Letusan
Kelud menjadi perhatian raja terbesar Kerajaan Majapahit: Hayam Wuruk. Kawah
Kelud dijadikan tempat membrangus aura jahat keris Empu, Gandring oleh Raja
Singosari: Wisnuwardana. Warga sekitar kaki Kelud percaya, berkelebatnya Sayuti
yang berpenampilan ala pahlawan PETA Shodanco Soeprijadi adalah isyarat akan
meletusnya gunung itu…!
Sendiri konon memanfaatkan
bongkahan logam yang jatuh dari langit. Tak diduga, bongkahan logam itu memiliki
aura yang sangat jahat, kejam dan haus darah. Terbukti, keris itu berhasil
menjabut nyawa Empu Gandring, Akuwu Tunggul Ametung, prajurit Keboijo, Ken Arok
dan Anusapati. Setelah membunuh Anusapati dengan keris Empu Gandring, Tohjaya
pun naik tahta menjadi Raja Singosari. Namun belum setahun menjadi Raja
Singosari, ia tewas dalam sebuah pembrontakan yang dikobarkan oleh Ranggawuni
(anak Anuspati) dan Mahesa Cempaka (anak Mahesa Wong Ateleng). Ranggawuni
kemudian menjadi raja Singosari dan bergelar Wisnuwardhana (1248-1268).
Di masa raja ke 4 Singosari
ini, perseteruan antar keluarga dalam Dinasti Rajasa berakhir dengan
rekonsiliasi. Wisnuwardhana menikah dengan puteri keturunan eks-Kerajaan
Kadiri. Kerajaan Kadiri tamat riwayatnya setelah dihancurkan oleh Ken Arok,
pendiri Kerajaan Singhasari. Wisnuwardhana pun kemudian memerintah bersama
sepupunya Mahesa Cempaka. Mahesa Cempaka menjadi Raja Angabaya dengan nama
Narasinghamurti. Berabad silam, Jawadwipa (Pulau Jawa) dikisahkan selalu dalam
keadaan tidak tenang. Daratannya terombang-ambing, timbul tenggelam terayun
oleh gelombang samudera. Kalangan dewata di kahyangan pusing tujuh keliling,
hingga akhirnya muncul ide cemerlang Betara Guru. “Jawadwipa, harus diberi
pemberat, biar tidak terus terombang-ambing,” demikian ide cemerlang Betara
Guru. “Mahameru yang ada di Jambhudwipa (India), harus dipindahkan ke Jawadwipa,”
lanjut sang betara menjelaskan gagasannya.
Para dewata sepakat Gunung
Mahameru itupun, kemudian dipindahkan ke Pulau Jawa. Namun, dalam proses
pemindahannya, bagian gunung berguguran di sepanjang perjalanan, hingga menjadi
gunung-gunung lain di Nusa Jawa. Satu di antara gunung-gunung itu adalah Kampud
(Kelud). Yang lainnya adalah Gunung Katong (Lawu), Wilis, Kawi, Arjjunai
(Arjuno) dan Gunung Kemukus (Welirang). Tubuh Mahameru diletakkan agak miring.
Menyandar pada Gunung Brahma (Bromo), hingga akhirnya menjadi Gunung Sumeru
(Semeru). Sedang puncak Mahameru didirikan, hingga menjadi Pawitra atau Gunung
Penanggungan.
Masih ada cerita lain,
menyangkut keberadaan Gunung Kelud. Konon, kawah gunung itu sebenarnya
merupakan kuburan dari keris Empu Gandring. Meski kebenaran atas kisah ini
masih perlu pembuktian, namun banyak warga yang terlanjur mempercayainya.
Tetapi sejarah mencatat, betapa haus darahnya keris ciptaan empu itu. Selain
merenggut jiwa si penciptanya (Empu Gandring) sendiri, juga merenggut jiwa
pemesannya (Ken Arok) dan beberapa raja Singosari (1222-1254) lainnya.
Bayang-bayang kutukan Empu
Gandring, terus menghantui pemerintahan bersama itu. Untuk memutus mata rantai
kutukan, pemerintah bernisiatif menghancurkan keris buatan Empu Gandring itu.
Senopati Bungalan ditugasi melarung keris itu ke kawah Gunung Kampud (Gunung
Kelud). Di titik didih yang sangat menyengat, keris itupun hancur lebur dan
berbekas.
Namun lebih-kurang setahun
kemudian, raja kembar itu bermimpi bersama-sama tentang hal yang sama, tetapi
dengan bentuk berbeda bahwa Bungalan ternyata telah berbohong. Keris itu belum
dilarung. Tetapi di hadapan raja, Bungalan bersumpah bahwa tugas benar-benar
telah dilaksanakan. Sumpah Bungalan itupun dikuatkan oleh para prajurit yang
ketika itu menemaninya naik ke puncak Kampud.
HYANG ACALAPATI
Dalam perkembangannya, Kelud menjadi gunung berapi aktif yang memiliki tabiat
paling aneh, di antara sejumlah gunung berapi aktif di Indonesia. Walau
disebut-sebut sebagai gunung berapi aktif tercebol (1.731 mdpl) di Indonesia,
namun jika meletus kedahsyatannya amat menggetarkan.
Sejak abad ke 15, Kelud
telah merenggut korban lebih dari 15 ribu jiwa. Pada tahun 1586, letusannya
merenggut lebih dari 10 ribu jiwa. Kemudian untuk meminimalisir korban, sebuah
sistem untuk mengalihkan aliran lahar dibuat secara ekstensif pada tahun 1926,
dan masih berfungsi hingga kini.
Sepanjang abad ke 20,
Gunung Kelud tercatat 5 kali meletus. Masing-masing terjadi pada tahun 1901,
1919, 1951, 1966,dan 1990. Aktivitas vulkanologi gunung inipun kembali
mengeliat, setelah 17 tahun tidur tenang. Pada sekitar medio November 2007,
pihak VMBG (Vulkanologi daft Mitigasi Bencana Geologi) sempat menerapkan status
awas pada singasana Lembusuro dan Mahesasuro itu.
Kitab Negarakertagama pun
menyebutkan, raja Hayam Wuruk mengunjungi Palah untuk melakukan pemujaan
terhadap Hyang Acalapati atau Raja Gunung Girindra. Yang dimaksud Palah adalah
sebuah kompleks candi yang terletak di sisi lereng barat daya Gunung Kelud atau
sekitar 12 km dari Kota Blitar. Karena berada di Kelurahan Penataran, Kecamatan
Nglegok, Kabupaten Blitar, maka orang lebih akrab menyebut Palah dengan nama
Candi Penataran.
Kompleks Candi Penataran
yang dipugar antara 1917-1918 itu, sebelumnya terbenam oleh material vulkanik
erupsi Gunung Kelud. Bernet Kempers menyatakan, Candi Penataran mencakup masa
250 tahun, dari tahun 1197 (masa Kerajaan Kediri) hingga 1454 (masa Kerajaan
Majapahit). Sedang gugusan candi tersebut ditujukan untuk memuja Dewa Siwa
sebagai Dewa Gunung.
Hayam Wuruk sebagai
inkarnasi dewa gunung, mengunjungi tempat ini dalam rangka berziarah sambil
menguatkan legitimasinya pula. Konon, dia juga bersembah bakti ke hadapan Hyang
Acalapati, untuk memohon keselamatan semua makhluk dari bencana letusan Gunung
Kelud.
Tak berlebihan, jika Hayam
Wuruk memohonkan keselamatan rakyatnya dari bencana letusan Gunung
Kelud. Tetapi, tidak semua warga di sekitar kaki Gunung Kelud tahu akan hal
itu. Yang mereka tahu, terutama warga Kecamatan Nglegok sebuah daerah rawan satu
Gunung Kelud adalah sosok misterius yang akrab dijuluki Sayuti.
Mitos sosok Sayuti
dikaitkan dengan kapan kira-kira Kelud meletus. Sayuti sendiri digambarkan
sebagai sosok pria atletis yang telah menghilang sejak tahun 1945. Setiap kali
Gunung Kelud akan meletus, laki-laki asal Kelurahan Kedungwaru, Kecamatan
Nglegok, akan pulang ke rumah. Dan, beberapa hari setelah warga melihat Sayuti
di rumahnya, Gurung Kelud hampir bisa dipastikan akan meletus.
Dalam setiap pemunculannya,
penampilan Sayuti hampir selalu mengingatkan warga pada seorang tokoh
legendaris PETA: Shodanco Soeprijadi. Mulai dari wajahnya, gerak-geriknya serta
pakaian yang dikenakan Sayuti, mirip sekali dengan Shodanco Soeprijadi.
Benarkah sejatinya Sayuti itu Shodancho Soeprijadi yang pahlawan PETA itu, tak
ada yang berani memastikan. Tetapi yang jelas, warga Nglegok akan merespon
dengan sangat antusias, jika diajak ngobrol tentang tokoh misterius ini.
Katanya, beberapa hari sebelum letusan Kelud di tahun 1951, 1966 dan terakhir
1990 – Sayuti juga pulang ke rumah. Tetapi, setiap kali pulang tidak pernah
lama. Setelah menghilang dari kepulangannya, selang satu atau dua hari kemudian
Gunung Kelud meletus. (Emte)
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil Tim Pustaka
Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi
Jawa Timur : LIBERTY,11-20
APRIL 2012,
EmoticonEmoticon