I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pada suatu kegiatan
pendidikan tidak lepas dari kurikulum. Adapun kurikulum digunakan sebagai
pedoman oleh pelaku pendidikan guna meningkatkan kualitas pengajaran di
sekolah. Dengan adanya kurikulum maka diharapkan dunia pendidikan di Indonesia
semakin bermutu dan berkarakter.
Adapun kurikulum pengajaran bahasa Arab mempunyai
keterkaian erat dengan kebutuhan beribadah kepada Tuhan khususnya untuk
menjalankan rukun Islam yang kedua ialah sholat di mana doa dan ucapannya
adalah dengan bahasa Arab.[1]
Namun tidak hanya berkaitan dengan ibadah saja, akan tetapi dalam hal
pengembangan skill, moral serta sosial juga. Sehingga diharapkan para penuntut
ilmu menjadi manusia yang memanusiakan manusia dikemudian hari.
Ketika suatu kurikulum dibuat kemudian
dilaksanakan, baik kurikulum itu bersifat sentralisasi maupun desentralisasi,
keduanya mempunyai kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Adakalanya kurikulum
yang bersifat sentralisasi sesuai untuk suatu daerah tertentu, namun tidak
sesuai untuk daerah yang lain. Seperti di daerah pedesaan atau pedalaman yang
sulit menyesuaikan kemajuan pendidikan di daerah perkotaan.
Ada suatu pendapat yang mengatakan bahwa kurikulum
berarti kendaraan (currere/Latin). Seandal apapun kendaraan dibuat, keandalan
itu baru bisa digapai jika pengendaranya cukup kompeten. Keberhasilan,
profesionalisme dan kompetensi itu ada ditangan guru. Karena pada dasarnya kurikulum itu di buat sebaik
mungkin oleh para penyususunnya.
Namun seiring dengan
perkembangannya, kurikulum masih saja mengalami perubahan sehingga tidak jarang
terdapat kesenjangan di dalam pelaksanaannya. Untuk itu dengan adanya analisis kebutuhan
kurikulum, maka akan dapat diketahui mengenai jarak atau kesenjangan, solusi
dan penilaian kurikulum pendidikan di Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan
masalah adalah sebagai berikut:
1.
Apa pengertian dari pengertian analisis
kebutuhan kurikulum?
2.
Apa tujuan analisis kebutuhan kurikulum?
3.
Apa saja yang terdapat pada kesenjangan kurikulum
antara fakta dan idealnya?
4.
Bagaimanakah solusi dari masalah kurikulum dan
pendidikan?
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Analisis
Kebutuhan Kurikulum
Analisis kebutuhan
merupakan aktivitas ilmiah untuk mengidentifikasi faktor-faktor pendukung dan
penghambat (kesenjangan) proses pembelajaran guna mencapai tujuan pembelajaran
(goals and objectives) yang mengarah pada peningkatan mutu pendidikan.[2]Roger Kaufman dan Fenwick
W. English berpendapat bahwa analisis kebutuhan tidak dapat melepaskan diri
dari pembicaraan sistem pendidikan secara keseluruhan. Dalam sistem pendidikan
terdapat dua tema pokok yaitu manajemen dan kurikulum.[3]
Kata kurikulum berasal
dari bahasa Latin, yakni curriculae yang berarti jarak yang harus
ditempuh oleh seorang pelari. Adapun definisi kurikulum versi Indonesia dalam
UUSPN No. 20 tahun 2003 BAB I Pasal I, pengertian kurikulum adalah seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai
tujuan pendidikan tertentu.[4] Definisi kurikulum ada dua
pengertian:
1.
Mata pelajaran yang harus
ditempuh atau dipelajari siswa baik di sekolah atau perguruan tinggi untuk
memperoleh ijasah tertentu.
2.
Mata pelajaran yang
ditawarkan oleh suatu lembaga pendidikan atau suatu departemen.[5]
Adapun kurikulum bahasa Arab dikeluarkan oleh
Departemen Agama sebagai kurikulum formal yang terkandung berbagai materi yang
harus disampaikan kepada murid. Kurikulum formal meliputi:
1.
Tujuan pengajaran baik
tujuan umum maupun khusus.
2.
Bahan pelajaran yang
tersusun secara sistematis, yang akan disampaikan kepada siswa yang harus
terselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan sesuai dengan alokasi waktu
dalam kurikulum bahasa Arab.
3.
Strategi belajar mengajar
dengan berbagai macam kegiatannya yang dalam kurikulum bahasa Arab telah
ditentukan berbagai metode, sumber atau sarana maupun waktu sebagai petunjuk
kepada guru dalam mengajar.
4.
Sistem evaluasi untuk
mengetahui sampai mana tujuan pengajaran telah tercapai.[6]
Dengan adanya kurikulum maka kegiatan pembelajaran
menjadi terencana dan berjalan sesuai dengan tujuan dan harapan. Dan perlu
diadakan evaluasi agar dapat diketahui sejauh mana kurikulum yang dilaksanakan
sesuai dengan cita-cita bangsa.
B. Tujuan Analisis
Kebutuhan Kurikulum
Salah satu pembagian kebutuhan manusia yang
terkenal dikemukakan oleh Abraham Maslow, yang melihat adanya hierarkhi dalam
kebutuhan, yaitu kebutuhan akan:
1. Survival
(fisiologis).
2. Security (emosional).
3. Love and belonging
(sosial).
4. Self esteem
(personal).
5. Self actualization
(personality).
Menurut
Maslow suatu kebutuhan hanya dapat dipuaskan bila kebutuhan pada tingkat yang
lebih rendah telah terpenuhi.[7]
Definisi analisis kebutuhan menurut Roger Kaufman
dan Fenwick W. English yang menyatakan bahwa analisis kebutuhan adalah suatu
proses formal untuk menentukan jarak atau kesenjangan antara keluaran dan
dampak yang nyata dengan keluaran dan dampak yang diinginkan, kemudian
menempatkan deretan kesenjangan ini dalam skala prioritas, lalu memilih hal
yang paling penting untuk diselesaikan masalahnya. Dalam hal ini kebutuhan yang
diinginkan adalah untuk memperoleh keluaran dan dampak yang ditentukan. Pada
suatu sistem pendidikan, prestasi belajar siswa merupakan tujuan, sedangkan
pendidikan merupakan sebuah alat, seperangkat proses dan cara-cara bagaimana
membantu siswa untuk memiliki kemampuan agar dapat mempertahankan kehidupan
sendiri serta mempunyai peran terhadap masyarakat sekitar bahkan jika mungkin
umat sedunia, setelah mereka menyelesaikan sekolahnya.[8]
Sebelum membahas tentang jarak dan kesenjangan
antara keluaran dan dampak yang nyata dengan keluaran dan dampak yang
diinginkan, maka perlu diketahui mengenai tujuan kurikulum terlebih dahulu.
Tujuan-tujuan kurikulum sebagai berikut:
1.
Sebagai bahan pengajaran (pengetahuan, ketrampilan
dan sikap serta nilai) untuk diajarkan kepada dan dipelajari, dikuasai oleh
peserta didik untuk kenaikan tingkat atau mendapatkan ijazah.
2.
Untuk mendapatkan pengalaman pendidikan.
3.
Untuk mempengaruhi peserta didik dalam pertumbuhan
dan perkembangannya.
4.
Agar peserta didik memperoleh hasil belajar yang
dikehendaki.
5.
Untuk mencapai tujuan pendidikan.
Tujuan kurikulum di atas dapat diartikan juga
untuk mencapai tujuan pendidikan. Kurikulum merupakan alat untuk mencapai
tujuan pendidikan. Karena kurikulum adalah bagian dari pendidikan, maka tujuan
kurikulum hanya untuk kepentingan tujuan pendidikan.[9]
C. Kesenjangan Kurikulum
Antara Fakta Dan Idealnya
Kurikulum
di Indonesia telah mengalami pergantian sebanyak 7 kali. Jika diamati, perubahan kurikulum dari tahun 1947 hingga 2006 yang menjadi
faktor atas perubahan itu diantaranya:
1. Menyesuaikan dengan perkembangan jaman, hal ini dapat dilihat
pada awal perubahan kurikulum dari Rentjana Pelajaran 1947 menjadi Renjtana
Pelajaran Terurai 1952. Awalnya hanya mengikuti atau meneruskan kurikulum yang
ada kemudian dikembangkan lagi dengan lebih menfokuskan pelajaran dengan
kehidupan sehari-hari.
2. Kepentingan politis
semata, hal ini sangat jelas terekam dalam perubahan kurikulum 2004 (KBK)
menjadi kurikulum 2006 (KTSP). Secara matematis masa aktif kurikulum 2004
sebelum diubah menjadi kurikulum 2006 hanya bertahan selama 2 tahun. Hal ini
tidak sesuai dengan perkembangan sebelum-sebelumnya. Dalam kurun waktu yang
singkat ini, tidak bisa dibuktikan baik tidaknya sebuah kerikulum. Hal senada
juga diungkapkan bahwa lahirnya kurikulum 1968 hanya bersifat politis saja, yaitu
mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama.[10]
Kurikulum
yang selama ini mengalami pergantian tidak lain adalah untuk dikembangkan dan
diperbaiki. Sedangkan pengembangan kurikulum dilakukan karena adanya empat
faktor, yaitu:
1. Falsafah bangsa,
masyarakat, sekolah dan guru-guru.
2. Harapan dan kebutuhan
masyarakat.
3. Hakekat anak yang
masing-masing mempunyai perkembangan fisik, mental, psikologi, emosional,
sosial dan cara belajar yang berbeda.
4. Hakekat pengetahuan
atau disiplin ilmu yang disajikan adalah sebagai bahan pelajaran.[11]
Adanya
kurikulum pendidikan di Indonesia tidak selalu berjalan sesuai dengan tujuan
dan harapan. Seiring dengan perubahan kurikulum dari tahun ketahun masih
terdapat kesenjangan antara fakta dan idealnya. Identifikasi kesenjangan kurikulum[12]
seperti pada tabel di berikut ini:
Kondisi Saat
Ini
|
Konsep
Ideal
|
|
|
a) Belum sepenuhnya menekankan pendidikan berkarakter
|
a) Berkarakter mulia
|
b) Belum menghasilkan ketrampilan sesuai kebutuhan
|
b) Ketrampilan yang relevan
|
c) Pengetahuan-pengetahuan lepas
|
c) Pengetahuan-pengetahuan yang terkait
|
|
|
a) Belum relevan dengan kompetensi yang dibutuhkan
|
a) Relevan dengan kompetensi yang dibutuhkan
|
b) Beban belajar terlalu berat
|
b) Materi yang esensial
|
c) Terlalu luas, kurang mendalam
|
c) Sesuai dengan tingkat perkembangan anak
|
|
|
a) Berpusat pada guru (teacher centerd learning)
|
a) Berpusat pada peserta didik (student centered active
learning)
|
b)
Sifat
pembelajaran berorientasi pada buku teks
|
b)
Sifat
pembelajaran yang kontekstual
|
c)
Buku teks
hanya memuat materi bahasan
|
c)
Buku teks
memuat materi dan proses pembelajaran, sistem penilaian serta kompetensi yang
diharapkan
|
Pada masa sekarang siswa tidak hanya diharapkan
unggul diranah kognitif saja, akan tetapi juga diranah afektif dan
psikomotorik. Selain dari identifikasi di atas, apabila kembali menyimak naskah
akademik Komite Reformasi Pendidikan Nasional, maka dapat diketahui tentang
alasan yang mendasari amandemen UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional menjadi RUU Sistem Pendidikan yang baru. Ada beberapa argumen yang
memaparkan kelemahan mendasar dalam UU No. 2 Tahun 1989 apabila ditinjau dari
pengamatan saat ini, yaitu adanya politisasi pendidikan. Pendidikan menjadi
alat pemerintah yang berkuasa dan merupakan bagian dari birokrasi, sehingga
program-programnya harus direstui pemerintah. Hal ini mengakibatkan matinya
berbagai kreativitas dan inovasi dalam bidang pendidikan. Serta adanya sistem
pendidikan sentralistik, sehingga UU disusun sedemikian rupa sebagai acuan
besar yang mengatur segala bentuk kegiatan dalam sistem pendidikan.[13]
Idealnya kurikulum tidak ditetapkan secara kaku, maksudnya sekolah diberi
keleluasaan untuk mengembangkan kurikulum di sekolah, sehingga kepala sekolah
dan guru memiliki kebebasan dalam menerapkannya di kelas.[14]
Setidaknya ada empat pendekatan untuk
mengeksplorasi isi kurikulum, yaitu dengan:
1. Pendekatan kultural.
2. Pendekatan multi
dimensional.
3. Pendekatan
managerial.
4. Pendekatan
profesional.[15]
D. Solusi dari Masalah
Kurikulum Dan Pendidikan
Kurikulum memang bukanlah satu-satunya faktor
penentu kualitas atau keberhasilan sekolah. Akan tetapi ada beberapa faktor
lain di antaranya:
1. Masalah sarana dan
prasarana.
2. Situasi dan kondisi
lingkungan.
3. Kualitas guru sebagai
pelaksana pendidikan, dan lain sebagainya.
Sehingga
diperlukan adanya manajemen kurikulum yang terbagi atas tiga kegiatan pokok:
1. Perencanaan
(planning) kurikulum. Berfungsi untuk:
a. Pedoman atau alat
manajemen
b. Penggerak roda
organisasi dan tata laksana untuk menciptakan perubahan dalam masyarakat yang
sesuai dengan tujuan organisasi.
c. Motivasi untuk
melaksanakan sistem pendidikan agar mencapai hasil optimal
2. Pelaksanaan
(actiating) kurikulum. Mencakup tiga pokok bahasan:
a. Pengembangan program
b. Pelaksanaan pembelajaran
c. Evaluasi
3. Evaluasi (evaluation)
kurikulum. Setiap program, kegiatan-kegiatan dan sesuatu yang direncanakan
selalu diakhiri dengan evaluasi. Bertujuan untuk melihat kembali apakah suatu
program atau kegiatan yang telah dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan.
Penilaian kurikulum dilakukan untuk mencari jawaban atas permasalahan seperti
berikut:
a. Sejauh mana pelaku atau
pelaksana di lapangan telah memahami dan menguasai kurikulum lengkap dengan
semua komponennya.
b. Sejauh mana efektivitas
pelaksanaannya di sekolah.
c. Sejauh mana
efektivitas penggunaan sarana penunjang seperti buku, alat pelajaran atau
peraga dan fasilitas lainnya serta biaya dalam menunjang pelaksanaan kurikulum
tersebut.
d. Sejauh mana siswa
telah berhasil mencapai tujuan yang dirumuskan, atau sejauh mana siswa telah
menguasai pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang diharapkan.
e. Apakah ada dampak
pelaksanaan kurikulum, baik yang sifatnya positif maupun negatif yang merupakan
akibat yang ditimbulkan oleh kurikulum yang belum diperkirakan sebelumnya.[16]
Karena kurikulum diatur dalam Undang-Undang, jika
sungguh-sungguh ingin melakukan pemikiran ulang terhadap pendidikan nasional,
maka salah satu langkah yang dapat dapat dilakukan adalah dengan kembali ke UU
No. 4 tahun 1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah. Ada
beberapa alasan yang mendasari pernyataan tersebut, seperti berikut:
1. Sudah terbukti bahwa
nafas Undang-Undang tersebut, secara filosofis, budaya dan politik lebih
bermutu, demokratis, universal dan memiliki rasa kebangsaan yang tinggi bila
dibandingkan dengan UUSPN tahun 1989 atau Draf Amandemen terhadap UUSPN tahun
1989. Hal itu karena Undang-Undang No. 4 tahun 1950 dibuat dalam suasana
politik demokratis dan oleh founding fathers yang termasuk orang-orang
terdidik secara baik, sehingga produk yang dihasilkannya juga demokratis dan
baik. Sedangkan UUSPN dibuat oleh rezim yang totaliter.
2. Praktik pendidikan
yang didasarkan pada UU No. 4 tahun 1950, terutama ketika masih zaman Soekarno,
jauh lebih bermutu, demokratis, egaliter, mandiri dan mampu menghasilkan
orang-orang yang cakap, susila dan beradab.
3. Rumusan draf UU
Pendidikan yang diajukan oleh Komite Reformasi Pendidikan Nasional adalah
sebagai revisi terhadap UUSPN yang dinilai terlalu sentralistis dan tidak lebih
baik bila dibandingkan dengan UU No. 4 tahun 1950.[17]
Ada suatu statemen yang menyatakan bahwa yang lama
belum tentu jelek. Hal ini mengingatkan tentang UU No. 4 tahun 1950 Pasal 3
yang berbunyi: “Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila
yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang
kesejahteraan masyarakat dan tanah air.” Dalam rumusan dasar dan tujuan
pendidikan jelas sekali bahwa rumusan UU No. 4 Tahun 1950 dilakukan oleh orang
yang memiliki watak kuat, susila, demokratis, memiliki tanggung jawab terhadap
masyarakat dan rasa kebangsaan yang tinggi sebagai warga negara.[18]
III.
PENUTUP
Simpulan
1.
Analisis kebutuhan kurikulum merupakan suatu
proses formal untuk menentukan jarak atau kesenjangan antara seperti apa yang
ada dan bagaimana seharusnya dari suatu kurikulum, diambil prioritas masalah
utamanya lalu diselesaikan masalahnya. Analisis kebutuhan adalah alat yang
konstruktif dan positif untuk melakukan perubahan yang didasarkan atas logika
yang bersifat rasional, perubahan yang bersifat fungsional yang dapat memenuhi
kebutuhan warga negara, kelompok dan individu.
2.
Karena kurikulum adalah bagian dari pendidikan,
maka tujuan kurikulum hanya untuk kepentingan tujuan pendidikan. Adapun tujuan
dari analisis kebutuhan kurikulum adalah untuk mencari solusi yang tepat untuk
memecahkan masalah kurikulum.
3.
Kesenjangan yang terdapat pada pelaksanaan kurikulum
saat ini adalah pada bidang kompetensi lulusan, materi pembelajaran dan proses
pembelajaran.
4.
Solusi sementara dari permasalahan kurikulum dan
pendidikan adalah perbaikan manajemen pelaksanaan kurikulum dan kembali pada UU
No. 4 tahun 1950 Pasal 3 yang dianggap tidak terlalu bersifat sentralistis.
DAFTAR PUSTAKA
.......http://hotnewsterbaru.blogspot.com/2012/12/identifikasi-kesenjangan-kurikulum.html,
diakses pada tanggal 5 Maret 2013.
.......http://www.scribd.com/doc/68177374/UUSPN-20-2003, diakses pada tanggal 5 Maret 2013.
……http://malikabdulkarim.blogspot.com/2011/05/sejarah-perkembangan-kurikulum.html,
diakses pada tanggal 5 Maret 2013.
……http://www.mediapendidikan.net/index.php?option=com_content&view=category&id=31&Itemid=28,
diakses pada tanggal 1 Maret 2013.
Arikunto, Suharsimi. dan Cepi Safruddin Abdul Jabar. Evaluasi
Program Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. 2009.
Darmaningtyas. Pendidikan Rusak-Rusakan.
Yogyakarta: LkiS Group. 2011.
Fachrudin. Teknik Pengembangan Kurikulum Pengajaran Bahasa Arab. Yogyakarta:
Global Pustaka Utama. 2006.
Hamalik, Oemar. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem.
Jakarta: Bumi Aksara. 2003.
J. Mandalika. Dasar-Dasar Kurikulum
(Buku I). Surabaya: SIC Surabaya. 1995.
Khasanah, Nur. Efektivitas Kurikulum Pendidikan Agama Islam Dalam
Peningkatan Mutu Di SMA “Terpadu” YPP Nurul Huda Surabaya (Skripsi). Surabaya:
Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya 2010.
S. Nasution. Pengembangan Kurikulum.
Bandung: Bumi Aksara. 1991.
[2]……http://www.mediapendidikan.net/index.php?option=com_content&view=category&id=31&Itemid=28,
diakses pada tanggal 1 Maret 2013.
[3] Suharsimi Arikunto dan
Cepi Safruddin Abdul Jabar, Evaluasi Program Pendidikan (Jakarta:Bumi
Aksara, 2009), 71.
[5] Fachrudin, Teknik Pengembangan Kurikulum Pengajaran Bahasa Arab,
54.
[6] Ibid, 53-55.
[7] S. Nasution, Pengembangan
Kurikulum (Bandung: Bumi Aksara, 1991), 86.
[8] Arikunto dan Cepi
Safruddin Abdul Jabar, Evaluasi Program Pendidikan, 72.
[9] J. Mandalika, Dasar-Dasar Kurikulum (Buku I)
(Surabaya: SIC Surabaya, 1995), 18.
[10] …… http://malikabdulkarim.blogspot.com/2011/05/sejarah-perkembangan-kurikulum.html,
diakses pada tanggal 5 Maret 2013.
[11] Fachrudin, Teknik
Pengembangan Kurikulum Pengajaran Bahasa Arab, 57.
[12] ....... http://hotnewsterbaru.blogspot.com/2012/12/identifikasi-kesenjangan-kurikulum.html,
diakses pada tanggal 5 Maret 2013.
[13]
Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan (Yogyakarta: LkiS Group, 2011),
305.
[14]
Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan, 308.
[15] Oemar Hamalik, Perencanaan
Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), 133.
[16] Nur Khasanah, Efektivitas
Kurikulum Pendidikan Agama Islam Dalam Peningkatan Mutu Di SMA “Terpadu” YPP
Nurul Huda Surabaya (Skripsi), (Surabaya: Institut Agama Islam Negeri Sunan
Ampel Surabaya, 2010), 3-15.
[17] Darmaningtyas, Pendidikan
Rusak-Rusakan, 304.
[18] Ibid, 296.
EmoticonEmoticon