pengertian sufi (orang yang bertasawuf) antara lain sebagai berikut:
  1. Menurut Bisyr Bin Haris mengatakan bahwa sufi adalah orang yang suci hatinya menghadap Allah SWT.
  2. Menurut Sahl At-Tustari mengatakan bahwa sufi ialah orang yang bersih dari kekeruhan, penuh dangan renungan, putus hubungan manusia dalam menghadap Allah SWT, dan baginya tiada beda antara harga emas dan pasir.
Dari beberapa definisi tersebut masih memungkinkan untuk memiliki definisi yang berbeda karena tasawuf merupakan pengalaman batin yang tentu berbeda satu dengan yang lainnya.[3]

      C.  Geneologi ( Asal - Usul ) Tasawuf.
Asal-usul tasawuf secara etimologis diperdebatkan oleh para ahli, sehingga Abul Hasan al-Fusyandi seorang tabi’in yang hidup sezaman dengan Hasan al-Basri (w. 110 H/ 728 M) mengatakan, “Hari ini , tasawuf hanyalah sekedar nama, tetapi tidak ada buktinya. Dahulu, di zaman Rasulullah, tasawuf ada buktinya, tetapi tidak ada namanya. Dan sekarang, ia hanyalah sekedar nama, tetapi tanpa bukti.”[4]
            Sejarah sesungguhnya telah mencatat bahwa tasawuf sebenarnya sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad, bahkan sebelum beliau diangkat menjadi Rasul Allah. Cuma perlu diketahui di sini bahwa adanya tasawuf pada zaman nabi bukan merupakan suatu istilah populer seperti sekarang ini, apalagi sebagai kajian ilmu yang berdiri sendiri. Tasawuf pada zaman nabi adalah tasawuf yang bersifat amali, yang secara langsung dipraktekkan dan dicontohkan oleh nabi sendiri. Tindakan-tindakan amaliyah seperti sering menyendiri pergi ke Gua Hiro’ (uzlah) atau sifat-sifat nabi seperti qona’ah (menerima pemberian Allah dengan lapang dada), zuhud (tidak begitu tergiur apalagi sampai ambisi terhadap persoalan-persoalan dunia), dan masih banyak sifat-sifat terpuji yang lain adalah merupakan sifat-sifat yang dalam kaitan ilmu tasawuf ternyata dijadikan sebagai dasar-dasar pijakan hukum.[5]

      D.  Berbagai Pendapat Tentang Muncul Dan Perkembangan Tasawuf.
Sebagai fenomena historik, tasawuf memang muncul sebagai reaksi terhadap kebobrokan moral yang menjangkiti penguasa Dinasti Umayyah. Karena itu nilai-nilai kesufian yang mula-mula berkembang adalah asketisme atau kezuhudan. Mungkin saja sikap asketik atau zuhud itu adalah manifestasi dari puncak kritik terhadap lingkungan sekitar yang bobrok. Bahkan, bisa juga dianggap sebagai perlawanan spiritual dari para pemuka agama yang tidak ingin terlibat dalam struktur dan sistem yang berlaku. Akan tetapi, tak terhindarkan, lama-kelamaan hidup kesufian menjelma seakan-akan sebagai pelarian untuk mengejar keselamatan pribadi.[6]
Prof. Dr. Hamka berpendapat bahwa tasawuf timbul dari mulai tumbuh sejak awal-awal tumbuhnya agama Islam itu sendiri, sekaligus telah diamalkan dan dicontohkan oleh pembawanya, yaitu Nabi Muhammad SAW. Sejalan dengan pendapat tersebut, Syekh Thaha Abdul Baqi Surur dalam kitabnya “Syakhsuaat Shufiat” mengatakan, bahwa kehidupan Rasulullah sebelum menjadi nabi, terutama sekali setelah beliau diangkat sebagai nabi dan rasul telah dijadikan tauladan utama bagi sekalian kaum sufi dan tidak melenceng dari ajaran Islam.
Dengan demikian sudah barang tentu jika seseorang ingin mengetahui secara jelas akar-akar sejarah tasawuf, maka jalan pertama yang harus ditempuh adalah harus bersumber dan berdasar pada sumber pertamanya, yaitu peri kehidupan Nabi Muhammad.[7]
Berkat rintisan madrasah yang dipelopori oleh Hasan Al Basri yang di dalamnya mengajarkan ilmu Tasawuf secara mendalam, kemudian disusul dengan berdirinya madrasah Sa’id bin Musayyab di Irak dan diteruskan oleh Ibrahim bin Adham di Khurasan Persia, maka ilmu Tasawuf semakin hari semakin berkembang luas di tengah-tengah masyarakat Islam.
Kemajuan gerakan shufi ini cepat sekali meluasnya. Dalam masa lima puluh tahun saja semua gerakan bathin di Irak, kecuali gerakan mistik Malamatiyah di Khurasan, telah memakai perkataan shufi itu, dan dua abad kemudian istilah shufi ini sudah mempunyai pengertian yang tertentu dari semua gerakan mistik Islam, sebagai pengertian kata shufisme yang biasa dipakai hingga zaman kita sekarang ini.
Kemudian dengan timbulnya ilmu Tasawuf secara lengkap dalam segenap bagian-bagiannya, hancurlah Filsafat Kebendaan di Timur, dihancurkan oleh gerakan tasawuf yang sangat kuat, matilah gerakan ilhad (atheis – anti agama) dan lain-lain faham keduniaan yang biasanya menenggelamkan umat Islam di dalam kedurjanaan dan kekafiran.
Menurut sejarah, perkembangan agama Islam ke Afrika, ke segenap pelosok Asia yang luas ini, Asia Kecil, Asia Timor, Asia Tengah, sampai ke negara-negara yang berada di tepi Lautan Hindia, semuanya dibawa oleh propaganda-propaganda Islam dari kaum tasawuf. Sifat-sifat dan cara hidup mereka yang sangat tekun beribadah, semuanya itu lebih menarik dari ribuan kata-kata yang hanya teori adanya.
Maka pada perkembangan selanjutnya, tercatatlah dalam sejarah pertumbuhan tasawuf, para penggerak kerohanian pada masa setelah zaman sahabat sampai abad V Hijriyah antara lain, yaitu: Husein bin Manshur Al Hallaj, Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghozali dan lain-lain.
Selanjutnya pada abad VI dan VII Hijriyah, perkembangan  fikiran dari filsafat seperti Ibnu Araby, Jalaludin Ar Rumi dan lain-lain sangat dirasa pesat pengaruhnya dikalangan ilmu pengetahuan Islam, maka tumbuh pula thariqoh-thoriqoh suluk laksana pesantren kita di Indonesia sekarang ini. Di dalamnya terdapat tempat tertentu dan duduklah para murid menghadap gurunya atau syekh (Mursyid). Selain dari mempelajari syari’at agama , maka dipentingkan juga mempelajari zikir dan wirid tertentu di dalam menuju jalan mengenal diri Allah.[8]
ThariqoH-thoriqoh yang terkenal pada abad ini banyak sekali, bahkan jumlahnya menurut Jumhurul Ulama’ hingga mencapai empat puluh satu macam. Dari sekian banyaknya thoriqoh, maka thoriqoh yang palin banyak pengaruhnya di Indonesia, terutama di daerah Sumatra, Jawa dan Madura adalah thoriqoh Qodiriyah dan Naqsabandiyah. Thoriqoh Qodiriyah adalah thoriqoh yang di dirikan oleh syekh Abdul Qorir Ibnu Abi Shalih Janki Dausat Al Jaelani. Beliau lahir pada tahun 471 H (1077 M) dan wafat pada bulan Rabiuts Tsani 561 H (1164 M) di Bagdad. Thoriqoh ini dalam perjalanannya berjalan seiring dengan Thariqoh Naqsabandiyah, yaitu thoriqoh yang didirikan oleh Syekh Muhammad bin Muhammad Bahaudin Bukhori An Naqsabandy, dan akhirnya berubah nama secara bergabung menjadi Thoriqoh Qodiriyah dan Naqsabandiyah yang sejak bulan Januari 1978 berpusat di Tebuireng Jombang Jawa Timur.[9]
Berbagai macam aliran tasawuf berkembang dan tumbuh dengan subur dalam dunia Islam. Tapi bagi paham Ahlusunnah wal jamaah (maksudnya adalah NU), mengikuti tasawuf yang benar adalah sebagaimana yang ditetapkan oleh Abul Qasim Junaidi Al Bagdadi, yaitu seorang sufi termashur dan dialah yang mula-mula menyebarkan ilmu tasawuf. Ia lahir di Nahawan dan wafat di Irak sekitar tahun 279 H- bertepatan dengan tahun 910 M.

BAB III
KESIMPULAN

Tasawuf merupakan jalan untuk mencapai kemurnian jiwa dan kepatuhan sejati akan kebenaran wahyu Ilahi yang telah diturunkan kepada Rasul-Nya dalam pengertian syariat yang jelas.
Karena sulitnya memberikan definisi yang lengkap tentang tasawuf, Abu Al Wafa’ Al Ghanimi At Tafzani tidak merumuskan definisi tasawuf dalam bukunya Madkhal ila al Tasawuf Al Islami (Pengantar ke Tasawuf Islam), melainkan hanya mengemukakan ciri-ciri umum tasawuf[10], yaitu:
  1. Memiliki nilai-nilai moral.
  2. Pemenuhan fana’ (sirna) dalam realitas mutlak.
  3. Pengetahuan intuitif langsung.
  4. Timbulnya rasa kebahagiaan sebagai karunia Allah SWT dalam diri sufi karena tercapainya maqamat (maqam-maqam atau tingkatan-tingkatan).
  5. Penggunaan lambang-lambang pengungkapan yang biasanya mengandung pengertian harfiah dan tersirat.[11]
Imam al-Ghazali sebagai pelopor sufi mengembalikan tasawuf kepada dasar aslinya seperti yang diamalkan oleh para sahabat Rasulullah SAW. Kitab hasil karyanya Ihya’ Ulumuddin (menghidupkan kembali ajaran Islam) memberikan pegangan dan pedoman perkembangan tasawuf Islam, dan menjadi rujukan bagi mereka yang mengembangkan paham positifisme yang sesuai dengan akidah dan syariah Islamiyah.[12]

DAFTAR PUSTAKA

Fadeli, H. Soeleiman dan mohammad Subhan. Antologi NU. Surabaya: Khalista, 2007.
Hidayat, Rahmat Taufik, dkk. Almanak Alam Islami. Jakarta: Pustaka Jaya. 2000
Miftakhuddin. Ilmu Tasawuf Kelas XI SI MA Darul Huda, Ponorogo: MA Darul Huda, 2008.
Asrifin S. Ag, Ust. Jalan Menuju Ma’rifatullah Dengan Tahapan 7M, Surabaya: Terbit Terang, 2001.
Labib Mz, Ust. Jalan Menuju Ma’rifat, Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2003.




[1]Rahmat Taufik Hidayat, dkk, Almanak Alam Islami, Jakarta: Pustaka Jaya, 2000, hlm.191.
[2] Miftakhuddin, Ilmu Tasawuf Kelas XI SI MA Darul Huda, Ponorogo: MA Darul Huda, 2008. hlm. 1-2.
[3] Miftakhuddin, Ilmu Tasawuf Kelas XI SI MA Darul Huda, Ponorogo: MA Darul Huda, 2008. hlm. 2-4.
[4] Rahmat Taufik Hidayat, dkk, Almanak Alam Islami, Jakarta: Pustaka Jaya, 2000, hlm. 191.
[5] Ust. Asrifin S. Ag. Jalan Menuju Ma’rifatullah Dengan Tahapan 7M, Surabaya: Terbit Terang, 2001, hlm. 1-2.

[6] Rahmat Taufik Hidayat, dkk, Almanak Alam Islami, Jakarta: Pustaka Jaya, 2000, hlm. 197.
[7] Ust. Asrifin S. Ag. Jalan Menuju Ma’rifatullah Dengan Tahapan 7M, Surabaya: Terbit Terang, 2001, hlm. 3-4.
[8] Ust. Labib Mz, Jalan Menuju Ma’rifat, Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2003, hlm. 21-24.
[9] Ust. Labib Mz, Jalan Menuju Ma’rifat, Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2003, hlm. 25-26
[10] Rahmat Taufik Hidayat, dkk, Almanak Alam Islami, Jakarta: Pustaka Jaya, 2000, hlm. 192.
[11] Lihat Ensiklopedi Islam, jilid 5, hlm. 75).
[12] H. Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan, S. Sos, Antologi NU, Surabaya: Khalista, 2007, hlm. 152-153.

1 komentar so far


EmoticonEmoticon