A.
Pengertian Siswa
Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan dapat dimaknai dengan
anak-anak yang tergolong cacat atau yang menyandang ketunaan, dan juga anak
lantib dan berbakat (Mulyono, 2006:26). Dalam perkembangannya, saat ini konsep
ketunaan berubah menjadi berkelainan (exeptio) luar biasa. Konsep ketunaan
berbeda dengan konsep berkelainan. Konsep ketunaan hanya berkenaan dengan
kecacatan sedangkan konsep berkelainan atau luar biasa mencakup anak menyandang
ketunaan maupun yang dikaruniai keunggulan.
Banyak istilah digunakan untuk
mengkategorikan anak-anak dengan kebutuhan khusus, di antaranya mencakup:
dungu, gangguan fisik, lumpuh otak, gangguan emosional, ketidakmampuan mental
gangguan pendengaran, gangguan pengliahatan, ketidakmampuan belajar, autistik,
dan keterlambatan perkembangan. Petunjuk yang berguna untuk memikirkan dan
merencanakan perlakuan guru untuk menghadapi siswa berkebutuhan khusus:
1.
Tekankan keunikan dan nilai
dari semua anak dari pada perbedaan mereka.
2.
Jaga pandangan
masing-masing: hindari penekanan ketidakmampuan dengan mengenyampingkan
pencapaian masing-masing.
3.
Pikirkan cara anak yang
tidak berkemampuan dapat melakukan sesuatu sendiri atau untuk anak yang lain.
4.
Berikan lingkungan dimana
anak yang bermasalah ikut serta dalam kegiatan dengan anak yang tidak
bermasalah dan cara-cara yang bermanfaat satu sama lainnya.
Siswa berkebutuhan khusus biasanya selalu
terdapat pada berbagai lembaga pendidikan seperti LPAUD, TK, Kelompok Bermain,
Taman Penitipan Anak dan Satuan PAUD sejenis. Jamaris (2006: 80-92) dan Mulyono
(2006: 6-9) menjelaskan bahwa terdapat masalah-masalah perilaku psikososial,
berkesulitan belajar, ataupun anak dengan pemusatan gangguan perhatian atau hiperaktif.
Namun Jamaris (2006: 94-100) juga menjelaskan bahwa terdapat anak dengan
tingkat intelegensi yang luar biasa, seperti anak tunagrahita atau anak gifted
dan berbakat.
Masalah-masalah perilaku psikososial yang
sering kali muncul adalah:
1.
Penakut, biasanya perilaku
seperti ini muncul sejak usia 2,5 – 3 tahun, selanjutnya perilaku tersebut
seolah hilang berganti dengan expresi mencela, mencaci, atau memaki (Jamaris,
2006: 81).
2.
Pendiam, menarik diri atau
rendah diri, perilaku ini disebabkan oleh sikap orang tua yang terlalu
berlebihan dalam mengontrol perilaku anak, yaitu adanya berbagai larangan yang
pada akhirnya berujung pada pengekangan pada anak.[1]
Hingga saat ini anak berkebutuhan khusus
yang mendapat perhatian cukup luas di masyarakat adalah mereka yang tergolong
ke dalam Pervasive Developmental Disorder atau Autism Spektrum Disorder.
1.
Autism Disorder
Autisme adalah gangguan perkembangan anak
yang disebabkan oleh adanya gangguan pada sistem syaraf pusat yang
mengakibatkan gangguan dalam interaksi sosial komunikasi dan perilaku. Gejala
yang sangat menonjol adalah sikap anak yang cenderung tidak mempedulikan
lingkungan dan orang-orang disekitarnya, seolah menolak berkomunikasi dan
berinteraksi, serta seakan hidup dalam dunianya sendiri. Anak autistik juga mengalami
kesulitan dalam memahami bahasa dan berkomunikasi secara verbal. Di samping itu
seringkali (perilaku stimulasi diri) seperti berputar-putar, mengapak-ngepakkan
tangan seperti sayap, berjalan berjinjit dan lain sebagainya.
Penyebab gangguan autism adalah gangguan
neurobiologis yang mempengaruhi fungsi otak sedemikian rupa sehingga anak tidak
mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar secara efektif.[2] Beberapa dugaan faktor
penyebab autisme dan diagnosis medisnya:
a)
Gangguan susunan syaraf
pusat, pada anak autis terdapat pengurangan jumlah sel purkinje di dalam otak
yang mengakibatkan produksi serotonin kurang, sehingga menyebabkan kacaunya
proses penyaluran informasi antar-otak. Obat-obatan yang sering digunakan
dokter adalah dari jenis psikotropika, dengan begitu anak lebih mudah diajak
bekerja sama.
b)
Gangguan pada metabolisme
(sistem pencernaan), karena hal ini berhubungan dengan gejala autis maka
suntikan sekretin dapat membantu mengurangi gangguan pencernaan.
c)
Peradangan dinding usus,
diduga peradangan tersebut disebabkan oleh virus, mungkin berasal dari virus
campak. Itu sebabnya mengapa banyak orang tua yang kemudian menolak imunisasi
MMR (measles, mumps, rumbella) karena diduga menjadi biang keladi autis
pada anak. Temuan diperkuat sejumlah riset ahli medis lainnya.
d)
Faktor genetika adalah hal
yang paling umum menjadi penyebab gejala autis.
e)
Keracunan logam berat, yang
berasal dari makanan ringan dan mainan anak yang mengandung bahan logam berat.
Beberapa logam berat seperti arsenik (As), anti-moni (Sb), kadmium (Cd), air
raksa (Hg), dan timbal (Pb), adalah racun otak yang sangat kuat. Juga mungkin
disebabkan keracunan merkuri, tapi masih dapat ditanggulangi dengan terapi kelasi
(merkuri dikeluarkan dari otak dan tubuh mereka).[3]
2.
Asperger disorder
Secara umum performa anak Asperger
Disorder hampir sama dengan anak autisme. Namun gangguan pada anak Asperger
lebih ringan dibandingkan anak autisme dan sering disebut dengan istilah
“High-funtion autisme”. Hal-hal yang membedakan keduanya adalah:
a.
Pada kemampuan bahasa
bicara anak Aspreger jauh lebih baik dibanding anak autisme. Intonasi bicara aspreger
cenderung monoton, ekspresi muka kurang hidup cenderung murung dan berbicara
hanya seputar pada minatnya saja.
b.
Anak asperger masih
memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.
c.
Kecerdasan Anak asperger
biasanya ada pada great rata-rata ke atas. Memiliki minat yang sangat tinggi
pada buku terutama yang bersifat ingatan atau memori pada satu kategori, misalnya
menghafal klasifikasi hewan atau tumbuhan yang menggunakan nama-nama latin.
3.
Rett’s Disorder
Adalah jenis gangguan perkembangan yang
masuk kategori ASD. Aspek perkembangan pada anak Rett’s Disorder mengalami
kemunduran sejak menginjak usia 18 bulan yang ditandai dengan hilangnya kemauan
bahasa bicara secara tiba-tiba. Koordinasi motoriknya semakin memburuk dan
dibarengi dengan kemunduran dalam kemampuan sosialnya. Rett’s Disorder hampir
keseluruhan penderitanya adalah perempuan.
4.
Childhood
Disintegrative Disorder(CDD)
Yang membedakan anak CDD dengan anak
autisme adalah bahwa umumnya anak CDD sempat berkembang secara normal sampai
beberapa tahun termasuk kemampuan bahasa bicaranya. Biasanya anak-anak itu
mengalami kemunduran setelah menginjak usia 2 tahun. Kemunduran kemampuan pada
anak CDD bisa sampai kondisi anak dengan gangguan autisme berat (low funtioning
autisme) dengan performa yang sama.
5.
Pervasive
Development Disorder Not Othervie Specified (PDD-NOS)
Anak dengan gangguan PDD-NOS performanya
hampir sama dengan anak autisme hanya saja kualitas gangguannya lebih ringan dan
terkadang anak-anak ini masih bisa bertatap mata. Ekspresi wajah tidak terlalu
datar dan masih bisa diajak bercanda. Anak-anak berkebutuhan khusus selain PDD atau
ASD:
1.
Child with
developmental inpairenment
Di Indonesia dikenal sebagai anak tuna
grahita (mental retardation). Secara umum anak dengan gangguan retardasi mental
memiliki intelegensi di bawah rata-rata normal, tidak mampu berperilaku adaptif
sesuai tugas-tugas perkembangan usianya. Secara performa fisik tampak sekilas
anak retardasi mental seperti anak normal. Kemampuan komunikasinyapun tidak
mengalami gangguan hanya saja anak reterdasi mental sulit mengembangkan topik
pembicaraan ke arah yang lebih lanjut dan kompleks.
2.
Child with Spesific
learning disability (anak berkesulitan belajar)
Anak berprestasi rendah yang lebih populer
dengan istilah anak berkesulitan belajar. Mereka mempunyai kesulitan di
bidang-bidang akademik, kognitf dan masalah-maslah emosi sosial. Oleh sebab itu
kelainan-kelainan yang dalam lebih bersifat psikologis yang berimbas pada
gangguan kelancaran berbicara, berbahasa dan menulis. Anak-anak LD terlihat
tidak berkemampuan sebagai pendengar yang baik, berfikir, berbicara, membaca
dan menulis, mengeja huruf dan perhitungan yang bersifat matematika. Tes hasil
belajar di sekolah menunjukkan angka rendah. Yang tergolong learning
disabilitis adalah anak dengan gangguan persepsi, cedera otak atau cerebal
palsy, minimal brain dysfuntion, dyslexia dan developmental aphasia.
3.
Child with emotional
or behavioral disorder
Anak dengan gangguan perilaku menyimpang
atau emotional menunjukkan masalah perilaku yang dapat terlihat, selalu gagal
atau tidak dapat menjalin hubungan pribadi yang intim, berperilaku tidak pada
tempatnya (sering mencari perhatian dengan cara –cara yang tidak logis),
merasakan adanya depresi dan tidak bahagia (diri sendiri atau bisa keluarga
atau lingkungann sosial). Prestasi belajar menurun, memiliki masalah-masalah
kesulitan belajar bukan disebabkan faktor intelektual sensori atau kesehatan.
4.
Child who have
attention deficit disorder with hyperaktive (ADHD)
ADHD terkadang lebih dikenal dengan
istilah anak hiperaktif , oleh karena mereka selalu bergerak dari satu tempat
ke tempat yang lain. Tidak dapat duduk diam di satu tempat selama ± 5 - 10
menit untuk melakukan suatu kegiatan yang diberikan kepadanya. Rentang
konsentrasinya sangat pendek, mudah bingung dan pikirannya selalu kacau, sering
mengabaikan perintah atau arahan, sering tidak berhasil dalam menyelesaikan
tugas-tugas di sekolah. Sering mengalami kesulitan mengeja atau menirukan ejaan
huruf.[4] Juga ditandai dengan
adanya gejala-gejala impulsivitas dan perilaku hiperaktif meliputi:
a)
Emosi gelisah
b)
Mengalami kesulitan bermain
dengan teman
c)
Mengganggu anak lain
d)
Selalu bergerak. [5]
Beberapa hasil penelitian, ada tiga faktor yang berpengaruh
terhadap ADHD, yaitu: faktor genetika, faktor neurobiologis, faktor diet,
alergi, dan zat timah.[6]
5.
Down Syndrom
Anak down syndrom sangat mudah dikenali
lewat bentuk wajahnya (seperti orang mongol). Tapi beberapa di antaranya tidak
memperlihatkan bentuk muka down syndrom (layaknya anak normal). Mereka biasanya
sangat pendiam, sering bermasalah dengan koordinasi otot-otot mulut, tangan dan
kaki, sehingga sering mengalami terlambat berbicara dan terlambat berjalan.
Kemampuan intelgensinya di bawah rata-rata normal, baik dalam aspek akademis,
emosi dan bersosialisasi. Tak jarang behavioralnya juga memperlihatkan perilaku
yang tidak adaptif, sering mencari perhatian yang berlebihan, memperlihatkan
sikap keras kepala yang berlebihan shut off atau berlagak seperti patung dan kekanak-kanakan.
6.
Child with
communication disorder and deafness
Lebih populer dengan istilah tunarungu
atau wicara adalah mereka yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan
mendengar sebagian atau keseluruhan, akibat tidak berfungsinya indra
pendengaran atau keseluruhan.
7.
Child with partially
seeing and legally blind
Anak tuna grahita dikategorikan sebagai
anak-anak yang memiliki indra ke enam. Hal ini mengacu kepada kemampuan
intelegensi yang cukup baik, daya ingat yang kuat, kemampuan merasakan objek
melalui ujung jari-jemarinya. Sebagai pengganti indra penglihatannya. Anak tuna
grahita mempersepsikan dunia dengan menggunakan indra sensoriknya, sehingga
mereka membutuhkan latihan dalam waktu yang lama untuk menguasai dunia
persepsi. Dalam melakukan interaksi sosial umumnya dilakukan dengan cara
menyentuh dan mendengar objeknya, sehingga kurang menarik bagi lawan bicaranya.[7]
B.
Deteksi Dini Autisme
Prevelansi autisme meningkat dengan sangat
menghawatirkan dari tahun ke tahun. Menurut Autism Research Institute di San
Diego, jumlah individu autistik pada tahun 1987 diperkirakan 1:5000 anak.
Jumlah ini meningkat dengan sangat pesat dan pada tahun 2005 sudah menjadi
1:160 anak. Di Indonesia belum ada data yang akurat oleh karena belum ada pusat
registrasi untuk autisme. Namun diperkirakan angka di Indonesia pun mendekati
angka di atas. Autisme lebih banyak terjadi pada pria dari pada wanita, dengan
perbandingan.
Bila gejala autisme dapat dideteksi sejak
dini dan kemudian dilakukan penanganan yang tepat dan intensif, kita dapat
membantu anak autis untuk berkembang secara optimal. Untuk dapat mengetahui
gejala autisme sejak dini, telah dikembangkan suatu checklist yang dinamakan
M-CHAT (Modified Checklist for Autism in Toddlers). Berikut adalah pertanyaan
penting bagi orang tua:
1.
Apakah anak anda tertarik
pada anak-anak lain?
2.
Apakah anak anda dapat
menunjuk untuk memberitahu ketertarikannya pada sesuatu?
3.
Apakah anak anda pernah
membawa suatu benda untuk diperlihatkan pada orangtua?
4.
Apakah anak anda dapat
meniru tingkah laku anda?
5.
Apakah anak anda berespon
bila dipanggil namanya?
6.
Bila anda menunjuk mainan
dari jarak jauh, apakah anak anda melihat ke arah mainan tersebut?
7.
Bila jawabannya TIDAK pada
2 pertanyaan atau lebih, maka sebaiknya orangtua berkonsultasi dengan
profesional yang ahli dalam perkembangan anak dan mendalami bidang autisme.
C.
Cara Mengenali Autisme
Anak-anak penyandang spektrum autisme
biasanya memperlihatkan setidaknya setengah dari daftar tanda-tanda yang disebutkan
di bawah ini. Gejala-gejala autisme dapat berkisar dari ringan hingga berat dan
intensitasnya berbeda antara masing-masing individu. Hubungi profesional yang
ahli dalam perkembangan anak dan mendalami bidang autisme, jika orang tua
mencurigai anaknya yang memperlihatkan setidaknya separuh dari gejala-gejala
ini:
1.
Sulit bersosialisasi dengan
anak-anak lainnya.
2.
Tertawa atau tergelak tidak
pada tempatnya.
3.
Tidak pernah atau jarang
sekali kontak mata.
4.
Tidak peka terhadap rasa
sakit.
5.
Lebih suka menyendiri,
sifatnya agak menjauhkan diri.
6.
Suka benda-benda yang
berputar atau memutar benda.
7.
Ketertarikan pada satu
benda secara berlebihan.
8.
Hiperaktif atau melakukan
kegiatan fisik secara berlebihan atau malah tidak melakukan apapun (terlalu
pendiam).
9.
Kesulitan dalam
mengutarakan kebutuhannya.
10.
Suka menggunakan isyarat
atau menunjuk dengan tangan dari pada kata-kata.
11.
Menuntut hal yang sama
menentag perubahan atas hal-halyang bersifat rutin.
12.
Tidak peduli bahaya.
13.
Menekuni permainan dengan
cara anah dalam waktu lama.
14.
Echolalia (mengulangi kata
atau kalimat, tidak berbahasa biasa).
15.
Tidak tanggap terhadap
isyarat kata-kata, bersikap seperti orang tuli.
16.
Tidak berminat terhadap
metode pengajaran yang biasa.
17.
Tentrums – suka mengamuk
atau memperlihatkan kesedihan tanpa alasan yang jelas.
18.
Kecakapan motorik kasar
atau halus yang seimbang (seperti tidak mau menendang bola namun dapat menumpuk
balok-balok).
Namun daftar di atas bukan pengganti
diagnosa. Sebaiknya hubungi ahli untuk memperoleh diagnosa lebih lengkap.[8] Untuk menentukan diagnosis
yang cermat dan tepat tidaklah mudah. Pada umumnya para clinician mendiagnosis
anak autistik menggunakan panduan yang dibuat oleh Asosiasi Psikiatrik Amerika
yang disebut dengan DSM IV (Diagnosis Statistical Manual IV).[9] Sehingga dokter maupun
psikolog tidak keliru dalam menentukan diagnosanya
D.
Berbagai Terapi Bagi Anak
Autis
Gejala autis pada anak akan semakin
bertambah parah dan tidak tertanggulangi hingga dewasa bila tidak ada tindakan
intensif dari orang tua dan keluarga. Keberhasilan terapi tergantung beberapa
faktor berikut:
1.
Berat ringannya gejala,
tergantung pada parahnya gangguan di dalam sel otak.
2.
Semakin dini anak mendapat
terapi, semakin besar kemungkinan berhasil. Idealnya sejak umur 2-5 tahun,
karena pada saat umur itulah sel otak mengalami pertumbuhan yang pesat dan ini
merupakan kesempatan yang sangat tepat untuk merangsang sel-sel otak agar bisa
tumbuh membentuk cabang-cabang neuron baru.
3.
Semakin banyak informasi yang
dia tangkap, semakin besar peluangnya menjadi anak normal, dan semakin cerdas
anak, semakin cepat menangkap hal-hal yang diajarkan.
4.
Semakin rendah kemampuan
bicara dan berbahasa, semakin lambat anak autis mengalami kemajuan. Bagi mereka
yang fungsi bicara dan berbahasanya baik akan lebih mudah diajar berkomunikasi.
Sedang bagi mereka yang tidak bisa bicara bisa diajarkan ketrampilan
komunikasi, misalnya dengan gambar-gambar, mesin ketik, atau bahasa isyarat.
5.
Semakin intensif anak autis
mendapat terapi akan mengalami baik da lebih besar kemungkinan mengalami
kemajuan. Sedikitnya 4 jam sehari anak harus mendapat terapi. Dibutuhkan
dukungan dari seluruh keluarga agar terapi berhasil.
Beberapa jenis terapi yang dapat dilakukan
orang tua di rumah, di antaranya:
1.
Terapi perilaku. Terapi ini
bertujuan mengurangi perilaku aneh yang tidak wajar dan menggantinya dengan
perilaku yang bisa diterima di masyarakat.
2.
Terapi wicara. Terapi ini
menjadi keharusan bagi anak yang mengalami kesulitan berbicara atau
berkomunikasi.
3.
Terapi okupasi. Terapi ini
bertujuan merangsang perkembangan motorik yang kuarang baik, seperti
memperbaiki koordinasi antara mata, pikiran, dan anggota tubuh, serta
ketrampilan otot halus anak.
Namun sebelum mengambil salah satu terapi
bagi anak, sebaiknya lebih dahulu mendapat informasi lengkap dari dokter dan
terapis berdasarkan kebutuhan dan kemampuan anak dalam setiap bidangnya.[10]
E.
Pendidikan untuk Anak
Berkebutuhan Khusus
Mulyono (2006:117-121) menyatakan,
seringkali mempertanyakan tentang adanya ketidakadilan dalam pendidikan
terutama pendidikan bagi yang berkebutuhan khusus (children with special need).
Sehingga memunculkan pertanyaan, “Mengapa anak dengan kebutuhan khusus (anak
luar biasa atau anak berkelainan) harus bersekolah di sekolah khusus (Sekolah
Luar Biasa = SLB)?”, “Apakah anak dengan kebutuhan khusus benar-benar tidak
dapat diintegrasikan dengan anak lain pada umumnya dalam satu sistem
persekolahan?”, “Apakah sistem persekolahan yang segegratif bukan meripakan
suatu bentuk diskriminatif?”, “Bukankah pendidikan yang segregatif akan dapat
menghambat anak memasuki dunia kehidupan di masyarakat?” Lalu pertanyaan
yang lebih mendasar, “Landasan filosofis apakah yang membuat anak dengan
kebutuhan khusus harus terpisah dari pergaulan mereka dengan teman lain pada
umumnya?”
Jadi untuk menjawab sejumlah pertanyaan di
atas, maka perlu dikaji tentang makna pendidikan luar biasa yang sesungguhnya.
Berkaitan dengan pelaksanaan pendidikan yang segregatif–eksklusif menuju
pendidikan yang integratif-inklusif, terdapat beberapa peristilahan yang perlu
dipahami terlebih dahulu, yaitu:
1.
Pendidikan segregatif-eksklusif
adalah pendidikan yang memisahkan anak-anak dengan kebutuhan khusus dari
anak-anak lain, yang pada umumnya anak berkebutuhan khusus ditempatkan di
sekolah khusus atau sekolah luar biasa, yang dilakukan secara eksklusif artinya
anak berkebutuhan khusus hanya boleh bersekolah di sekolah khusus tersebut.[11] Karena anak berkelainan
berbeda dari anak normal lainnya sehingga memerlukan layanan khusus, baik
personal, sosial, maupun usaha-usaha pendidikan lainnya.[12]
2.
Pendidikan integratif
menurut konteksnya adalah pendidikan yang mengintehrasikan anak-anak yang
berkebutuhan khusus bersama anak-anak lainnya pada umumnya dalam satu sistem
persekolahan. Selanjutnya pendidikan integratif-inklusif disebut sebagai
pendidikan inklusif saja karena dalam pendidikan inklusif telah terkandung
makna integratif.[13]
F.
Kesimpulan
Autisme pada anak bukan aib bagi keluarga,
ia hanya satu dari begitu banyak kelainan bawaan anak, baik yang diketahui saat
anak dilahirkan atau di kemudian hari. Sebagian besar orang tua hendaknya sadar
dan pasti bisa mengatasinya, bahkan ke dalam permasalahnnya. Anak autis tetap
seorang anak yang membutuhkan cinta kasih, perhatian, disiplin, bimbingan, dan
pengarahan, karena ia milik masa depan. Sudah menjadi kewajiban orang tua untuk
mengantar anaknya ke masa depan yang lebih baik.
Pendidikan bagi anak autis sebaiknya juga
diperhatikan oleh orang tua maupun pemerintah. Adapun perbedaan antara
pendidikan segregatif dan integratif, untuk pemilihan sekolah yang baik bagi
anak berkebutuhan khusus adalah sekolah yang segregatif. Sedangkan pemilihan
pendidikan integratif bagi anak berkebutuhan khusus adalah di luar sekolah,
misalnya: pada komunitas bermain ataupun dalam pergaulan masyarakat, agar anak
berkebutuhan khusus tidak terasingkan dari lingkungannya juga dapat bersekolah
layaknya anak normal lainnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Baihaqi
dan Sugiarmin, Memahami dan Membantu Anak ADHD, Bandung: Refika Aditama,
2006.
Dwi
Sunar Prasetyono, Biarkan Anakmu Bermain, Jogjakarta: DIVA Press, 2007.
http//sekolahdolan.org,
diakses tanggal 01 April 2012.
http://www.autis.info,
diakses tanggal 05 April 2012.
Joko
Yuwono, Memahami Anak Autistik, Bandung: Alfa Beta, 2009.
Syamsul Bachri, Psikologi Pendidikan
Berbasis Analisis Empiris Aplikatif, Jakarta: Kencana, 2010.
Yuliani Nurani Sujiono, Konsep Dasar Pendidikan
Anak Usia Dini, Jakarta: Indeks, 2009.
EmoticonEmoticon