P
|
eserta didik yang berada pada sekolah dasar kelas satu, dua dan
tiga berada pada rentangan usia dini. Pada usia tersebut seluruh aspek
perkembangan kecerdasan IQ, EQ dan SQ tumbuh dan berkembang sangat luar biasa.
Pada umumnya tingkat perkembangan masih melihat segala sesuatu sebagai satu
keutuhan (holistik) serta mampu memahami hubungan antara konsep secara
sederhana. Proses pembelajaran masih bergantung kepada objek-objek konkrit dan
pengalaman yang dialami secara langsung.
Saat ini
pelaksanaan kegiatan pembelajaran di SD kelas I – III untuk setiap mata
pelajaran dilakukan secara terpisah, misalnya IPA 2 jam pelajaran, IPS 2 jam
pelajaran dan bahasa Indonesia 2 jam pelajaran. Dalam pelaksanaan kegiatannya
dilakukan secara murni mata pelajaran yaitu hanya mempelajari standar
kompetensi dan kompetensi dasar yang berhubungan dengan mata pelajaran itu.
sesuai dengan tahapan perkembangan anak masih melihat segala sesuatu sebagai
suatu keutuhan (holistik), pembelajaran yang menyajikan mata pelajaran secara
terpisah akan menyebabkan kurang mengembangkan anak untuk berpikir holistik dan
membuat kesulitan bagi peserta didik.
Selain itu
dengan pelaksanaan pembelajaran yang terpisah, muncul permasalahan pada kelas awal
(I – III) antara lain adalah tingginya angka mengulang kelas dan putus sekolah.
Angka mengulang kelas dan putus sekolah peserta didik kelas I SD jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan kelas yang lain. Data tahun 1999/2000 memperlihatkan
bahwa angka mengulang kelas I sebesar 11,6% sementara pada kelas II 7,51%,
kelas III 6,13%, kelas IV 4,64%, kelas V 3,1% dan kelas VI 0,37%. Pada tahun
yang sama angka putus sekolah kelas I sebesar 4,22%, masih jauh lebih tinggi
jika dibandingkan dengan kelas II 0,83%, kelas III 2,27%, kelas IV 2,71%, kelas
V 3,79% dan kelas VI 1,78%.
Angka nasional
tersebut semakin memprihatinkan jika dilihat dari data dimasing-masing propinsi
terutama yang hanya memiliki sedikit Taman Kanak-Kanak. Hal itu terjadi
terutama di daerah terpencil. Pada saat ini hanya sedikit peserta didik kelas I
SD yang mengikuti pendidikan prasekolah sebelumnya. Tahun 1999/2000 tercatat hanya
12,61 atau 1.583.467 peserta didik usia 4-6 tahun yang masuk Taman Kanak-Kanak,
dan kurang dari 5% peserta didik berada pada pendidikan prasekolah lain.
Permasalahan
tersebut menunjukkan bahwa kesiapan sekolah sebagian besar peserta didik kelas
awal sekolah dasar di Indonesia cukup rendah. Sementara itu hasil penelitian
menunjukkan bahwa peserta didik yang telah masuk Taman Kanak-Kanak memiliki
kesiapan bersekolah lebih baik dibandingkan dengan peserta didik yang tidak
mengikuti pendidikan Taman Kanak-Kanak. Selain itu perbedaan pendekatan, model dan
prinsip-prinsip pembelajaran antara kelas I dan II SD dengan pendidikan
prasekolah dapat juga menyebabkan peserta didik yang telah mengikuti pendidikan
prasekolah pun dapat saja mengulang kelas atau bahkan putus sekolah.
Atas dasar
pemikiran di atas dan dalam rangka implementasi standar isi yang termuat dalam Standar Nasional Pendidikan, maka
pembelajaran pada kelas I, II dan III lebih sesuai jika dikelola dalam
pembelajaran terpadu melalui pendekatan pembelajaran tematik. Untuk memberikan
gambaran tentang pembelajaran tematik yang dapat menjadi acuan dan contoh
konkret, disiapkan model pelaksanaan pembelajaran tematik untuk SD/MI kelas I
hingga kelas III.
A.
Pengertian Pembelajaran Tematik
Sesuai dengan
tahapan perkembangan anak, karakteristi cara anak belajar, konsep belajar dan
pembelajaran bermakna, maka kegiatan pembelajaran bagi anak kelas awal SD
sebaiknya dilakukan dengan pembelajaran tematik. Pembelajaran tematik adalah
pembelajaran terpadu yang menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata
pelajaran sehingga dapat memberikan pengalaman bermakna kepada siswa. Tema adalah
pokok pikiran atau gagasan pokok yang menjadi pokok pembicaraan
(Poerwadarminta, 1983). Dengan tema diharapkan akan memberikan banyak
keuntungan, di antaranya:
1.
Siswa mudah memusatkan perhatian pada suatu tema tertentu.
2.
Siswa mampu mempelajari pengetahuan dan mengembangkan berbagai
kompetensi dasar antar mata pelajaran dalam tema yang sama.
3.
Pemahaman terhadap materi pelajaran lebih mendalam dan berkesan.
4.
Kompetensi dasar dapat dikembangkan lebih baik dengan mengaitkan
mata pelajaran lain dengan pengalaman pribadi siswa.
5.
Siswa mampu lebih merasakan manfaat dan makna belajar karena materi
disajikan dalam konteks tema yang jelas.
6.
Siswa lebih bergairah belajar karena dapat berkomunikasi dalam
situasi nyata, untuk mengembangkan suatu kemampuan dalam satu mata pelajaran
sekaligus mempelajari mata pelajaran lain.
7.
Guru dapat menghemat waktu karena mata pelajaran yang disajikan
secara tematik dapat dipersiapkan sekaligus dan diberikan dalam dua atau tiga
pertemuan, waktu selebihnya dapat digunakan untuk kegiatan remidial, pemantapan
atau pengayaan.
B.
Tujuan
Tujuan
penyusunan dokumen model pengembangan silabus tematik pada kelas awal Sekolah
Dasar adalah sebagai berikut:
1.
Memberikan pengetahuan dan wawasan tentang pembelajaran tematik.
2.
Memberikan pemahaman kepada guru tentang pembelajaran tematik yang
sesuai dengan perkembangan peserta didik kelas awal Sekolah Dasar.
3.
Memberikan ketrampilan kepada guru dalam menyususn perencanaan,
melaksanakan dan melakukan penilaian dalam pembelajaran tematik.
4.
Memberikan wawasan, pengetahuan dan pemahaman bagi pihak terkait,
sehingga diharapkan dapat memberikan dukungan terhadap kelancaran pelaksanaan
pembelajaran tematik.
C.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup
pengembangan pembelajaran tematik meliputi seluruh mata pelajaran pada kelas I
– III Sekolah Dasar, yaitu Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu
Pengetahuan Alam, Pendidikan Kewarganegaraan, Ilmu Pengetahuan Sosial, Seni
Budaya dan Ketrampilan, serta Pendidikan Jasmani, Olah Raga dan Kesehatan.
D.
Karakteristik Perkembangan Anak Usia Kelas Awal SD
Anak yang
berada di kelas awal SD adalah anak yang berada pada rentangan usia dini. Masa
usia dini ini merupakan masa yang pendek tetapi merupakan masa yang sangat
penting bagi kehidupan seseorang. Oleh karena itu, pada masa ini seluruh
potensi yang dimiliki anak perlu didorong sehingga akan berkembang secara
optimal.
Karakteristik
perkembangan anak pada kelas I, II dan III SD biasanya pertumbuhan fisiknya
telah mencapai kematangan, mereka telah mampu mengontrol tubuh dan
keseimbangannya. Mereka telah dapat melompat dengan kaki secara bergantian,
dapat menangkap bola, dapat mengendarai sepeda roda dua dan telah berkembang
koordinasi tangan dan mata untuk dapat memegang pensil maupun memegang gunting.
Selain itu, perkembangan sosial anak yang berada pada usia kelas awal SD antara
lain mereka telah dapat menunjukkan kelakuannya tentang jenis kelaminnya, mulai
berkopetisi dengan teman sebaya, mempunyai sahabat, mampu berbagi dan mandiri.
Perkembangan
emosi anak usia 6 – 8 tahun antara lain anak telah dapat mengekspresikan reaksi
terhadap orang lain, telah dapat mengontrol emosi, sudah mampu berpisah dengan
orang tua dan telah mulai belajar tentang benar dan salah. Untuk perkembangan
kecerdasannya anak usia kelas awal SD ditunjukkan dengan kemampuannya dalam
melakukan seriasi, mengelompokkan obyek, berminat terhadap angka dan tulisan,
meningkatkan perbendaharaan kata, senang berbicara, memahami sebab akibat dan
berkembangnya pemahaman terhadap ruang dan waktu.
E.
Cara Anak Belajar
Piaget (1950)
menyatakan bahwa setiap anak memiliki cara tersendiri dalam mengintepretasikan
dan beradaptasi dengan lingkngannya (teori perkembangan kognitif). Menurutnya,
setiap anak memiliki struktur kognitif yang disebut schemata, yaitu sistem
konsep yang ada dalam pikiran sebagai hasil pemahaman terhadap objek yang ada
dalam lingkungannya. Pemahaman tentang objek tersebut berlangsung melalui proses
asimilasi (menghubungkan objek dengan konsep yang sudah ada dalam pikiran) dan
akomodasi (proses memanfaatkan konsep-konsep dalam pikiran untuk menafsirkan
objek). Kedua proses tersebut jika berlangsung terus menerus akan membuat
pengetahuan baru menjadi seimbang. Dengan cara seperti itu secara bertahap anak
dapat membangun pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya. Berdasarkan
hal tersebut, maka perilaku belajar anak sangat dipengaruhi oleh aspek-aspek
dari dalam dirinya dan lingkunngannya. Kedua hal tersebut tidak mungkin
dipisahkan karena memang proses belajar terjadi dalam konteks interaksi diri anak
dengan lingkungannya.
Anak usia
sekolah dasar berada pada tahapan operasi konkret. Pada rentang usia tersebut
anak mulai menunjukkan perilaku balajar sebagai berikut: (1) mulai memandang
dunia secara objektif, bergeser dari satu aspek situasi ke aspek situasi lain
secara reflektif dan memandang unsur-unsur secara serentak, (2) mulai berfikir
secar operasional, (3) mempergunakan cara berpikir operasional untuk
mengklasifikasikan benda-benda, (4) membentuk dan mempergunakan keterhubungan
aturan-aturan, prinsip ilmiah sederhana dan mempergunakan hubungan sebab
akibat, (5) memahami konsep substansi, volume zat cair, panjang, lebar, luas
dan berat.
Memperhatiakan
tahapan perkembanngan berpikir tersebut, kecenderungan belajar anak usia
sekolah dasar memiliki tiga ciri, yaitu:
1.
Konkrit. Konkrit mengandung makna proses belajar beranjak dari
hal-hal yang konkrit yakni yang dapat dilihat, didengar, dibaui, diraba dan
diotak-atik, dengan titik penekanan pada pemanfaatan lingkungan sebagai sumber
belajar. Pemanfaatan lingkungan akan menghasilkan proses dan hasil belajar yang
lebih bermakna dan bernilai, sebab siswa
dihadapkan dengan peristiwa dan keadaan yang sebenarnya, keadaan yang
alami, sehingga lebih nyata, lebih faktual, lebih bermakna dan kebenarannya
lebih dapat dipertanggungjawabkan.
2.
Integratif. Pada tahap usia sekolah dasar anak memandang sesuatu
yang dipelajari sebagai suatu keutuhan, mereka belum mampu memilah-milah konsep
dari berbagai disiplin ilmu, hal ini melukiskan cara berpikir anak yang
deduktif yakni dari hal umum ke bagian khusus.
3.
Hierarkis. Pada tahapan usia sekolah dasar, cara anak belajar
berkembang secara bertahap mulai dari hal-hal yang sederhana ke yang lebih
kompleks. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu diperhatikan mengenai
urutan logis, keterkaitan antar materi dan cakupan keluasaan serta kedalaman
materi.
F.
Belajar dan Pembelajaran Bermakna
Belajar pada
hakekatnya merupakan proses perubahan di dalam kepribadian yang berupa
kecakapan, sikap, kebiasaan dan kepandaian. Perubahan ini bersifat menetap
dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau
pengalaman. Pembelajaran pada hakekatnya adalah suatu proses interaksi antar
anak dengan anak, anak dengan sumber belajar dan anak dengan pendidik. Kegiatan
pembelajaran ini akan menjadi bermakna bagi anak jika dilakukan dalam
lingkungan yang nyaman dan memberikan rasa aman bagi anak. Prose belajar
terjadi dalam diri individu sesuai dengan perkembangan dan lingkungannya.
Belajar
bermakna (meaningful learning) merupakan suatu proses dikaitkannya informasi
baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif
seseorang. Kebermaknaan belajar sebagai hasil dari peristiwa mengajar ditandai
oleh terjadinya hubungan antara aspek-aspek, konsep-konsep, informasi atau
situasi baru dengan komponen-komponen yang relevan di dalam struktur kognitif
siswa. Proses belajar tidak sekedar menghafal konsep-konsep atau fakta-fakta
belaka, tetapi merupakan kegiatan menghubungkan konsep-konsep untuk
menghasilakan pemahaman yang utuh, sehingga konsep yang dipelajari akan
dipahami secara baik dan tidak mudah dilupakan. Dengan demikian, agar terjadi
belajar bermakna maka guru harus selalu berusaha mengetahui dan menggali
konsep-konsep yang telah dimiliki siswa dan membantu memadukannya secara
harmonis konsep-konsep tersebut dengan pengetahuan baru yang akan diajarkan. Dengan
kata lain belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami langsung apa yang
dipelajarinya dengan mengaktifkan lebih banyak indera dari pada hanya
mendengarkan orang/guru menjelaskan.
G.
Landasan Pembelajaran Tematik
Landasan
pembelajaran tematik mencakup:
1.
Landasan filosofis dalam pembelajaran tematik sangat dipengaruhi
oleh tiga aliran filsafat yaitu:
a.
Aliran progresivisme, memandang proses pembelajaran perlu
ditekankan pada pembentukan kreatifitas, pemberian sejumlah kegiatan, suasana
yang alamiah (natural) dan memperhatikan pengalaman siswa.
b.
Aliran konstruktivisme, melihat pengalaman langsung siswa (direct
experiences) sebagai kunci dalam pembelajaran. Menurut aliran ini, pengetahuan
adalah hasil konstruksi atau bentukan manusia. Manusia mengkonstruksi
pengetahuannya melalui interaksi dengan obyek, fenomena, pengalaman dan
lingkungannya. Pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seorang guru
kepada anak, tetapi harus diintrepetasikan sendiri oleh masing-masing siswa.
Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang
berkembang terus menerus. Keaktifan siswa yang diwujudkan oleh rasa ingin
tahunya sangat berperan dalam perkembangan pengetahuannya.
c.
Aliran humanisme, melihat siswa dari segi keunikan kekhasannya,
potensinya dan motivasi yang dimilikinya.
2.
Landasan psikologis dalam pembelajaran tematik terutama berkaitan
dengan psikologi perkembangan peserta didik dan psikologi belajar. Psikologi
perkembanngan diperlukan terutama dalam menentukan isi/materi pembelajaran
tematik yang diberikan kepada siswa agar tingkat keluasaan dan kedalamannya
sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik. Psikologi belajar memberikan
kontribusi dalam hal bagaimana isi/materi pembelajaran tematik tersebut
disampaikan kepada siswa dan bagaimana pula siswa harus mempelajarinya.
3.
Landasan yuridis dalam pembelajaran tematik berkaitan dengan
berbagai kebijakan atau peraturan yang mendukung pelaksanaan pembelajaran
tematik di sekolah dasar. Landasan yuridis tersebut adalah UU, No. 23 Tahun
2002 tentang perlindungan anak yang menyatakan bahwa setiap anak berhak
memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan
tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya (pasal 9). UU No. 20
Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menyatakan bahwa setiap peserta
didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan
sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya (Bab V Pasal 1-b).
H.
Arti Penting Pembelajaran Tematik
Pembelajaran
tematik lebih menekankan pada ketertiban siswa dalam proses belajar secara
aktif dalam proses belajar secara aktif dalam proses pembelajaran, sehingga
siswa dapat memperoleh pengalaman langsung dan terlatih untuk dapat menemukan
sendiri berbagai pengetahuan yang dipelajarinya. Melalui pengalaman langsung
siswa akan memahami konsep-konsep yang mereka pelajari dan menghubungkannya
dengan konsep lain yang telah dipahaminya. Teori pembelajaran ini dimotori oleh
para tokoh psikologi Gestalt, termasuk Piaget yang menekankan bahwa
pembelajaran haruslah bermakna dan berorientasi pada kebutuhan dan perkembangan
anak.
Pembelajaran
tematik lebih menekankan pada penerapan konsep belajar sambil melakukan sesuatu
(learning by doing). Oleh karena itu, guru perlu mengemas atau merancang
pengalaman belajar yang akan mempengaruhi kebermaknaan belajar siswa.
Pengalaman belajar yang menunjukkan kaitan unsur-unsur konseptual menjadikan
proses pembelajaran lebih efektif. Kaitan konseptual antar mata pelajaran yang
dipelajari akan membentuk skema, sehingga siswa akan memperoleh keutuhan dan
kebulatan pengetahuan. Selain itu, dengan penerapan pembelajaran tematik di
sekolah dasar akan sangat membantu siswa, karena sesuai dengan tahap
perkembangannya siswa yang masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan
(holistik).
Beberapa ciri
khas dari pembelajaran tematik antara lain:
1.
Pengalaman dan kegiatan belajar sangat relevan dengan tingkat
perkembangan dan kebutuhan anak usia sekolah dasar.
2.
Kegiatan-kegiatan yang dipilih dalam pelaksanaan pembelajaran
tematik bertolak dari minat dan kebutuhan siswa.
3.
Kegiatan belajar akan lebih bermakna dan berkesan bagi siswa
sehingga hasil belajar dapat bertahan lebih lama.
4.
Membantu mengembangkan ketrampilan berpikir siswa.
5.
Menyajikan kegiatan belajar yang bersifat pragmatis sesuai dengan
permasalahan yang sering ditemui siswa dalam lingkungannya.
6.
Mengembangkan ketrampilan sosial siswa, seperti kerjasama,
toleransi, komunikasi dan tanggap terhadap gagasan orang lain.
Pelaksanaan pembelajaran
dengan memanfaatkan tematik ini akan diperoleh beberapa manfaat, yaitu:
1.
Dengan menggabungkan beberapa kompetensi dasar dan indikator serta
isi mata pelajaran akan terjadi penghematan, karena tumpang tindih meteri dapat
dikurangi bahkan dihilangkan.
2.
Siswa mampu melihat hubungan-hubungan yang bermakna sebab
isi/materi pembelajaran lebih berperan sebagai sarana atau alat, bukan tujuan
tujuan akhir.
3.
Pembelajaran menjadi utuh sehingga siswa akan mendapat pengertian
mengenai proses dan materi yang tidak terpecah-pecah.
4.
Dengan adanya pemaduan antar mata pelajaran maka penguasaan konsep
akan semakin baik dan meningkat.
I.
Karakteristik Pembelajaran Tematik
Sebagai suatu
model pembelajaran di sekolah dasar, pembelajaran tematik memiliki karakteristi-karakteristik
sebagai berikut:
1.
Berpusat pada siswa
Pembelajaran
tematik berpusat pada siswa (student centered), hal ini sesuai dengan
pendekatan belajar modern yang lebih banyak menempatkan siswa sebagai subyek
belajar sedangkan guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator yaitu
memberikan kemudahan-kemudahan kepada siswa untuk melakukan aktivitas belajar.
2.
Memberikan pengalaman langsung.
Pembelajaran
tematik dapat memberikan pengalaman langsung pada siswa (direct experiences).
Dengan pengalaman langsung ini, siswa dihadapkan pada sesuatu yang nyata
(konkrit) sebagai dasar untuk memahami, hal-hal yang lebih abstrak.
3.
Pemisahan mata pelajaran, tidak begitu jelas.
Dalam
pembelajaran tematik pemisahan antar mata pelajaran menjadi tidak begitu jelas.
Fokus pembelajaran diarahkan kepada pembahasan tema-tema yang paling dekat
berkaitan dengan kehidupan siswa.
4.
Menyajikan konsep dari berbagai mata pelajaran.
Pembelajaran
tematik menyajikan konsep-konsep dari berbagai mata pelajaran dalam suatu
proses pembelajaran. Dengan demikian, siswa mampu memahami konsep-konsep
tersebut secara utuh. Hal ini diperlukan untuk membantu siswa dalam memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
5.
Bersifat fleksibel.
Pembelajaran
tematik bersifat luwes (flesibel) dimana guru dapat mengaitkan bahan ajar dari
satu mata pelajaran dengan mata pelajaran yang lainnya, bahkan mengaitkannya
dengan kehidupan siswa dan keadaan lingkungan dimana sekolah dan siswa berada.
6.
Hasil pembelajaran sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa.
Siswa diberi
kesempatan untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinnya sesuai dengan minat
dan kebutuhannya.
7.
Menggunakan prinsip belajar sambil bermain dan menyenangkan.
J.
Rambu-Rambu
1.
Tidak semua mata pelajaran harus dipadukan.
2.
Dimungkinkan terjadi penggabungan kompetensi dasar lintas semester.
3.
Kompetensi dasar yang tidak dapat dipadukan, jangan dipaksakan
untuk dipadukan. Kompetensi dasar yang tidak diintegrasikan dibelajarkan secara
tersendiri.
4.
Kompetensi dasar yang tidak tercakup pada tema tertentu harus tetap
diajarkan baik melalui tema lain maupun disajikan secara tersendiri.
5.
Kegiatan pembelajaran ditekankan pada kemampuan membaca, menulis
dan berhitung serta penanaman nilai-nilai moral.
6.
Tema-tema yang dipilih disesuaikan dengan karakteristik siswa,
minat, lingkungan dan daerah setempat.
An-Nida No. 9, edisi September 2008
1 komentar so far
Model pembelajaran tematik ini sangat menarik telah memberikan wawasan bagi tentang mengajar tematik
EmoticonEmoticon