BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Problema yang dihadapi oleh generasi muda masa kini terus
berkembang semakin subur. Problema yang dihadapi tersebut merupakan peringatan
dini yang akibatnya akan membawa kefatalan yang mengerikan. Mereka adalah para
penanggung-jawab dari generasi yang akan datang sesudah mereka.
Maka dari itu agar kesalahan yang fatal tidak terjadi, kita harus
membina sejak dari sekarang dimulai dari keluarga kita sendiri tentang
pentingnya pendidikan keluarga. Sebagai rujukan kita dapat mengambil dari
berbagai nasehat yang telah Rasulullah sampaikan dalam hadits-haditsnya.
B.
Rumusan
Masalah
- Bagaimanakah pernyataan hadits-hadits tentang pendidikan keluarga?
- Bagaimanakah pemaparan teori atau konsep pendidikan kontemporer yang sesuai dengan hadits-hadits pendidikan keluarga?
- Bagaimanakah pendapat atau analisa pemakalah terhadap hadits dan konsep pendidikan kontemporer?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hadits
tentang Pendidikan Keluarga
Pendidikan keluarga mencakup seluruh aspek dan melibatkan semua
anggota keluarga, mulai dari bapak, ibu dan anak-anak. Namun yang lebih penting
adalah pendidikan itu wajib diberikan orang tua (orang dewasa) kepada
anak-anaknya. Anak bukanlah sekedar yang terlahir dari tulang sulbi, atau anak
cucu keturunan kita saja, namun termasuk juga anak seluruh orang muslim dimana
pun mereka berada atau berasal dari kebangsaan mana pun. Kesemuanya adalah
termasuk generasi umat yang menjadi tempat bertumpu harapan kita, untuk dapat
mengembalikan kesatuan umat seutuhnya.[1]
Hadits-hadits pendidikan di bawah ini adalah sebagian dari nasehat bapak
pendidikan umat Islam Nabi Muhammad SAW, di antaranya:
1.
Hadits
tentang berbakti kepada ibu-bapak
عَنْ
اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اَللهُ عَنْهُ قَالَ: اَقْبَلَ رَجُلٌ اِلَى رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ: اُبَايِعُكَ عَلَى الهِجْرَةِ وَالْجِهَادِ
اَبْتَغِى الآجْرَ مِنَ اللهِ قَالَ: هَلْ مِنْ وَالِدَيْكَ اَحَدٌ حَيٌّ؟ قَالَ:
نَعَمْ. قَالَ: فَارْجِعْ اِلَى وَالِدَيْكَ فاَحْسِنْ صُحْبَتَهُماَ (رواه مسلم)
Artinya: “Dari Abu Hurairota r.a. berkata: Ada
seorang laki-laki menghadap kepada Rasulullah SAW lalu ia berkata : Saya
berjanji kepada engkau, wahai Rasulullah untuk berhijrah dan berjuang agar
mendapatkan pahala dari Allah. Beliau bersabda: Apakah salah seorang dari kedua
orang tuamu masih hidup? Laki-laki itu menjawab: Ya, masih. Beliau bersabda
pula: Pulanglah kamu kepada kedua orang tuamu dan dampingilah keduanya dengan
baik." (H.R. Muslim)[2]
2.
Hadits
tentang tanggung jawab kepala rumah tangga
عَنِ
عَائِشَةٍ رَضِيَ الله ُعَنْهَا قَالَتْ: دَخَلَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةِ اِمْرَأَةُ
أَبِى سُفْيَانَ عَلَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ فَقَالَتْ :
يَا رَسُوْلَ اللهِ اَنْ أَبَا سُفْيَانَ
رَجُلٌ شَحِيْحٌ لَا يُعْطِيْنِيْ مِنَ النَفَقَةِ مَا يَكْفِيْنِى وَيَكْفِى اِبْنِى
اِلَّا مَاأَخَذَتْ مِنْ مَالِهِ بِغَيْرِ عَلَّمَهُ, فَهَلْ عَلىَّ فِى ذَلِكَ مِنْ
جُنَاحِ؟ فَقَالَ: خُذِى مِنْ مَالِهِ بِالمْعَرْوُفْيِ مَا يَكْفِيْكَ وَمَا يَكْفِي
بَنِيْكَ. (متفق عليه)
Artinya: “Aisyah RA menceritakan, bahwa pada suatu kali
datanglah Hindun binti ‘Utbah, yaitu isteri Abu Sufyan menemui Rasulullah SAW
seraya berkata, “Hai Rasulullah! Abu Sufyan itu ialah laki-laki yang kikir,
sehingga tidak diberinya saya nafkah yang memadai untukku, kecuali hanya dengan
mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah saya berdosa dengan begitu?”
Jawab Beliau, “Ambillah sebagian hartanya itu dengan niat baik secukupnya yaitu
untukmu dan anak-anakmu.” (Mutafaq ‘Alaih)
3.
Hadits
tentang tugas-tugas istri atau ibu
وَاْلاِمْرَأَةُ
فِى اْليَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ, وَهِىَ مَسْؤُوْلَةٌ عَنْ رَاعِيَتِهَا (رواه
البخاري ومسلم)
Artinya: “Dan seorang istri adalah penanggung jawab (pemimpin) di dalam rumah
suaminya dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya atas tugas dan kewajiban
itu.” (HR. Bukhori dan Muslim)[3]
4. Hadits tentang pendidikan terhadap anak
حَدَّثَنَا مُؤَمَّلُ بْنُ هِشَامٍ يَعْنِي
الْيَشْكُرِيَّ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ عَنْ سَوَّارٍ أَبِي حَمْزَةَ قَالَ أَبُو
دَاوُد وَهُوَ سَوَّارُ بْنُ دَاوُدَ أَبُو حَمْزَةَ الْمُزَنِيُّ الصَّيْرَفِيُّ
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ ,قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ
وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي
الْمَضَاجِعِ[4]
Artinya: “Berkata Mu’ammal ibn Hisyam Ya’ni al
Asykuri, berkata Ismail dari Abi Hamzah, berkata Abu Dawud dan dia adalah
sawwaru ibn Dawud Abu Hamzah Al Muzanni Al Shoirofi dari Amru ibn Syu’aib dari
ayahnya dari kakeknya berkata, berkata Rasulullah SAW: Suruhlah anakmu
melakukan sholat ketika berumur tujuh tahun. Dan pukullah mereka karena mereka
meninggalkan sholat ketika berumur sepuluh tahun. Dan pisahlah mereka (anak
laki-laki dan perempuan) dari tempat tidur.” (H.R. Abu Dawud)[5]
B.
Konsep
Pendidikan Kontemporer Berdasarkan Hadits-Hadits tentang Pendidikan Keluarga
Sesuai dengan penjelasan hadits-hadits di atas, maka dapat kita
ambil beberapa konsep pendidikan kontemporer yang sesuai dengan hadits-hadits
tentang pendidikan keluarga. Di antaranya seperti penjelasan di bawah ini:
1.
Pendidikan
tentang berbakti kepada orang tua
Menghormati dan bersikap santun kepada orang tua, diperintahkan
oleh Allah dan Rasul-Nya. Rasa hormat dan santun tidak boleh berkurang
kendatipun berbeda agama dengan orang tua itu (ibu-bapak). Agama Islam membedakan
antara pergaulan dan akidah. Pergaulan berhubungan dengan sesama manusia,
termasuk ibu bapak. Sedangkan akidah (iman) berhubungan dengan Allah SWT.[6]
Cara berbakti kepada kedua orang tua ibu-bapak di antaranya:
a.
Bersikap
sopan santun, berkata lemah lembut yang menyejukkan hati keduanya.
b.
Perlihatkan
muka yang jernih bila berhadapan dengan keduanya.
c.
Berilah
keperluan hidupnya yang layak.
d.
Tempatkan
keduanya pada tempat (rumah) yang layak.
Perhatian, sikap lemah lembut dan sopan santun lebih diutamakan.
Sebab, materi, bukan segala-galanya. Walaupun kedua orang tua kaya raya, tetapi
pemberian anaknya sangat tinggi nilainya dimata ibu-bapaknya. Orang tua tidak
melihat harga barang yang diterimanya dan tidak pula
melihat besar kecilnya. Keiklasan anaknya yang paling utama.[7]
Perlu diketahui bahwa berbakti kepada ibu adalah lebih berlipat
pahalanya dari kebaktian terhadap ayah. Begitulah maksud dari sebuah riwayat
hadits. Hal ini disebabkan karena sang ibu telah mangalami kesusahan dan
kepayahan mengandung yang diikuti dengan sakitnya melahirkan anak, menyusui dan
mengasuhnya hingga menjadi besar, dan seterusnya senantiasa memberikan penuh
perhatian, belas kasih dan kasih sayang.
Sebagaimana seseorang itu wajib berbakti kepada kedua orang tua
semasa mereka masih hidup, maka wajib pula berbakti kepada keduanya sesudah
mereka mininggal dunia. Mendoakan orang yang sudah mati, dengan istighfar dan
memohon ampunan bagi mereka, bersedekah bagi pihak mereka adalah terkandung
faedah dan manfaat yang besar bagi orang-orang yang sudah mati. Maka, hendaknya
setiap orang tidak melalaikan perkara-perkara itu khususnya bagi kedua ibu-bapaknya,
kemudian kepada keluarga dan orang-orang yang telah berbaik budi terhadap kita,
dan sesudah itu kepada kaum muslimin sekalian.[8]
2.
Pendidikan
tentang tanggung jawab kepala rumah tangga
Seorang ayah mempunyai tugas dan kewajiban terhadap anaknya yaitu,
mengurus segala hajat dan keperluan mereka manakala membutuhkan. Seperti dalam
hadits Nabi SAW:
عَنْ
أَبِى مَسْعُوْدٍ البَدْرِيِّ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِي صَلىَّ اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اِذَا اَنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى اَهْلِهِ يَحْتَسِبُهَا
فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ (رواه متفق عليه)
Artinya: “Dari Abu Mas’ud Badri r.a. dari Nabi SAW bersabda:
apabila seorang lelaki memberikan nafkah kepada keluarganya dengan rela maka
yang demikian itu suatu sedekah baginya.” (HR. Mutafaq ‘Alaih)[9]
Lebih dari itu, seorang ayah
harus mendidik anak-anaknya, mengurus segala keperluan hidupnya, membimbingnya
kepada akhlak yang terpuji, kelakuan yang baik dan perangai yang mulia, di
samping memelihara dan menjauhkan mereka dari perkara-perkara yang sebaliknya.
Juga , memuliakan semua perintah dan larangan agama, menyampingkan urusan
keduniaan, melebihkan dan mengutamakan urusan akhirat.
Tugasnya yang lain ialah, memberi nama yang baik kepada anaknya,
memilihkan istri dari keturunan orang-orang yang berbudi pekerti yang baik dan
sholih, agar menjadi ibu yang diberkati oleh anaknya kelak. Hendaklah seorang
ayah berlaku adil dalam pemberiannya kepada anak-anaknya. Tidak boleh
melebihkan seorang atas lainnya, karena membedakan kasih sayang dan mengikuti
kehendak hawa nafsunya sendiri.
Orang yang mengabaikan pendidikan anak-anaknya sebagaimana tersebut
di atas, tidak memperhatikan pengajaran atas mereka, malah membuka pintu
hatinya agar senantiasa cinta dunia dan tunduk di bawah kekuasaannya, sehingga
anak-anak itu mendurhakai mereka dan tidak mengikuti petunjuk ajarannya, maka
janganlah ia menyalahkan orang lain selain diri sendiri. Kerugian itu selalu
menimpa orang yang alpa dan lalai. Di zaman ini, terlalu banyak anak-anak yang
durhaka dan tidak mau mendengar perkataan ibu-bapaknya tersebar dimana-mana.
Apabila kita teliti, penyebabnya tidak lain karena kelalaian ibu-bapaknya yang
telah menyia-nyiakan pemeliharaan anak-anak itu sejak kecil.[10]
3.
Pendidikan
tentang tugas-tugas istri atau ibu
Tugas-tugas istri ialah fardhu’ain. Para ulama dalam hal ini
sepakat, Syaikh Al Ghazali ulama Mesir kontemporer yang sering membela hak-hak
perempuan menyatakan: ”Betapapun juga, prinsip dasar yang harus kita ikuti atau
kita upayakan agar selalu dekat padanya ialah “rumah”. Saya benar-benar merasa
gelisah pada kebiasaan para ibu rumah tangga yang meninggalkan (membiarkan)
anak-anaknya tinggal dan diasuh oleh para pembantu atau diserahkan pada tempat
penitipan anak. Nafas seorang ibu memiliki pengaruh yang luar biasa dalam
menumbuhkan dan memelihara perilaku kebajikan dalam diri anak-anaknya.[11]
Tugas seorang ibu yang paling utama adalah melahirkan, menyusui
hingga membesarkan anak. Setelah melahirkan peran ibu sangat dibutuhkan oleh
bayi yaitu pemberian ASI yang cukup. Mulai dari mengandung hingga proses menyusui,
pendidikan sudah mulai diajarkan. Berdasarkan pandangan yang diteliti, bahwa
bayi yang baru lahir khususnya pada hari-hari dan bulan-bulan pertama, akan
ditemukan sosok tubuh yang tulangnya masih lemah dan urat-uratnya masih lemas.
Dia ibarat adonan roti yang terhidang di hadapan kita, siap dipolakan sesuai
dengan keinginan kita. Setiap aspek kesehatan yang berkaitan dengan
pertumbuhannya secara wajar, wajib diikuti dan harus diperhatikan, khususnya
mengenai kebersihan dan kesucian, waktu musim, pergantian udara dan lain
sebagainya.
Bayi bukanlah hanya sekedar badan, akan tetapi bayi itu tersusun
atas badan wadak (tubuh) serta badan halus (ruh). Pengembangan potensi yang
dimiliki keduanya sangat dipengaruhi oleh bentuk perlakuan dan kebiasaan keseharian. Yakni
sebagaimana dilukiskan dalam sebuah syair:
فاَلْنَفْسُ
كَالطِّفْلِ اِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ عَلَي# حُبِّ الرَّضَاعِ وَاِنْ تَفْطِمْهُ
يَنْفَطِمُ #
“Jiwa, bagaikan bayi
mungil. Jika engkau biarkan menyusu, cenderung untuk menyusu hingga dewasa. Dan
andaikan engkau sapih, niscaya dia akan tersapih.”
Demikianlah, kehidupan kejiwaan akan merekam
berbagai isyarat, nada, gerak, profil, gambaran serta wajah. Dari sini akan
tampak peranan seorang ibu dalam mewarnai perilaku sang anak. Dia adalah
lembaga pendidikan yang pertama, yang mengajar muridnya secara individual.
Sedangkan gerak dan kebiasaan keseharian, merupakan mata pelajaran. Pelajaran
yang disapaikan oleh sang ibu terhadap anaknya merupakan peletakan batu pertama
bagi pondasi kehidupan sang bayi untuk masa sekarang maupun masa yang akan
datang.[12]
4.
Pendidikan
terhadap anak
Pengertian hadits tentang pendidikan terhadap anak di atas
mengandung pengertian yang sangat dalam dan bermakana luas, lagi mencakup
pembahasan yang dimaksud, yakni:
a.
Pembahasan
tentang kedudukan ibadah dan pengaruhnya sangat besar terhadap pendidikan.
b.
Hadits
di atas memberi petunjuk dan mengandung hikmah serta tujuan yang sangat dalam.
Secara rasional, ibadah berupa shalat, puasa maupun yang lain,
berperan mendidik pribadi manusia hingga kesadaran dan pikirannya terus-menerus
berfungsi dalam semua pekerjaan. Pada hakikatnya semua pekerjaan yang dilakukan
oleh manusia, apabila tidak ditimbang dengan neraca keridhaan Allah, maka
perbuatan tersebut akan berubah menjadi malapetaka bagi yang melakukannya.[13]
Sejak dini, seorang anak sudah harus dilatih ibadah, diperintah
melakukannya dan diajarkan hal-hal yang haram serta yang halal.
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ
عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
Artinya: “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat
dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu,
Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akhirat (yang baik) itu adalah bagi
orang yang bertaqwa.” (Q.S. Thaha: 132)[14]
Kalau shalat belum diwajibkan atas anak-anak yang masih kecil
mengingat mereka belum berstatus mukallaf. Islam mewajibkan kepada orang tua
atau walinya untuk melatih mereka dan memerintahkannya kepada mereka. Islam
menekankan kepada kaum muslimin, untuk memerintahkan anak-anak mereka
menjalankan shalat kepada mereka telah berusia tujuh tahun. Hal ini dimaksudkan
agar mereka senang melakukannya dan sudah terbiasa semenjak kecil. Sehingga
apabila semangat beribadah sudah bercokol pada jiwa mereka, niscaya akan muncul
kepribadian mereka atas hal tersebut.
Dengan demikian, diharapkan ia punya kepribadian dan semangat
keagamaan yang tinggi. Tujuan mengajarkan wudhu dan menunaikan shalat fardhu
pada waktunya, pada dasarnya adalah mengajarkan ketaatan, disiplin, kesucian dan
kebersihan. Demikian pula dengan membiasakan anak-anak kecil menunaikan puasa,
adalah dalam rangka supaya mereka sabar dalam beribadah dan dalam menghadapi
beban-beban kehidupan.[15]
C. Analisa tentang Konsep Islam dalam Pendidikan
Keluarga
Keluarga merupakan
batu bata dalam bangunan bangsa. Satu bangsa terdiri dari kumpulan keluarga,
bangsa itu akan lemah bila rumah tangga itu rapuh dan lemah.[16]
Oleh sebab itu, setiap komponen dalam keluarga memiliki peranan penting. Dalam
ajaran agama Islam, anak adalah amanat Allah. Amanat wajib
dipertanggungjawabkan, Allah memerintahkan: “Jagalah dirimu dan keluargamu
dari siksaan neraka”. [Q.S. At-Tahriim: 6]. Kewajiban itu dapat
dilaksanakan dengan mudah dan wajar karena orang tua memang mencintai anaknya. Manusia
diciptakan oleh Allah mempunyai sifat mencintai anaknya. “Harta dan
anak-anak merupakan perhiasan kehidupan dunia”. [Al-Kahfi ayat 46].
Uraian diatas
menegaskan bahwa:
1.
Wajib bagi orang tua menyelenggarakan pendidikan
dalam rumah tangganya.
2.
Kewajiban itu wajar (natural) karena Allah
menciptakan orang tua yang bersifat mencintai anaknya.
Agama Islam secara jelas mengingatkan para orang tua untuk berhati-hati
dalam memberikan pola asuh dan memberikan pembinaan keluarga sakinah, seperti
yang termaktub dalam QS Lukman ayat 12 sampai 19. Dan apabila kita kaji isi
ayat di atas, maka kita akan menemukan beberapa point-point penting di antaranya
adalah :
1.
Pembinaan
jiwa orang tua
Pembinaan jiwa orang tua di jelaskan dalam Surah Luqman ayat 12 :
Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu “Bersyukurlah
kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya
ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.
2.
Pembinaan
tauhid kepada anak
Makna tentang pembinaan tauhid, Luqman Ayat 13 : Dan (ingatlah)
ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya :
“Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah kezhaliman yang besar”. Luqman Ayat 16 :
(Lukman berkata) : Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan)
seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau dalam bumi,
niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha
Halus lagi Maha Mengetahui.”
3.
Pembinaan
akidah kepada anak
Mengenai pembinaan akidah ini, Surah Luqman memberikan gambaran
yang begitu jelas. Dalam surat tersebut pembinaan akidah pada anak terdapat
dalam empat buah ayat yaitu ayat 14, 15, 18 dan ayat ke 19.
4.
Pembinaan
sosial pada anak
Pembinaan sosial pada anak dalam keluarga, dijelaskan dalam surat
Luqman ini melalui ayat ke 16 dan ayat ke 17. Untuk ayat ke 16 telah disebutkan
pada point ke dua. Sedangkan ayat ke 17 dari surat Luqman berbunyi : “Hai
anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan
cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang
menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang patut
diutamakan.”[17]
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Maka dari penjelasan di atas dapat kami simpulkan bahwa, keluarga
adalah suatu komponen terkecil dalam suatu bangsa. Apabila dalam bangsa itu
terdapat satu keluarga saja yang lemah atau rusak maka bangsa itu akan lemah
juga. Anak merupakan bagian dari keluarga yang sangat membutuhkan pembinaan dari
kedua orang tuanya. Pembinaan itu mencakup:
1.
Pembinaan
jiwa orang tua
2.
Pembinaan
tauhid kepada anak
3.
Pembinaan
akidah kepada anak
4.
Pembinaan
sosial pada anak
B.
Daftar
Pustaka
Abu Dawud,
Sunan Abu Dawud , Al Maktabah As
Syamilah: As Sholat, 418.
Al-Halwani, Aba Firdaus, Melahirkan Anak Saleh, Yogyakarta:
Mitra Pustaka, 1999.
Haddad, Imam Habib Abdullah, Nasehat Agama dan Wasiat Iman,
Semarang: CV Toha Putra: 1993.
Hasan, M. Ali, Mengamalkan
Sunnah Rasulullah, Jakarta: Siraja, 2003.
Mahfudz, M.
Jalaluddin, Psikologi Anak dan Remaja, t.t.: Pustaka Al-Kautsar, t.t.
Muhammad,
Husein, Fiqih Perempuan, Yogyakarta: LKiS, 2001.
Muslim,
Romdoni, Hadits Akhlak, Jakarta: Restu Ilahi, 2004.
Rifa’i, Moh., Terjemah/ Tafsir Al Qur’an, Semarang: CV
Wicaksana, 1997.
Syahid, Mahmud,
Akidah dan Syariah Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1990.
Zarkasih. Monday, 26 April 2010
09:40 (mahardhikazifana.com, diakses 17 Oktober 2011).
2 komentar
Tulisan yang mudah-mudahan bermafaat ..
admin
www.RumahBelanjaMuslim.Com
InsyaAllah bermanfaat
EmoticonEmoticon