Ibnu As-Shatir juga berhasil melakukan pemisahan filsafat alam dari astronomi. Tidak seperti astronomer sebelumnya, Ibnu As-Shatir tidak peduli dengan mempertahankan teori prinsip kosmologi atau filsafat alam (Fisika Aristoteles), melainkan untuk memproduksi sebuah model yang lebih konsisten dengan penngamatan empiris. Dalam rangka membuat model barunya tersebut, Ibnu As-Shatir melakukan pengujian dengan melakukan penngamatan empiris. Ibnu As-Shatir juga tidak keberatan terhadap falsafah astronomi Ptolemaic, tetapi ia ingin menguji seberapa jauh teori Ptolemy yang cocok dengan pengamatan empirisnya.
Ibnu As-Shatir juga erupakan astronomer pertama yang memperkenalkan percobaan dalam teori planet untuk menguji model dasar empiris Ptolemaic. Saat menguji model matahari Ptolemaic, Ibnu As-Shatir memaparkan pengujian nilai Ptolemaic untuk bentuk dan ukuran matahari dengan menggunakan pengamatan gerhana bulan.
Menurut catatan sejarah, jam matahari merupakan jam tertua dalam peradaban manusia. Jam ini telah dikenal sejak tahun 3500 SM. Pembuatan jam matahari di dunia Islam dilakukan oleh Ibnu As-Shatir, seorang ahli Astronomi Muslim (1304-1375 M). "Ibnu As-Shatir merakit jam matahari yang bagus sekali untuk menara Masjid Umayyah di Damaskus, "Ujar David A King dalam karyanya bertajuk "The Astronomy of The Mamluks". Berkat penemuannya itu, ia kemudian dikenal sebagai muwaqqit (pengatur waktu ibadah) pada Masjid Umayyah di Damaskus, Suriah. Jam yang dibuat Ibnu As-Shatir itu masih tergolong jam matahari kuno yang didasrkan pada garis jam lurus. Ibnu As-Shatir membagi waktu dalam sehari 12 jam, pada musim dingin waktu pendek, sedangkan pada musim panas waktu lebih panjang. Jam mataharinya itu merupakan polar-axis sundial paling tua yang masih tetap eksis hingga kini.
AULA, edisi Desember 2013.
EmoticonEmoticon